Pergi tanpa merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukannya tadi benar-benar membuat ketiga temannya dibuat kagum melihatnya. Meskipun ini bukan kali pertama seorang Pangeran Kampus mengabaikan para perempuan cantik.
Bahkan James yang merupakan saudaranya sendiri sekalipun benar-benar masih tak habis pikir dengan laki-laki itu. Ikatan persaudaraan mereka tertutup rapat dari semua orang, termasuk sahabat mereka. Tidak ada yang mengetahuinya.
Kini Didan, Alfiz dan James melihat Yas yang sedang berjalan sendirian entah kemana. Seakan tak ingin tertinggal, maka mereka langsung pergi menyusulnya.
Yas yang tak menyadari kehadiran ketiga Sahabatnya yang tengah mengikutinya itu pun terus saja berjalan, berbelok, lurus, belok lagi, lagi, dan lurus.
Didan menggaruk kepalanya, mulai bingung mengikuti Yas yang tak kunjung sampai ke tempat tujuan. Begitu pula dengan Alfiz dan James yang juga sama sepertinya.
Laki-laki itu, Didan menyikut lengan Alfiz. "Sebenernya kita ngikutin si Yas mau kemana sih? Perasaan dari tadi gak sampe-sampe," ujarnya.
"Gue juga gak ngerti, ikutin ajalah," jawab Alfiz. Sedangkan James, laki-laki itu kini sejajar dengan Yas berada di samping saudaranya itu.
Yas yang menyadari ada seseorang di sampingnya itu pun langsung menoleh. Keningnya berkerut ketika melihat kehadiran James, saudaranya.
"Ngapain?" tanya Yas singkat. Laki-laki itu masih kesal dengan kejadian semalam, ia masih mengingatnya. Sedangkan James yang melihat itu langsung menghela nafasnya, dirinya tahu jika saudaranya itu masih kesal padanya.
James kemudian tersenyum begitu manis, ia mencoba merangkul laki-laki itu tetapi langsung ditepis oleh Yas. Terkejut? jelas, karena sebelumnya saudaranya ini tidak pernah semarah ini sebelumnya.
Akhirnya James pun mengangkat kedua tangannya, berkata, "Oke, gue minta maaf. Tapi, gue ngelakuin itu demi lo, Yas," ujarnya menegaskan.
Yas terus berjalan menatap lurus ke depan dengan wajah datarnya itu. Mendengar ucapan James, ia langsung terkekeh, sedangkan laki-laki itu mengerutkan keningnya.
James menghentikan langkahnya, ia menatap kepergian Yas yang terus berjalan meninggalkannya.
Melihat itu kedua sahabatnya yang sedikit tertinggal langsung menghampirinya, terutama Didan. "Lo kenapa?" tanyanya. James menoleh, kemudian kembali menatap punggung tegap Yas yang semakin menjauh.
"Dia masih marah sama gue," jawabnya. Kemudian berbalik pergi memutar arah yang berlawanan.
Didan yang melihatnya langsung bertanya, "Lah, terus lo mau kemana?" tanyanya.
"Kemana aja," jawab James berteriak, laki-laki itu terus berjalan tanpa menoleh sedikit pun.
Kemudian Didan dan Alfiz pun saling menatap satu sama lain. Mereka berdua seperti anak hilang ketika kedua sahabatnya berpencar seperti ini.
"Terus nasib kita gimana dong?" tanya Didan pada Alfiz. Sedari tadi sahabatnya itu hanya diam saja tak bersuara, meskipun ia tahu bahwa laki-laki yang bersamanya ini tidak pernah banyak bicara sepertinya dan James.
"Gak tahu, udahlah, mending kita ke Kantin aja," jawab Alfiz. Didan yang melihatnya langsung mngerutkan keningnya, berkata, "Lo laper, Fiz?" tanyanya.
Alfiz yang mendengarnya hanya menyengir saja, padahal ia tidak benar-benar ingin pergi ke Kantin, itu hanya karena dirinya tahu bahwa Yas sedang butuh waktu untuk sendiri. Maka dari itu, dirinya tak ingin Didan mengganggu waktu Yas dan James yang sedang tak bisa dikatakan baik-baik saja.
Didan pada akhirnya pun mengangguk mengiyakan permintaan sahabatnya itu, berkata, "Ya udah, ayo deh," putusnya yang langsung diangguki oleh Alfiz.
Disinilah sekarang berada, di sebuah rooftop dimana gedung-gedung pencakar langit begitu terlihat jelas dari atas sini. Angin yang berhembus kencang membuat seorang Yas sedikit tenang.
Pangeran Kampus, itulah julukan untuk seorang Yashelino Albert. Sungguh, Yas tidak pernah bermaksud untuk menjadi mahasiswa yang begitu banyak dikagumi oleh para mahasiswi dikampus ini.
Itu bukanlah gayanya, menjadi sorotan banyak orang. Sejak masuk kampus ini, namanya langsung terkenal begitu saja. Entahlah, apa yang membuat mereka berpikir bahwa ia adalah sesosok pangeran layaknya seperti didalam dongeng.
Disukai banyak orang? tidak, Yas tidak ingin seperti ini. Ia hanya ingin hidup tenang tanpa ada gangguan selama ini, tetapi hidupnya benar-benar sudah tak tenang sejak James saudaranya itu mengacaukan segalanya.
Sejak saat itu, tempat ternyaman dan tertenang hanyalah disini, di rooftop ini. Jarang sekali orang-orang yang datang kesini, maka dari itu Yas sangat menyukai tempat ini.
Ketika angin berhembus, Yas spontan menutup matanya begitu merasakannya. Tetapi tiba-tiba saja ia merasakan kesedihan yang mendalam, setiap angin berhembus dan menerpa wajahnya, ia selalu teringat pada masa lalunya.
Tanpa di sadari, sebelah matanya mengeluarkan air mata. Kerutan dikeningnya begitu terlihat jelas, laki-laki itu menangis, lagi. Yas menggelengkan kepalanya, rasa bersalah kembali menyeruak ke dalam hatinya.
"Maafin aku, maaf," ujarnya begitu lirih. Yas sadar bahwa semua sudah berakhir, ia tidak yakin jika bertahun-tahun yang akan datang hidupnya masih bisa bertahan.
Selama ini Yas sudah cukup tersiksa. Tidak ada orang yang tahu tentangnya, mereka hanya melihatnya dari apa yang didengar dan dilihatnya saja, tanpa tahu apa yang sebenarnya telah terjadi kepadanya.
Tiba-tiba bayangan wajah itu kembali terlihat, ia langsung membuka kedua matanya karena tak kuat menahan diri setiap kali dirinya melihat bayangan wajah dari orang itu.
Selalu, detak jantungnya berdegup begitu kencang. Bahkan keringat dipelipisnya mulai terlihat, Yas benar-benar merasa bersalah. Perasaan itu selalu menghantui dirinya, hidupnya benar-benar tidak tenang sampai saat ini.
"Apa kamu masih belum bisa maafin aku?" tanya Yas dalam hati. Ia benar-benar merasa jika dia masih tetap ada disekitarnya, padahal dirinya tahu bahwa itu hanyalah perasaannya saja.
Lutut Yas melemas, kini ia terjatuh begitu saja dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Ia rapuh, lagi-lagi merasakan perasaan ini yang saat ingin dirinya hindari.
Padahal Yas hanya ingin menenangkan dirinya saja, tetapi bayangan wajah itu begitu terlihat. "Apa aku harus mati untuk kamu?" tanyanya lagi seolah ia sedang berbicara dengan seseorang yang terus mengganggu hidupnya.
Yas hidup dalam bayang-bayangnya seseorang yang sampai saat ini masih dirinya cintai. Tetapi ia tidak pernah mengungkapkan perasaannya itu, karena ada yang lebih dipentingkan daripada itu.
Awan yang mulai menghitam, tak membuat Yas merasa takut. Hujan mulai turun membasahi bumi, bahkan laki-laki itu masih tetap saja berdiam diri membiarkan hujan membasahi tubuhnya.
Kedua matanya Yas pejamkan sekali lagi, ia mencoba melampiaskan semua beban di hati dan pikirannya.
"Aku mau bilang sama kamu, tapi aku takut. Aku terlalu pengecut buat bicara jujur sama kamu, maaf, maafin aku."
Kedua tangannya meraba dadanya yang berdenyut nyeri, rasanya begitu sesak sampai-sampai ia tak bisa menahannya lebih lama lagi.
Dan kini, Yas menyesal karena tak mengatakan yang sejujurnya kepada dia, orang yang begitu spesial di dalam hatinya. Juga, yang telah membuat hidupnya berubah menjadi gelap dalam sekejap.