Hari demi hari berlalu seperti biasa. Sejak berita kemalangan Sherly, semua berubah. Nenek satu-satunya pergi meninggalkan dia selamanya, membuat dia menjadi seorang yang pemurung dan pendiam. Dan Jonathan, dia menjadi dingin padaku. Entah apa yang membuatnya jadi begitu.
"Sherly, kantin yuk."
Dia hanya mengangguk. Kami berjalan ke kantin melewati koridor, ditengah-tengah aku berpapasan dengan Jonathan. Tak ada sedikit pun dia menoleh padaku, dia sangat santai berjalan melewatiku.
Aku menoleh kearahnya berharap dia juga begitu tapi nyatanya nihil. Aku merasa sedikit sedih seperti kehilangan sosok Jonathan yang selalu menggangguku. Bodoh! Kenapa juga aku harus berpikir begitu, sudahlah lupakan! Justru bagus kalau dia tidak menggangguku lagi.
"Lia, kamu ada masalah ya sama Jonathan?" tanya Sherly yang membuat aku kaget, hampir saja tersedak bakso yang ada di mulutku.
"Ga ada, emangnya kenapa?" tanyaku bingung.
"Kalian berdua kaya lagi ada problem aja, tiba-tiba kaya orang asing. Satu kelas pada heran, tau."
Apa? Satu kelas heran?! Aku juga tidak tahu kenapa jadi begini, kenapa malah heboh sih, aku jadi tidak selera makan. Tiba-tiba perutku kenyang, aku berhenti dan langsung minum.
***
Bel pulang berbunyi. Semua murid mengumpulkan buku catatan pada ketua kelas, Jonathan. Mereka pada terburu-buru untuk bisa segera keluar dari kelas tapi tidak denganku. Aku sengaja menunggu giliran terakhir karena terlalu rusuh. Setelah itu, barulah aku melangkah ke mejanya untuk mengumpulkan buku catatanku.
"Ini." Aku melirik kearahnya.
Dia tak menjawab ku bahkan untuk melihat pun dia enggan, Aku mulai merasa ada sesuatu yang dia tutupi. Apa aku berbuat salah ya?
Aku berjalan pulang, terik matahari membuat perasaanku semakin panas mengingat Jonathan yang tiba-tiba mengabaikan ku. Aku menepi di sebuah warung, hendak membeli minuman. Tiba-tiba ...
"Berapa buk?" suaraku bersamaan dengan suara seseorang di sebelahku yang ternyata adalah Jonathan. Kami sama-sama memberikan uang pecahan Rp 10.000 kepada ibu itu dan juga membeli minuman yang sama.
"Rp 5.000 aja dik, saya ga ada kembalian. Gabung aja ya kayanya kalian dari satu sekolah yang sama." Ibu itu melihat simbol di baju seragam kami. Lalu ibu itu mengambil uang dari tangan Jonathan.
Aku hanya terdiam begitu juga dengannya,
Dia mengantarku pulang. Tapi kali ini berbeda, perasaannya yang berbeda. Sampai di rumah, aku menyuruhnya menunggu karena aku sedang memeriksa tasku mungkin saja ada uang Rp 5.000 terselip di dalam.
"Udah gausah. Aku ikhlas." Kata Jonathan.
"Yakin? Aku yang ga enak nanti, tunggu ya aku ambil kedalem." Aku berbalik arah hendak melangkah masuk kedalam rumah
Tiba-tiba Jonathan meraih tanganku, "Gausah, gapapa. Aku traktir." Nadanya sangat lembut. "Aku pamit ya." Sambungnya.
Aku terdiam sambil melambaikan tangan. Dia pun pergi. Aku mematung sejenak, baru kali ini aku mendengar suara lembutnya. Aku tersipu, jantungku berdetak kencang dan aku tersenyum tanpa sadar. Ya ampun kenapa begini? Padahal baru tadi aku merasa kehilangannya.
Pukul 19.20, ponselku berdering tanda ada panggilan masuk. Belum sempat aku mengangkat panggilan itu sudah mati, tertulis dari nomor yang tak diketahui. Lalu masuk nontifikasi pesan dari Sherly,
"Tadi Jonathan telfon, dia minta nomor hp kamu yaudah aku kasih aja ^_^."
Hah?! jangan-jangan yang tadi telfon itu Jonathan?! Aku berlari naik keatas ranjangku, menutup seluruh tubuhku dengan selimut dan menggenggam ponsel ku sambil berfikir, untuk apa? untuk apa dia minta nomorku?! Tiba-tiba ponselku bergetar aku kaget dan spontan menjatuhkannya ke lantai, "Hah!" teriakku.
Aku segera memungut kembali ponselku, "Hai lia, ini Jonathan temen sekelas mu. Besok pergi sekolah bareng ya, aku jemput." mataku terbelalak kaget. Apa mungkin?
***
Pagi ini aku pergi kesekolah bersama dengan Jonathan. Ternyata pesan yang tadi malam itu benar dari Jonathan. Kami sampai di sekolah tepat waktu, saat aku dan Jonathan berjalan di koridor Anggun menghalangi dengan berdiri di depan kami sambil melipat tangannya.
"Pagi Jo, inget kan nanti ada rapat osis jam istirahat?"
kata-katanya sangat ramah sekali pada Jonathan. Giliran melihatku dia tampak sinis, "Oh iya, pagi Lia."
Senyumnya kecut, aku tidak suka. Aku hanya balas dengan senyuman kecil dan pergi dari hadapan mereka.
"Lia! Nanti pulang sekolah bareng aku lagi." Sahut Jonathan. Aku diam saja dan tetap melangkah pergi.
Sampai di kelas aku duduk di mejaku. sherly menghampiri, "Kamu bareng Jonathan?" dia menyentuh pundakku.
"Iya." Jawabku datar.
"Ada apa nih?" Sherly duduk di sebelahku, tersenyum melihatku.
Dia sudah tahu bahwa aku menyukai Jonathan dan dia merasa senang mengetahui hubunganku dengan Jonathan semakin dekat, Tapi aku juga bingung dengan sikap Jonathan yang begitu tiba-tiba padaku, aku juga sebenarnya ingin bercerita ke Sherly mengenai tatapan anggun yang selalu sinis setiap kali dia melihat aku dengan Jonathan. Huh.. rasanya aku ingin menyerah saja! Sherly menaikkan alisnya seakan dia menunggu perkataanku, dia tahu bahwa aku ingin bercerita padanya tapi bel masuk telah berbunyi. Dia bangkit dan kembali ke bangkunya.
***
"Wah ramai ya, kita duduk dimana ni sher?" Aku memegang nampan berisi dua mangkok bakso dengan sangat hati-hati.
Sherly celingukkan, "Nah itu, disana! Ayo."
Aku berjalan dibelakang Sherly mengikutinya kearah meja kantin yang kosong, tiba-tiba dari arah samping seorang murid berjalan mundur dan menyenggol tanganku, membuatku menjatuhkan nampan yang berisi dua mangkok bakso dan mengenai seragam juga sepatuku, sedangkan murid itu hanya terkena sedikit cipratan di seragamnya.
"Aduh gimana sih?! jadi kotor kan seragam gue!!" teriak Anggun.
Oh tidak!! ternyata dia yang menabrakku, walau bukan aku yang salah aku tetap tak ingin berurusan dengan dia!
"Kalo jalan lihat depan dong lo! seragam temen gue lebih parah kotornya!!" ucap Sherly.
Aku terdiam melihat Sherly berkoar membelaku, pasalnya kejadian ini membuat jati dirinya kembali semula. Dia melotot tajam kearah Anggun, inilah Sherly yang ku kenal selalu berani di situasi apapun! tidak pemurung atau pendiam. Aku tidak bangga karna dibelanya, tentu dia sangat tahu bahwa ini bukan salahku, dia juga bukan orang yang mau membenarkan kesalahanku hanya karna aku sahabatnya, sama sekali tidak seperti itu!
"Apaan sih lo!! gue ga ada urusan sama lo!" bantah Anggun.
Mereka berdua saling bertatapan dengan gejolak emosi masing-masing. Aku jongkok memungut mangkok yg pecah dan berserakkan.
"Jangan lia! biar aja Anggun yang bersihin, ini kan gara-gara dia yang nabrak!!" Sherly menarik tanganku.
Kami bertiga menjadi tontonan para murid sedari tadi, aku mulai tidak tahan dengan ketegangan ini. kapan sih berakhirnya? ayolah tolong lerai mereka berdua ini ... seragamku juga sudah bau kuah bakso dan ini mengganggu sekali!
"Enak aja! gue gamau lah!" bantah Anggun lagi, "lo suruh aja temen lo yang ga becus ini beresin semuanya, sekalian ni cuciin baju gue!!"
Aku tersentak, Hah?! cuciin?! ogah!! seragamku lebih kotor tuh dan ini karna dia menabrakku. Aku bukan tak berani berkoar, namun aku benci dengan kejadian ini! aku ingin segera menyudahinya, segera!
"Udah stop!" Seseorang di belakangku berteriak.
Dan itu Jonathan ternyata dia berada di belakangku, dia melerai kejadian ini. Iya bagus! aku suka ini berakhir!
"Kalian bisa bersihin diri kalian masing-masing kan? Biar aku yang beresin ini, abis itu kalian ke ruang BP ya udah dicariin tuh."
Dia langsung memungut serpihan mangkok yang pecah berserakan. Anggun pun pergi meninggalkan kejadian ini, sementara Aku dan Sherly membantu Jonathan memungut serpihan mangkok lalu pergi ke toilet untuk membersihkan seragamku yang terkena kuah bakso tadi.
Syukurlah kejadian tadi tidak sampai menjadi tawuran antar murid, Haha terlalu lebay pikiranku. Tapi bukan tak mungkin kan hal itu terjadi, dan aku juga sangat bersyukur semangat Sherly sudah kembali seperti semula, semangat seorang Sherly Ananda sahabatku yang aku sayangi akhirnya kembali tumbuh dalam dirinya lagi! aku sangat senang.
***
Aku pulang bersama Sherly, tapi sebelumnya aku menemaninya meminjam beberapa buku di perpustakaan. Aku melihat jam tanganku, tepat pukul 14.00 siang. Kami berjalan keluar menuju gerbang belakang melewati parkiran dan terlihat Jonathan sendirian duduk diatas motornya, seperti sedang menunggu seseorang.
"Eh itu Jonathan kan? Ngapai dia masih disini?" tanya sherly.
"Palingan abis dari urusan osis." Jawabku acuh.
Kami berjalan menghampirinya dari belakangnya, dia sedang diam melamun. Sherly mengejutkannya dan dia pun tersentak kaget.
"Awas ntar kesambet loh!" Sherly menertawainya.
Wah sherly sudah kembali tertawa, ini bagus! aku senang melihatnya tidak murung lagi.
"bikin kaget aja sih sher, Untung ga copot nih jantung!" ucap Jonathan.
"Kok belum pulang?" tanya sherly yang langsung membuatnya gugup.
"Oh...ini..." bicaranya terbata-bata tatapannya juga terlihat gugup, "aku sebenernya nunggu aliah, mau ajak pulang bareng." Sambungnya.
Dia tertunduk malu sambil tersenyum kecil. Aneh aku tak pernah melihat sikapnya yang seperti ini, selam ini yang aku tau Jonathan adalah sosoknya yang kalem dan dingin pada siapapun.
"Oh, kayanya gabisa deh. Aku pulang bareng Sherly hari ini."
Aku menolak ajakannya secara halus, karena memang aku sedang dengan Sherly. Sherly menatap kearah kami bergantian, aku melihat kearah lain begitu juga dengan Jonathan dia mengalihkan pandangannya dari ku sambil menggaruk kepalanya menandakan bahwa dia sangat gugup di posisi ini apalagi setelah aku menolak ajakannya, padahal dia sudah menunggu.
Sherly menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, "yaudah gakpapa kok lia, kamu bareng aja sama Jonathan."
"Eh, kok gitu? Gaenak dong kamu sendiri." Aku sangat sungkan dengan perkataan sherly, dahiku pun mengernyit.
"aku gak maksa lia juga kok sher, kalo dia gamau juga gakpapa aku sendiri aja." Jonathan tersenyum gugup.
"Udah, sana pulang! Aku lupa kalo harus ketemu kakak dulu. Bye! Hati-hati ya kalian."
Sherly tersenyum sambil berlari pergi meninggalkan aku dengan Jonathan di parkiran. Aku ingin menarik tangan sherly tapi dia cepat sekali menjauh. Ah! Suasana apa ini! Gugup sekali, walaupun biasanya selalu seperti ini tapi kenapa kali ini rasanya aku tidak bisa menolaknya?
Akhirnya aku pulang dengan Jonathan, seperti biasa kami tidak berbicara sedikitpun. Suara motornya juga membuat telingaku tuli sementara, jadi memang sudah sepantasnya kami hanya berdiam. Kami berhenti di sebuah warung kaki lima, banyak juga murid-murid dari sekolah lain yang nongkrong disini. Aku heran kenapa aku dibawa kesini?
"Kamu laper kan? Kita makan dulu ya sebentar." Bicaranya cuek.
Sikapnya sudah kembali normal, dia menjadi Jonathan yang sebenarnya yang aku kenal.
"Engga, aku masih kenyang kok." ucapku.
"Udah gapapa." Wajahnya datar, aku sedikit takut dan pasrah. Padahal aku memang sedang tidak lapar.
Dia mendatangi seorang ibu-ibu dan memesan makanan. Setelah beberapa saat itbu itu membawakan makanan ke meja kami. Terlihat dari senyumnya sepertinya ibu ini kenal dengan Jonathan, dia melirik kearah Jonathan sambil senyum mengejek.
"Iki pacar mu toh?" kata ibu itu sambil berdehem.
"Ini temen sekelas buk, namanya lia. Aliah Soraya." Jelas Jonathan
Dia menanggapinya dengan santai. Sementara jantungku berdegup kencang dan aku hanya memasang wajah malu di hadapan ibu itu, dia tersenyum padaku. walaupun hanya sebuah pertanyaan, itu lebih ke sebuah pernyataan untukku, namun aku sedikit kecewa dengan jawaban Jonathan gerak-geriknya juga terlalu biasa saja mengucapkan kalimat itu.
"Oh ngono toh! Iyo lah wong ayu tenan gini mana cocok karo kowe." Ejek ibu itu. "Wes, becanda, aku lungo disek yo. Di abisin makannya." Sambungnya ramah sambil tersenyum.
Jujur aku hanya mengerti beberapa kata saja karena aku tidak mahir berbahasa jawa.
Jonathan hanya tersenyum dan tertawa kecil. Apakah dia paham? Coba kita tanya.
"Kamu bisa bahasa jawa Jo?"
Aku bertanya dengan sangat penasaran, karena yang aku tahu Jonathan adalah blasteran inggris walau hanya 50% dari tampangnya.
"Bisa dikit, mama ku jawa kok." Jawabnya santai sambil mengunyah bakso di mulutnya.
Dia terus memandangi ponselnya seperti membaca pesan, entah dari siapa aku tidak tahu.
"Oh." Aku melanjutkan makanku.
***