Chereads / Puisi Bisu / Chapter 7 - Sebelum pelukan pertamaku

Chapter 7 - Sebelum pelukan pertamaku

Hari terakhir ujian semua masih tetap sama, meja di sebelahku masih tetap kosong. Aku menatap jam tanganku ternyata satu menit lagi waktu ujian akan berakhir, dan semua murid akan diliburkan menjelang hari pengumuman kelulusan tiba. Seharusnya aku senang karena hari ini hari terakhir ku memakai seragam sekolah, murid-murid lain sudah mempersiapkan cat warna untuk merayakan hari terakhir ini.

"Kamu ikut kan lia? Kita satu kelas mau coret-coret dirumahnya yunni tuh." Tanya Sherly.

"Kalo kamu ikut aku juga ikut kok." Jawabku setengah tersenyum.

Mungkin Sherly sadar ada hal yang sedang menggangu pikiranku hari ini, tak sedikitpun aku terlihat senang dengan momen ini. Walaupun aku tersenyum di depan murid lain yang meminta aku menuliskan namaku atau meminta aku menyemprotkan cat di seragam mereka itu semua tidak tulus kulakukan. Ada hal yang lebih aku pikirkan daripada momen saat ini.

Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari Jonathan. Aku terkejut setengah mati dan segera menjauh dari kerumunan untuk mengangkat panggilan ini.

"Halo, benar ini Aliah?"

Aku tersentak mendengar suara ini, "Iya benar, bu." Jawabku lirih.

"Bisa tolong datang kerumah? Nanti saya kirim alamatnya ke kamu, Jonathan... pingin ketemu kamu katanya."

Benarkah?! Aku terdiam memastikan bahwa ini bukanlah mimpi, yang aku dengar adalah nyata!

"Bisa bu, saya akan kesana."

Aku berteriak kesenangan, membuat keriuhan di momen ini senyap seketika. Aku membicarakan pada Sherly apa yang barusan aku dengar dari panggilan tadi, dan aku memutuskan pergi menuju alamat yang telah dikirim padaku lewat pesan singkat. Sherly senang akhirnya wajahku tidak murung lagi, akhirnya aku akan bertemu dengan Jonathan lagi. Dia berpesan agar aku mengabarinya kalau sudah sampai dirumah Jonathan nanti.

Aku sedikit salah tingkah diperjalanan menuju rumah Jonathan, Oh iya aku naik ojek online untuk sampai kerumahnya dan tiba dengan selamat disana.

"Jangan lupa bintang limanya ya dek." Kata tukang ojek itu ramah.

"Iya pak, terima kasih." Jawabku tersenyum.

Dari luar terlihat rumahnya cukup besar dan penuh dengan nuansa putih yang membuatnya terlihat mewah. Seorang satpam mendekatiku, dia bertanya apa aku ada perlu sesuatu disini kujawab bahwa aku teman dari Jonathan lalu dia mengantarku masuk kedalam rumah.

Sampai di ruang tamu yang cukup megah dan terlihat beberapa perabot mewah menghiasi ruangan ini. Seorang wanita paruh baya berjalan menuruni anak tangga di sekitar area ruang tamu ini, dia tersenyum melihatku satpam yang berada di sampingku mulai berjalan pergi meninggalkan kami berdua disini.

"Makasih ya udah mau datang kesini." Sambil tersenyum.

"Sama-sama bu." Aku membalas senyumnya.

"Mari ikut saya."

Ibu Jonathan memandu ku menuju sebuah ruangan kamar dan aku bertanya-tanya apa sebenarnya yang mau dia tunjukkan, aku berdiri di belakangnya dia menoleh kearahku dan menyuruhku untuk membuka kamar itu.

"Coba buka.."

Dia masih tersenyum. Aku memasang wajah yang bingung dan perlahan meraih gagang pintu itu. Dan betapa terkejutnya aku melihat Jonathan yang masih terbaring lemas diatas kasur lengkap dengan selang infus, disampingnya ada Andre yang tengah duduk meratapi tubuh Jonathan.

"Saya menghubungi kalian karena sepertinya kalian orang yang spesial bagi anak saya." Matanya mulai berkaca-kaca.

Tanpa sadar aku mulai memeluk ibunya dengan lembut dan tangisan kami pun pecah seketika.

Seminggu kemudian hari kelulusan pun tiba, aku masih memegangi surat kelulusanku masih belum kubuka entah mengapa aku merasa bahwa semua murid lulus 100% termasuk aku. Aku berjalan santai menuju kantin hendak menemui Sherly, terlihat beberapa murid berkumpul dan berteriak kegirangan karena mereka dinyatakan lulus oleh surat itu dan itu menambah keyakinanku bahwa aku pasti lulus walau tanpa melihat isi suratnya.

"Lulus ga?" Tanya sherly penasaran.

"Kayanya sih gitu.. pasti lulus lah! nih coba aja buka." Aku memberinya surat kelulusanku yang masih suci.

Sherly segera membuka dan memeriksa tulisan demi tulisan, dahinya mengernyit seperti ada sesuatu yang salah di dalam surat itu.

"Lulus kan sher?" Aku berpindah tempat ke sebelahnya ikut membaca dengannya.

"Hehehe iya lulus nih." Dia langsung tersenyum senang karena berhasil mengerjaiku. "Oh iya, tadi aku ketemu mamanya jonathan pas di kantor terus dia kasih ini buat kamu."

Sebuah surat dengan amplop berwarna biru dan bertuliskan namanya, Jonathan Bryan. Aku cepat-cepat membukanya, surat ini membuatku semakin penasaran bagaimana kabarnya sekarang. Aku baca kalimat demi kalimat dan sherly yang berada di sampingku juga ikut membaca surat ini. Di dalam surat ini dia menuliskan banyak kata maaf karena sudah membuatku cemas dan sudah baik-baik saja sekarang, dia juga bilang bahwa dia kehilangan secarik kertas yang sangat berharga baginya mungkin yang dia maksud itu kertas yang aku temukan di malam sebelum kejadian, dan satu kalimat terakhir yang membuatku sedih adalah dia mengatakan akan pindah dan berkuliah di Sydney. Tidak untuk selamanya namun untuk waktu yang lumayan lama karena juga menyangkut pekerjaan ibunya. Itu berarti perasaan ini harus kehilangan sosoknya dan mungkin akan menanggung rindu sendirian, intinya aku tidak siap dengan kenyataan ini.

Tring! Sebuah pesan muncul dari ponselku, Pesan dari jonathan yang bertuliskan alamat bandara juga jam keberangkatannya dia ingin aku menemuinya untuk terakhir kalinya sebelum dia berangkat yang dia sendiri juga tidak tahu kapan akan kembali. Aku dan Sherly saling menatap, seketika tatapanku menjadi murung dia berusaha menghiburku dengan sebuah hadiah yang dia keluarkan dari tasnya. Sherly memang mau memberikan hadiah kelulusan untukku, sebagai penghargaan katanya karena telah bersabar dengan segala situasi buruk yang sudah aku hadapi.

Lalu muncul Andre dari belakang kami, dia spontan mengatakan ingin hadiah yang sama untuknya. Dia mengatakannya hanya untuk bercanda aku tahu sherly berkode pada andre untuk menghiburku dan lumayan, aku tersenyum setelahnya.

"Gitu dong senyum, kan cantik lu kaya artis.. dian sastro tapi bohong! Hahaha." Kata Andre meledek.

Aku berteriak kesal padanya dan tertawa setelahnya. Sudah lama aku tidak tertawa dan melepas beban, setidaknya aku punya teman-teman yang baik seperti mereka. Harusnya sih tidak apa-apa.

Sampai dirumah aku langsung membantingkan tubuhku ke tempat tidurku merogoh tasku untuk mencari surat dari jonathan, aku tanda tulisannya dia memang menuliskannya sendiri dan kali ini aku rasa dia memang sudah baik-baik saja. Dan soal keputusannya untuk pindah ke sydney membuatku bimbang, sangat berat untuk kuterima padahal kami tidak saling memiliki dan aku belum mendengar sepatah-katapun dari jonathan tentang perasaannya padaku, tapi perasaanku sudah sibuk merasa keberatan mengenai keputusannya ini dan membuat pikiranku semakin lelah. Ibu mengetuk pintu kamarku dia mengajakku untuk makan malam.

Di tengah-tengah waktu makan ibu bertanya, "Gimana kabar temanmu yang koma itu?"

"Dia udah sadar, kayanya juga udah baik-baik aja kok buk." Jawabku singkat sambil menikmati makanku.

"Terus abis ini dia mau kuliah?" tanya ibu lagi.

"Iya... Di sydney." Jawabku lirih.

Aku sedikit melirik kearah ibu dia hanya tersenyum mendengar jawabanku.

Aku terus memandangi jam tanganku masih ada waktu 40 menit lagi sebelum Jonathan dan ibunya berangkat menuju Sydney. Tapi mereka belum juga terlihat, aku sengaja datang lebih awal. Lebih tepatnya satu jam lebih awal aku sudah datang. Jantungku terus saja berdetak dan perasaan ini rasanya tidak tenang, aku berdua dengan Sherly tapi seperti sendiri rasanya. Rasanya aku berada diambang dilema karena aku belum siap dan tidak pernah memikirkan kalau akan begini jadinya. Dari kejauhan terlihat seseorang melambaikan tangan kearahku, itu Andre dan dibelakangnya ada Jonathan beserta ibunya juga beberapa barang mereka. Aku spontan langsung berdiri melihat kehadiran mereka, perasaanku legah tapi jantung ini masih juga berdetak.

"Kalian udah nunggu lama ya?" tanya Jonathan.

"engg- "Iya hahaha gakpapa kok kita udah dateng dari satu jam lalu hahaha, gakpapa." Jawabanku di potong oleh Sherly, dia menjawab dengan jujur aku jadi sedikit kesal.

"Hai Tante, apa kabar?" Tanyaku ramah.

"Baik sekali, kamu juga harus terus baik-baik ya keadaannya." Sambil tersenyum ramah.

"Tante sini biar Sherly bantu bawain koper ya, sekalian kita duduk disana itu aja yuk tan." Sherly langsung mengajak ibu jonathan menjauh dari kami, dia seperti memberi kami sebuah ruang untuk bicara berdua, setelah itu Andre baru menyadari gelagat Shelry dan langsung mengikutinya. "Oh- eh sher tunggu!" dengan membawa ransel di punggungnya.

"Maaf ya lia." Jonathan menundukkan kepalanya.

"Kenapa harus minta maaf? Kamu ga salah kok." Aku menahan rasa ingin menangis di depannya dengan senyuman.

"Selama ini aku udah egois ke kamu, aku ga pernah berusaha lebih keras lagi buat ungkapi perasaan aku ke kamu dan sekarang rasanya makin berat untuk aku ungkapi itu. Sebenernya aku sayang sama kamu lia.." Matanya mulai berkaca-kaca dan tanpa sadar air mataku mulai menetes, dia memelukku dan bilang "Nangis lah sepuasmu disini." Akhirnya tangisanku pecah di pelukannya, hangat.. dan semakin erat pelukan ini.

Sisa 10 menit lagi sampai waktunya tiba, petugas sudah berjaga di pintu masuk dan panggilan demi panggilan mulai bersuara. Perpisahan ini begitu membuatku tersentuh begitu juga Sherly dan Andre, setidaknya wajah mereka berubah murung setelahnya. Sebelum pulang kami memutuskan untuk singgah di sebuah restoran dan makan malam disana.

Andre masih saja terlihat murung tapi aku bisa mengerti apa yang dirasakannya, ditinggal jauh oleh seorang sahabat memang sama sakitnya seperti ditinggal kekasih.

***