Hari demi hari berlalu, Ibu dinyatakan sembuh dan pulang kerumah lagi. Suatu kesenangan bagiku sekaligus kesedihan karena aku harus mendengar keputusan dari kedua orang tuaku setelahnya, mereka berpisah. Entah apa yang telah disepakati akhirnya mereka pun berpisah, aku ikut dengan ibu dan hanya kami yang tersisah berdua sementara ayahku dia menemukan jalan barunya.
Keseharianku di sekolah juga berjalan seperti biasa, karna di ulangan terakhir nilai ku menurun bersama dengan beberapa murid lainnya. Bu Diyah membuat kelompok belajar khusus yang beranggotakan aku dan tiga murid lain sekelasku yang di pimpin oleh Jonathan. Ya, dia menjadi mentor di kelompok belajar khusus ini dan kelompok ini diadakan setelah pulang sekolah selama 2 jam di perpustakaan.
Aku tidak memikirkan soal kedekatanku setelah dia memujiku memakai kalung darinya, aku hanya berfikir agar cepat lulus dan memulai hidup baruku. Tampaknya Jonathan juga melakukan hal yang sama, dia sangat profesional pada tugasnya sebagai mentor. Saat hari libur tiba dia mengajakku bertemu di sebuat kafe untuk membahas materi tambahan.
"Yang lain pada belum dateng ya?" Tanyaku heran sambil menarik kursi dan duduk di depan jonathan.
"Cuma kamu kok." Katanya sambil menatap ponselnya.
Aku menatapnya penuh tanya namun tak mampu ku uraikan. Mungkin kali ini dia berfikir bahwa aku sangat bodoh maka dia memutuskan untuk tetap menjadi mentor walau di hari libur atau mungkin ada satu materi yang belum sempat dia sampaikan padaku. Aku mengeluarkan buku catatan dan pulpen dari dalam tasku.
Lalu seorang pelayan datang membawakan dua cangkir capuccino ke hadapan kami. Situasi ini membuatku semakin bertanya-tanya tapi tetap saja aku tidak bisa mempertanyakannya.
"diminum capuccino nya." Katanya sambil merogoh tasnya.
Aku hanya mengangguk pelan, dia memberikan lembaran-lembaran yang tersusun rapih dari dalam tasnya. Ya, rangkuman materi pelajaran yang telah dia jelaskan selama satu minggu ini.
"Kalo masih ada yang ga kamu ngerti bisa kok tanya ke aku." sambil tersenyum
"Oke, makasih ya."
Aku berakting membaca lembaran-lembaran materi itu seakan aku mengerti dan paham betul tentang materi itu, sesekali aku melirik kearahnya dia masih menatapku sambil tersenyum. Ya ampun... Sebuah keindahan bisa melihat senyuman seorang Jonathan! Kapan lagi aku bisa melihatnya karna mulai besok aku yakin tak ada senyuman lagi di hari pertama ujian akhir semester.
Dia menyuruhku menyimpan lembar materi itu dalam tas, dia bilang aku bisa membacanya saat dirumah nanti dia juga merasa kalau pikiranku terlalu tegang selama mengikuti kelompok belajar khusus. Jadi dia memutuskan untuk mengajakku keluar di hari libur untuk menenangkan pikiran. Saat itu kata-katanya sangat sulit untuk ku cerna karna dia berkata akan mengajakku pergi menonton film dengan genre yang kusuka, pergi makan ke resto yang ingin aku kunjungi dan juga pergi ke taman bermain. Kami sempat mengunjungi photo booth dan berfoto dengan bermacam gaya disana, entah mengapa aku merasa sangat nyaman bersamanya terlebih saat foto dengannya. Aku menjadi diriku sendiri tanpa merasa jaim sedikit pun.
Jam menunjukkan pukul 19.03 malam. Jonathan memutuskan untuk mengantarku pulang dengan motor kesayangannya.
"Nanti jangan langsung tidur ya lia."
Aku terkejut dia memulai percakapan padahal biasanya mulutnya terlalu rapat untuk berbicara di perjalanan seperti ini, dan perkataannya langsung membuatku bingung.
"Kenapa?" kataku penasaran.
"Kamu baca ulang materinya dulu terus..." Kata-katanya terputus membuatku semakin penasaran.
"Terus apa?"
"Terus inget tentang hari ini biar kamu ga stres."
Aku melihat dari kaca spion motornya dia tersenyum setelah mengatakan kata-kata itu, seperti ada maksud tersembunyi tapi aku tak bisa menyangkal bahwa aku senang mendengarnya dan kata-katanya membuat aku tersipu malam itu.
Kami sampai di depan rumahku. Dia memutuskan untuk langsung pulang karena ibunya menunggu untuk makan malam dia segera berbalik arah dan pergi. Aku melihat ada sebuah kertas yang terlipat rapih di tanah tempat motor Jonathan berhenti, aku mengambilnya dan membawanya bersamaku. Saat dikamar aku membuka surat itu perlahan dan mulai membacanya dalam hati,
Lia..
Mungkin kamu merasa aku aneh hari ini tapi jujur aku udah jadi aneh sejak pertama kali lihat kamu.
Aku tahu kamu merasa terganggu pas pertama kali aku kasih kamu puisi cinta tapi sebenarnya itu adalah bentuk ungkapan dari perasaanku ke kamu lia..
Maaf ya karna aku cuma bisa jelasin lewat surat ini, aku suka kamu Aliah..
Mataku terbelalak melihat isi dari surat itu mulutku terbuka seakan ingin berteriak, tapi tidak! Aku tak mau membuat keributan dan aku masih ingin merahasiakannya pada ibuku. Aku senang sekali.. teramat senang! Ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi, tapi surat ini kenapa ada di tanah? Apa mungkin terjatuh dari kantong jaketnya? Apa dia sengaja? Ah yang jelas aku ingin menangis setelah membacanya, menangis karena bahagia. Terlalu berlebihan memang tapi beginilah perasaan seorang Aliyah.
Tiba-tiba ponselku berdering, sebuah panggilan dari Jonathan. Aku tidak terburu-buru mengangkatnya dan malah berfikir mungkin dia ingin mengabari kalau dia sudah sampai dirumah atau mungkin dia mencari sesuatu yang hilang dari kantong jaketnya? Mari kita buktikan.
"Halo Jonathan, ada ap-"
"Halo saya menghubungi kakak karena yang punya ponsel.. kecelakaan dan ini mau di bawa kerumah sakit kak.."
Ponselku terjatuh aku tidak percaya apa yang barusan kudengar, tidak mungkin! Aku menangis sejadi-jadinya sampai ibuku kaget melihatku, aku bergegas menemui Jonathan. Tangisanku tak dapat ku hentikan di sepanjang kejadian ini, aku kesal tidak bisa berbuat apa-apa selain menyerahkan semuanya pada pihak rumah sakit, bukan hanya aku yang terpukul tapi ibunya juga merasakan kesedihan yang mendalam. Seorang dokter memberitahu bahwa Jonathan koma karena begitu banyak pendarahan di kepalanya akibat benturan keras dari kecelakaan yang dia alami dan dokter itu tidak dapat memprediksi kapan Jonathan pulih dari koma.
Aku terduduk lemas mendengar perkataan dokter itu, ibu Jonathan mengelus pundakku dia bilang tidak apa-apa kalau aku pulang karena dia tahu besok adalah hari pertama ujian akhir semester yang mana itu adalah hal yang paling penting untukku, dia ibunya maka dia akan bertanggung jawab menjaga putra satu-satunya disini. Aku pun mengangguk dan segera pulang dengan mata yang sembab, sampai dirumah ibuku tidak banyak berbicara dia menuntunku masuk ke kamar dan menemaniku tidur malam itu.
***
Pagi hari tiba aku masih tidak menyangka akan peristiwa semalam, seperti mimpi pikirku. Di kelas banyak mata yang mencari sosok Jonathan bahkan sampai membicarakannya karena mereka tahu Jonathan bukanlah murid yang suka terlambat, aku memandang kearah meja tempat dia duduk tepat di sebelahku. Aku teringat kejadian semalam rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya, tapi tidak mungkin disini.
Sherly mendatangiku, "Gimana? Udah belajar?" sambil tersenyum.
Tak kunjung kubalas senyum dan pertanyaannya kini dia mulai sadar kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, Kali ini dia duduk di sebelahku menarik pundakku kearahnya.
"Ada apa lia? Coba bilang ke aku!" Raut wajahnya mulai khawatir, "Lia!"
Sherly hampir berteriak dan mulai kesal menunggu jawaban dariku, aku memang tak berniat merahasiakan kejadian ini darinya tapi mulutku seakan tak bisa terbuka. Tak lama bel berbunyi tanda akan dimulainya ujian hari ini dan meja di sebelahku masih tetap kosong, namun meja itu tetap mendapat soal-soal ujian hari ini. Walaupun aku merasa sangat sedih tapi aku masih bisa fokus untuk menjawab tiap-tiap soal, aku mengingat saat-saat Jonathan menjadi tutor untukku dengan materi-materi yang dia ucapkan teringat dengan sangat jelas hari ini.
Aku dan Sherly beristirahat di kantin, aku masih diam saja dan tidak menjawab pertanyaan sherly. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menungguku berbicara, menunggu berdetik-detik terlewat begitu saja.
"Ayolah lia, ada apa? Kenapa dari tadi diem sih? Jonathan kemana kok dia ga masuk?" katanya semakin tidak sabar.
"Jonathan... Dia..." kataku terputus-putus, aku menyiapkan tenggorokanku agar bisa mengatakan dengan sempurna. "Dia ga masuk, karena tadi malem abis anter aku pulang dia.. kecelakaan." Diakhir kalimat suaraku lirih. Akhirnya aku sanggup mengatakannya dan akhirnya mataku mulai berkaca-kaca, "Dia koma sher! Aku gatau harus gimana, aku.. takut..sher, aku takut.." kali ini aku menangis sejadi-jadinya di depannya, di kantin dan sebagian murid mengetahui aku menangis di pelukan sherly.
Sepulang sekolah aku memutuskan untuk pergi menjenguk Jonathan di rumah sakit bersama dengan Sherly, kami sampai di ruang ICU tapi ruangan itu kosong lalu aku bertanya tentang pasien atas nama Jonathan Bryan pada suster tapi tak satupun dari mereka yang mengetahuinya, mereka seolah menyembunyikan sesuatu dariku. Akhirnya kami menyerah dan memutuskan untuk pergi ke kafe terdekat.
"Kamu yakin kita ga salah rumah sakit?" Tanya sherly.
"Yakin, kalau pun dia udah ga di ruang ICU pasti dia di pindahin ke ruang biasa dong jadi ga mungkin suster disitu ga ada yang tahu!" Aku menggerutu kesal, "Dokter bilang dia koma karena pendarahan yg lumayan parah ga mungkin kan bisa langsung pulang!" sambungku yang mulai meringis.
"Sabar.. ini bukan salah kamu, mungkin keluarganya punya maksud sendiri untuk hal ini. Kita doain aja dia cepet sembuh kaya semula ya.." sherly mengelus pundakku pelan. Dia tahu ada gejolak kekhawatiran yang teramat besar dalam diriku.
***