Chereads / PICK LOVE [INDONESIA] / Chapter 37 - ULAR ADALAH PIHAK KETIGA

Chapter 37 - ULAR ADALAH PIHAK KETIGA

"Bukankah udah gue bilang kalau hubungan gue sama lo udah berakhir jauh-jauh hari? Gue udah menegaskannya, dan lo datang saat gue lagi sama Salsha?" kesal Aldi saat Tania kembali mendekati tempat dimana Salsha dan dirinya sedang duduk karena keluar makan malam bersama.

"Menjijikan," Simple Aldi membuat Tania menaikan satu alisnya bingung. "Kenapa lo sefrontal itu, bukankah lo yang meminta gue datang juga setelah lo sama Salsha pergi berdua? Gue hanya mau menunggu, dan bukan maksud gue juga untuk datang lebih awal, hanya saja gue mau mempersingkat waktu kalian agar gue enggak sering-sering pulang pagi," Salsha tersedak minumannya sendiri saat Tania mengatakannya dengan sangat santai.

Salsha melihat ke arah Aldi san kembali ke Tania. "Siapa yang benar di sini," ucap Salsha langsung aja. "Gue dipermainkan terlalu buruk sampai-sampai gue diperbodoh oleh dua orang terus menerus tanpa jeda," lelah Salsha.

"Jangan dengarkan apa kata Tania," ucap Aldi yang mengalihkan wajah Salsha dari meja Tania yang duduk di samping mejanya berbeda dua saja.

Aldi mengambil alih wajah Salsha dengan tangan agar fokus pada wajahnya saja, Salsha mengerucutkan bibirnya kesal. "Gue benar-benar enggak bisa bertahan kalau apa yang Tania bilang tadi adalah kebenaran," ucapnya membuat Aldi menggelengkan kepalanya pelan.

"Percaya sama gue," minta Aldi membuat Sasha menghela nafasnya berat. "Ayo antar gue pulang," ajak Salsha agar acara pergi keluar dihentikan hanya limabelas menit duduk bersama saja, tentu saja Aldi menolaknya mentah-mentah.

"Kenapa buru-buru, makanan belum datang dan lo juga enggak harus pulang juga sebelum makan," Salsha meringis sebal dan membuang wajahnya tidak menatap pada Tania.

Posisi Salsha saat ini seperti terlihat membenci Tania, padahal apa yang dikatakan Tania tidak benar-benar terjadi, hanya saja dia terlalu percaya pada Aldi juga akan membuat wkatunya terbuang sia-sia seperti saat ini.

Salsha bimbang, dia benar-benar harus memilih dipihak mana dia akan berdiri untuk membuat posisinya menjadi lebih baik dan agar tidak tertimbun seperti sebelumnya.

Hanya saja Salsha tidak memiliki keberanian untuk melakukan itu. Sangar disayangkan.

Dua menit hanya diam, akhirnya makanan mereka berdua datang. Aldi dan Salsha makan seperti biasa, tidak ada masalah datang dari sisi siapapun. Aldi tidak, Salsha tidak dan Tania juga terlihat memainkan ponselnya sendiri tidak memesan makanan atau hal lain untuk menghancurkan acara mereka berdua sama sekali.

Salsha terus mencuri lihat pada Tania yang maish anteng sendiri, Aldi menyadarinya dan langsung menegur. "Apa yang lo lihat dari Tania?" Merasa ketahuan, Salsha sama sekali tidak mengatakan apapun dan hanya menggelengkan kepalanya pelan.

"Bukan apa-apa," Aldi menganggukan kepalanya kemudian melanjutkan makanannya sampai tandas. "Gue hanya mau mengingatkan kalau hubungan lo sama gue harus menjadi lebih serius mengingat Iqbal akan kuliah bukankah seharusnya lo senang kalau Iqbal pergi? Lo akan lebih mudah melupakannya dan mulai fokus pada hubungan kita," Salsha menganggukan kepalanya tanpa ragu sedikitpun. "Iya," jawab Salsha pelan.

Namun matanya masih fokus pada Tania. "Tapi Tania belum pergi di hidup lo, gue rasa enggak ada Iqbal tapi masih ada Tania hubungan kita enggak akan baik-baik aja," ucap Salsha tanpa sadar membuat Tania mendengarnya.

Aldi tersenyum tipis. "Gue bisa mengurusnya," jawab Aldi memberi Salsha sedikit pengarahan agar dia tidak mengkhawatirkan soal Tania.

"Gue enggak percaya," jawab Salsha membuat Tania sedikit terkekeh. "Jangan percaya, lo memang seharusnya enggak percaya ke Aldi karena dia memiliki banyak cabang di lidahnya," sahut Tania ingin ikut campur membuat Aldi menatap Tania dengan tajam.

"Gue juga berusaha enggak perduli, tapi ada ular yang enggak tahu diri," sahut Salsha yang yidak ingin kalah membalas Tania seperti Tania membalasnya mengenai Aldi. Tania terkekeh mendengarnya.

"Ular enggak akan datang ke dalam rumah jka tidak ada orang yang memberinya jalan dan celah untuk masuk, percayalah,"

"Bukan pihak ketiga yang harus disalahkan melainkan pihak kedua yang memberi celah pada pihak ke ketiga agar masuk. Jangan menyalahkan ular kalau pemiliknya saja yang memberikan celah," Salsha memutar bola matanya malas saat mendengarnya.

"Benar, tapi bukankah ular harusnya tahu kalau di dalam ada pasangan pemilik? Jika dia tahu, kenapa dia masuk jika untuk masalah,"

•••

"Ayah, aku benar-benar tidak menyukainya," kesal Iqbal saat apa yang ayahnya katakan membjatnya sedikit marah.

"Kenapa? Ini untuk kebaikanmu sendiri. Ayah benar-benar tidak suka saat melihat kamu dengan Salsha ditemukan di lift dengan keadaan Salsha di atasmu, dan untuk yang kedua, bukankah sangat tidak etis jika yang melihat adalah teman ayah? Ayo, loloskan saja untuk mendalatkan ke perguruan tinggi lebih serius, ayah takut pergaulanmu akan semakin buruk dengan Salsha," Iqbal berdecak sebal.

"Aku menyukai Salsha bukan tanpa alasan, aku dengannya waktu itu juga," Ayah Iqbal menggelengkan keplaanya tidak ingin mendengar.

"Pertegas saja, kamu mau ayah jodohkan saat ini atau setelah lulus S1," ucap tegas ayah Iqbal membuat Iqbal tidak bisa melakukan apapun sekarang.

"Aku akan sekolah dulu," Ayah Iqbal menganggukan kepalanya pelan, lalu terkekeh. "Jaga kesehatanmu, dan juga jangan sampai kamu tidak lolos untuk ini. Buktikan kecerdasanmu seperti ayah dan bunda, jangan hanya sekolah untuk dibuat main tanpa hasil," sambung lagi, Iqbal menghela nafasnya berat.

Ayahnya memang tidak akan pernah puas, jika dia mengatakan tidak baik itu adalah kerja keras Iqbal yang selama ini terus mendapat nilai dan peringkat pertamanya demi ayahnya melihat.

Sayang sekali ayahmya selalu haus akan prestasi anaknya seperti dulu opa mempertegas ayah dan ayah membalasnya pada Iqbal. Ini sangat menyudutkannya, namun Iqbal hanya bisa merasakannya dengan pelan dan nyaman.

"Apa ayah akan senang saat aku bisa lolos ujian ini?" Ayah menjawabnya hanya dengan anggukan kepala pelan. "Iya, tapi ayah akan lebih senang saat kamu lulus S1 dengan nilai sama seperti ayah," ucapnya lagi dan sama.

Iqbal tersenyum tipis sedikit miris, namun dia tidak mengatakan apapun selain diam dan meraskaannya.

"Aku akan mengusahakannya," jawab Iqbal membuat ayah menganggukan kepalanya bangga. Dia mengelus bahu Iqbal dan sedikit memukul seperti menghilangkan noda kotor.

"Kuatkan bahumu, kamu akan bersekolah di LA jika lulus, dan terlepas dari itu. Kamu benar-benar harus menjadi kebanggakan ayah dan bunda. Hanya kamu yang bisa mewujudkannya, gunakan waktu dan usahamu dengan kuat nanti," Iqbal menganggukan kepalanga tegas.

"Aku tidak keberatan sama sekali, hanya saja tinggal hanya dengan ayah tanpa bunda membuatku sedikit sensitif," Ayah terkekeh mendengarnya.

"Satu bulan bukankah cukup?" Iqbal memnggelengkan kepalanya menjawab jika satu bulan dalam satu tahun saja tidaklah cukup sama sekali.

"Satu bulan adalah waktu yang sangat cepat, seperti saat aku setelah mandi untuk tidur dan bangun untuk sekolah dan bunda sudah kembali lagi," jelas Iqbal membuat ayahnya tersenyum tipis. Dia melebarkan tangannya untuk Iqbal memeluknya.

Iqbal menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan membuatmu seperti laki-laki lemah dan menangia," tolak Iqbal dan membuang wajahnya tidak ingin melihat wajah ayahnya.

"Maafkan ayah," lirihnya membuat air mata Iqbal menetes begitu saja membuat ayah Iqbal berjalan mendekati anaknya lalu memelukanya dengan tiba-tiba sekali dan erat.

"Maafkan ayah yang tidak bisa membuatmu merasakan kasih sayang keduanya dalam waktu yang lama," Iqbal memeluk tubuh ayahnya dengan erat.

"Bahkan aku lupa bagaimana wajah bunda terakhir kalinya, lelah sekali ayah. Aku benar-benar menghargai bunda, namun dia keras kepala dan membuatku tersakiti tanpa disengaja," Ayah Iqbal mengelus puncak kepala Iqbal pelan.

"Kamu akan tinggal dengan bunda begitu kamu lulus, usahakanlah,"