Chereads / Puisi Bisu / Chapter 5 - Perceraian Orangtuaku

Chapter 5 - Perceraian Orangtuaku

Kami sampai di depan gerbang rumahku, aku sadar selama aku diantar olehnya aku belum pernah menawarinya untuk mampir kerumahku. Rasanya sangat sungkan mempersilahkan laki-laki main kerumahku, apalagi dia adalah orang yang aku suka mungkin aku bisa salah tingkah di depannya. Tapi tak apa aku akan coba menawarinya, semoga dia menolak.

"Jo, mau mampir sebentar ga?" aku seakan ragu-ragu dengan pertanyaanku sendiri.

"Boleh emangnya?" pertanyaannya membuatku semakin ragu, mulutku kaku sesaat.

"Boleh, kalo mau." Aku tersenyum ragu.

Haduh! Bagaimana kalau dia tidak menolak?! Dia terus menatapku, Wajahku semakin gugup melihatnya.

"lain kali aja ya lia." Dia tersenyum.

Aku tersentak, legah sekali rasanya, ternyata dia menolak.

"Aku pulang ya. Bye." Dia memutar motornya dan segera pergi, aku hanya melambaikan sedikit tanganku.

Aku melangkah mendekati pintu rumahku, tiba-tiba terdengar suara pecahan gelas dari dalam rumah dibarengi dengan teriakan ibuku,

"aku muak sama kamu mas!!" suara ibu meringis pilu sangat jelas terdengar olehku.

Entah apa yang sedang mereka ributkan di dalam, yang jelas kejadian ini bukan yang pertama kalinya bagiku. aku masih enggan meraih gagang pintu.

Aku benci kejadian ini! Aku tidak suka! Sangat tidak suka! Apa mereka tidak memikirkan perasaanku?!

"Aku ga ada hubungan apa-apa sama dia, mir!" teriak ayah.

Aku menghela nafasku, kali ini aku paham, lagi-lagi keributan ini terjadi karena ayah kepergok dengan teman sekantornya. Aku juga sangat muak mendengar pertengkarannya! Aku segera pergi meninggalkan rumah, seolah memang belum waktunya aku untuk pulang.

Aku terus melangkah dengan perasaan hampa, entah kemana kaki ini akan membawaku. Hari ini cuaca sedikit terik dan aku merasa haus, aku berhenti di warung pinggir jalan. Membeli sebotol minuman dan duduk di meja warung yang kosong, kuteguk minumanku.

Aku tau di sebelah mejaku terdapat sekurumunan pria yang sedang nongkrong sambil bermain domino dan mereka merokok bebas, asapnya lumayan menggangguku, tapi aku tidak mempedulikannya. Bagiku perasaan hampa ini lebih penting.

Bahkan rasa was-was pun tak ada lagi, benar-benar hampa sekali. Sesekali mereka melirik kearahku, aku bisa merasakannya.

Lalu dari arah seberang sebuah kereta menghampiri warung ini, aku tak melihat siapa yang datang. Aku terus memandangi jalan dengan tatapan kosong.

"Lia, lagi ngapain disini?"

Suara itu menghampiriku, Aku pun menoleh, ternyata Andre.

"Lu sendirian? Jonathan mana?"

Dia duduk di hadapanku, aku sedikit terganggu dengan ocehannya, "Kenapa? Emang kelihatannya disini aja Jonathan ya?" jawabku ketus.

"Engga sih. tapi gue heran lu ngapain disini, sendirian pula." Dia tersenyum menyeringai padaku.

Aku enggan menjawab dan membuang tatapan darinya, Melamunkan hal yang baru saja terjadi di rumah tadi.

"Lu abis berantem sama Jonathan ya?" sambungnya asal.

"Apaan sih! Jonathan mulu!" jawabku kesal, aku segera bangkit dari dudukku dan pergi.

"Eh tunggu, aku anterin deh. Lumayan jauh kan kerumah lu kalo jalan." Dia menghampiriku dengan motornya.

Dari mana dia tahu rumahku? Aku meliriknya sinis, tapi mungkin tak ada salahnya dia mengantarku, "oke." Jawabku singkat.

Terlihat dari jauh rumahku di kerumuni para tetangga, aku pun heran. Kulihat mobil ambulance memasukkan ibu yang terbaring lemas. Aku terkejut dan menyuruh Andre untuk segera berhenti.

Aku berlari kearah ambulance itu, air mata mulai membanjiri pipiku. Aku berteriak kenapa, namun tak satupun orang mau menjawab, aku sangat histeris hingga ayah menarik tanganku dan menahanku agar ambulance bisa segera pergi menuju rumah sakit.

Aku menolak tubuh ayahku, "kenapa lagi sih yah?!" sambil berteriak, "Apa lagi yang ayah buat ke ibu?! Apa?!!" aku menangis tersendu dan menjadi pusat perhatian. Ayah tertunduk tak mengucapkan apapun, dia tampak merasa bersalah sekali.

***

Aku pergi mengunjungi ibu di rumah sakit dengan ayahku, kami tak bicara sedikitpun. Aku hanya kecewa padanya soal masalah ini, dan aku sangat khawatir dengan ibu, apa ibu baik-baik saja? Mataku mulai berkaca-kaca memandangi ibu yang terbaring lemas dari pintu kaca ruang ICU, beliau masih koma. Sementara ayah sedang berbicara dengan dokter tentang penyakit ibu.

Dari belakang ada yang menepuk pundakku pelan, membuatku tersentak. Ternyata Sherly, Jonathan dan Andre datang menyusulku, sebelumnya aku telah memberi tahu Sherly alamat rumah sakitnya dan ternyata dia tidak datang sendirian. Kami pergi ke kantin rumah sakit untuk bercerita tentang hal-hal yang terjadi padaku hari ini. Seperti dejavu, pikirku.

"sorry ya ndre, ninggalin lo gitu aja tadi siang."

"Gue lah sorry, tau tapi malah ga nolongin." Jawab Andre.

"Kamu yang kuat ya lia, kita temenin kamu kok kalo ada apa-apa, selalu cerita ya." Sherly menepuk pelan pundakku, dia berusaha menenangkan. Sebenarnya kehadiran mereka saja sudah membuatku tenang.

Jonathan hanya diam memandangi ku, tak sedikitpun kata terucap dari mulutnya. Tak masalah, aku senang dia disini. Dia bersandar di dinding di sampingku dan tiba-tiba tangannya mengelus rambutku, jantungku berdegup kencang dan untuk beberapa saat aku terdiam membiarkan tangannya mengelus-elus rambutku. Aku tertunduk dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ingin rasanya aku memeluk dan menceritakan semua keluh kesahku padanya.

Pukul 21.05 mereka semua pamit pulang, aku mengantar mereka sampai di parkiran. Jonathan masih tak bicara apa-apa padaku, wajahnya hanya datar sedari tadi. Mereka masuk ke mobil, Sherly memelukku dan melambaikan tangannya padaku lalu dia masuk ke mobil untuk segera bergegas pergi,namun tiba-tiba Jonathan keluar dari mobil dan memberiku sebuah kotak kecil.

"Ini. Dipakai ya."

Dia langsung lari kedalam mobil, dan mereka pun pergi. Aku mematung heran, kotak apa ini? Saat kubuka ternyata berisi kalung dengan liontin berbentuk bunga mawar.

***

Hari ini aku pergi kesekolah berusaha bersikap normal dan tak terjadi apa-apa, aku memakai kalung pemberian Jonathan membuatku sedikit gugup kalau-kalau ada yang memperhatikannya.

Jam tanganku masih menunjukkan pukul 07.00 masih sepih dan terasa dingin, mataku terasa mengantuk karena aku begadang menjaga ibu. Ya, tadi malam aku dan ayahku tidak pulang kerumah dan kami sepakat untuk tidur di kursi ruang tunggu ICU semalam.

Hanya ada aku dan beberapa murid di kelasku, aku memangku kepalaku, semakin terasa berat mata ini namun aku harus menahannya.

Sreekk! Suara geseran bangku di sebelahku membuatku kaget dan spontan menoleh. Jonathan? Bangkunya kan bukan disitu? Aku masih menatapnya heran, dia balas menatapku sambil tersenyum.

"Cantik." Katanya tersipu malu.

Dia langsung membuang muka dariku. Aku masih melihatnya kali ini sedikit bingung.

"Kalungnya cocok, cantik." Sambungnya.

Aku tersentak dan spontan menutup kalung yang kupakai dengan tanganku, aku membuang muka darinya. Aku baru ingat kalau mulai hari ini, aku memutuskan untuk memakai kalung pemberiannya! Semoga tidak terlalu mencolok.

***