"Jadi saya gak bisa ngelanjut untuk bekerja disini pak?"
"Maaf Gladys. Bapak juga bingung gimana cara atasi nya. Kamu tau sendiri ini kedai kopi kecil. Sekarang banyak anak muda yang lebih milik nongkrong di tempat yang lebih berkelas dan modern. Sedangkan tempat bapak? hanya gubuk kecil, nak"
Gladys menghela nafasnya kuat. Ia tersenyum lalu memutar tubuhnya setelah berpamitan dengan paman pemilik kedai. Rasanya kepalanya sakit sekali memikirkan banyak hal. Dan itu membuat dirinya kesal dan ingin sekali marah. Namun, ia harus menahan itu semua. Ia tau Tuhan tidak akan memberi cobaan sebegini besarnya kalau ia tau takaran kekuatan manusia itu sendiri.
Gadis itu duduk di trotoar jalan. Sambil membuka minuman kaleng soda, Gladys menatap kedepan dimana ia bisa melihat anak anak yang bermain petak umpet. Mereka masih kecil dan sangat manis. Dan di malam hari ini, mereka juga tak memikirkan makan apa besok. Indahnya masa kecil.
"Kok duduk di komplek rumah gue?" tanya seorang pemuda dengan mata polosnya dan bibir yang membentuk gravitasi senyuman.
"Ini bukan komplek lo, Daniel"
"Emang bukan. Gue kan cuman bilang gitu. Sewot amat buset!"
Gladys hanya mendengus lalu membuka kaleng soda keduanya. Daniel yang melihatnya langsung menyambar dan meminumnya. Membuat Gladys melotot sebal dan ingin mencabik pemuda itu.
"GAK PUNYA MODAL APA GIMANA SIH?!"
Daniel malah tertawa saat Gladys mengatakan itu. Suaranya yang berat dengan terpingkal pingkal mampu membuat Gladys makin naik darah. Ia menjambak rambut Daniel dan menghempas begitu saja. Matanya menatap nyalang pemuda itu yang ingin sekali ia sumpah serapahi beribu ribu kali.
"Udah keles gak usah ngambek"
Daniel mencolek pipi bulat Gladys. Membuat gadis itu makin ingin memasukkan Daniel ken
dalam panci panas. Sumpah demi kerang ajaib! Daniel lebih menyebalkan dari Patrick star di serial Spongebob.
"Lo ada kerjaan Daniel?"
"Hm? Gue?"
"Nggak! Neneknya Tapasya"
"Uttaran~" Daniel memainkan nada itu membuat Gladys makin kesal saja. Namun tak urung bibirnya ikut tersenyum saat cipratan ludah Daniel sudah mengenai dagunya.
Tipekal bicara berasa hujan lokal
"Ada nggak?!" tanya Ichi kesal
"Ada sih. Cuma lo mau apa nggak sama pekerjaan ini"
"Apa itu?"
"Ngajarin gue piano"
"Kenapa lo minta itu?"
Daniel tertawa lalu tangannya terulur mengusap kepala Gladys pelan. Dengan wajah teduh yang sangat dekat jaraknya ini membuat Gladys meneguk ludahnya kuat.
"Gue jatuh cinta sama permainan piano lo. Apalagi pas saat lo mainin Nocturne 9. Gue kayak ngerasa melayang"
"Lebay!"
"Iya! Lo tuh percayaan dikit napa sih sama gue"
Gladys tertawa mendengar pemuda itu bicara begitu. Menurutnya permainan pianonya tidak sepiawai bundanya. Dia masih amatir dan hanya tau itu saja. Kalau Rachminnof bundanya belum sempat. mengajarkan padanya. Maka dari itu ia belum mau mengajar di les piano padahal banyak tawaran datang.
"Coba sini ayo!"
Daniel menarik gadis itu ke tengah lapangan dimana anak anak berkumpul. Dia memutar tubuh Gladys dan mencubit pipinya. Kini wajah Gladys sudah merah karena anak anak itu juga mengikuti apa yang di katakan Daniel.
Gadis 21 tahun itu mengejar anak anak itu juga. Menjambak Daniel lalu memberi lumpur yang pada wajah pemuda itu. Gladys tertawa riang dan kembali menata wajah Daniel dengan banyak hal. Bahkan sekarang ia menaburi wajah pemuda itu dengan tanah.
Ia bahagia dengan Daniel
Namun juga takut
-/-
Malam harinya Gladys pulang kerumah mewah yang bahkan terlihat sangat megah. Dia mengendap pelan agar suara kakinya tidak ketahuan. Dengan perlahan ia masuk ke dalam kamar. Kamar yang bahkan sangat di katakan benar benar mewah.
Gladys mandi dengan cepat. Udara sangat dingin sekarang. Dengan baju minions dan sandal kelincinya, ia sudah bersiap ingin tidur. Ketika ia menghampiri meja rias untuk memakai handbody. Perutnya serasa di peluk dari belakang. Ia tak terkejut lagi. Ini sudah terlalu biasa. Walau pintu kamarnya di kunci, pria ini akan dengan mudahnya masuk ke dalam.
"Darimana saja?" ucap pemuda itu dengan nada berat. Ia menciumi leher Gladys hingga meninggalkan bekas disana. Gladys hanya diam menahan nafas dan memegang erat sisi bajunya.
Pemuda itu sekarang memutar tubuh Gladys menghadapnya. Dengan cekatan ia membuka kancing baju gadis itu dengan lembut. Bibirnya yang masih menyatu dengan bibir Gladys tak di hentikannya. Pemuda itu bahkan sudah membawa Gladys ke ranjang dan makin menciumnya ganas.
"Dave, stop it"
Pemuda itu tak berhenti. Makin melunjak dengan membuka seluruh pakaian Gladys. Gadis itu ingin menangis saja saat bajunya sudah tak berbentuk lagi.
"Aku mohon, Dave"
"Sampai kapan? Aku ingin memiliki anak"
"Dave! aku masih kuliah. Kamu pahami sedikit"
Dengan tubuh yang sudah shirtless, pemuda itu menatap wajah Gladys dengan teduh. Gadis yang di bawahnya ini hanya meneguk ludah dengan bibir gemetar. Rasanya kepalanya kembali pusing sekarang.
"Lalu tunggu apa? Tunggu kamu dan dia bersatu?" Dave menarik dagu Gladys. "Aku suamimu. Orangtuamu menyetujuinya dan sekarang kita sudah menikah bukan? Selama empat tahun ini. Apa aku pernah dengan paksa meminta hakku? Gak ada. Dan kamu gak mengerti juga?"
"Karena aku nggak cinta sama kamu, Dave. Orangtua kita bener bener gak bisa memaksa kita kan? Aku sama kamu gak saling cin-"
"Aku cinta kamu" tekan Dave di setiap kata. "Aku cinta kamu maka dari itu aku menerimanya perjodohan ini. Dengan kamu sama dia memangnya kalian akan bersatu? Dia musuh keluargamu. Karena keluarganya kalian kehilangan kakakmu"
"TAPI BUKAN DIA YANG SALAH!"
Wajah pemuda itu berang. Ingin sekali ia membentak istrinya. Namun, melihat air mata itu ia tak sanggup. Dengan langkah gontai ia keluar kamar tanpa mengenakan atasannya.
Gladys meraup wajahnya. Suara isakan itu keluar dengan derasnya. Tubuhnya ia lilit dengan selimut tebal itu.
Ia tau kalau dirinya berdosa karena tak bisa memenuhi kewajibannya sebagai istri. Namun, empat tahun lalu mereka menikah itu adalah paksaan. Alasan kakaknya yang meninggal memperkuat paksaan itu dan membuat Gladys juga Daniel tak bisa bersatu.
Dulu saat ia masih SMA, ia ingin menerima Daniel. Hanya saja ia masih mau fokus sekolah maka dari itu ia tak menerima ajakan Daniel. Namun tak melarang pemuda itu dekat dengannya.
Hubungan tanpa status
Namun Daniel menganggap mereka telah berpacaran. Lucu, pemuda itu memang membuat moodnya naik hanya dengan membayangkan wajah manisnya.
Gigi kelinci, tubuh kekar namun punya ketakutan pada kupu kupu. Sangat lucu dan mampu membuat Gladys senang.
Namun, pernikahan paksa yang terjadi membuat dirinya yang ingin menerima Daniel hilang seketika. Rasanya ia ingin menangis mengingat kejadian itu. Daniel membuatnya senang. Sedangkan suaminya, hanya membuat ia tertekan.
Perbedaan umur sebanyak 5 tahun memang tak masalah. Namun, Dave adalah orang yang sangat cerdik dan Gladys merasa tak nyaman di dekatnya. Gladys rindu Daniel.