Raka mengamati sekitarnya dengan tatapan bingung, di depannya saat ini ada sebuah rumah sederhana berlantai dua dengan halaman yang ditumbuhi rerumputan hijau yang terawat. Di sekitarnya terlihat beberapa jenis bunga yang tumbuh dengan cantik, pemilik rumah pasti menyukai bunga pikirnya.
Raka masih mencoba memahami situasi di depannya, saat beberapa anak berlarian ke arahnya berdiri, tepatnya berlari ke arah Andhra. Melihat bagaimana anak-anak itu menyambut sahabatnya itu, dia yakin kalau anak-anak itu memiliki hubungan yang dekat dengan Andhra. Tapi, bukankah Andhra cuma hidup sendiri? sejauh yang dia tau, kenyataannya sahabatnya itu hanya sebatang kara. Lalu, siapanya Andhra anak-anak ini?.
"Mereka adik-adikku" tutur Andhra saat melihat raut bingung sahabatnya.
Raka semakin mengernyitkan dahinya.
"Bukan adik kandung, hanya anak-anak yang ku anggap adik"
Raka hanya membulatkan mulutnya dan menganggukkan kepala pelan.
"Ayo kita masuk"
Melihat Andhra yang mulai berjalan masuk mau tak mau Raka pun mengikutinya, meskipun masih banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan, tapi nanti saja lah pikirnya.
Tepat saat mereka masuk ke dalam, mereka di sambut oleh seorang wanita yang berumur sekitar 40 an dan seorang wanita yang terlihat lebih tua dengan rambut putihnya yang mempesona.
"Andhra kau datang?" sambut si wanita berambut putih sambil memeluk Andhra.
"Ya nenek, apa kabar?" sahut Andhra sambil membalas pelukan wanita yang dia panggil nenek tersebut.
"Apa yang kau harapkan dari wanita tua ini huh?"
Andhra terkekeh dan melepas pelukannya, lalu menatap si nenek dengan senyum tipis.
"Nenek terlihat lebih muda dari terakhir kali aku berkunjung kemari"
Nenek itu menepuk lengan Andhra pelan, menggelengkan kepalanya dan terkekeh mendengar ucapan Andhra.
"Kau selalu saja menggodaku" ucapnya.
Andhra hanya membalasnya dengan kekehan, lalu memilih memeluk wanita di sebelah neneknya yang hanya tersenyum sejak tadi.
"Bibi aku merindukanmu"
"Eei, kalau kau rindu kenapa tidak sering-sering berkunjung huh?"
"Bibi tau aku sibuk" ucapnya seraya melepas pelukannya.
Mendengar jawaban Andhra membuat si bibi dan nenek tersenyum sedih. Yah, mereka tau bagaimana kehidupan yang dilalui remaja tanggung yang saat ini sedang tersenyum manis di depan mereka.
Tidak ingin larut dalam suasana sedih, si nenek langsung mengalihkan pembicaraan saat melihat Raka yang hanya terdiam menyaksikan mereka sejak tadi.
"Oh, siapa anak tampan ini?" tanyanya.
Raka yang merasa dirinya di perhatikan langsung menegakkan badannya dan tersenyum canggung.
"Ah ini temanku nek, hampir saja aku lupa. Maaf Ka, aku hampir melupakanmu"
Raka mencebikkan mulutnya saat mendengar ucapan Andhra, dan semakin sebal saat melihat kekehan sahabatnya itu.
"Temanmu?" tanya nenek dengan mata berbinar. Dan diikuti dengan tatapan berbinar lainnya dari bibi dan anak-anak.
Raka yang merasa ditatap penuh binar seperti itu hanya berdiri canggung, tidak tau harus berbuat apa.
"Berhenti menatapnya seperti itu, kalian membuatnya tidak nyaman" kekeh Andhra.
"Ya, dia temanku. Kami teman sekelas dan sebangku, dia teman dekatku" lanjutnya.
Nenek dan bibi saling bertatapan, lalu senyum kecil muncul dari bibir mereka.
"Ah, siapa namanya?" tanya nenek.
"Nama saya Raka, salam kenal" ucap Raka memperkenalkan diri.
"Raka ya?, terimakasih sudah berteman dengan Andhra. Dia anak yang dingin kan? kau pasti sering menahan kesal saat bersamanya"
Andhra mendelikkan matanya mendengar ucapan nenek, sedangkan Raka mengangguk menyetujui.
"Tapi kalau dia sudah menganggapmu temannya, itu berarti dia percaya padamu" lanjut nenek sambil tersenyum dan mengelus pundak Raka pelan.
Raka terdiam, menatap nenek yang tersenyum tulus ke arahnya. Senyum itu, entah bagaimana menggambarkan rasa lega yang luar biasa hingga tanpa sadar Raka ikut membalas senyum itu dengan tak kalah tulusnya.
"Kau bisa memanggilku nek Hana atau nenek saja. Dan ini Bi Lia, kau juga bisa memanggilnya bibi"
Raka mengangguk, lalu memberikan senyum sopan kepada Bi Lia.
"Kalau begitu ayo duduk dulu" ajak bi Lia.
.
.
.
.
"Kalau bukan karena nenek dan bibi, aku tidak akan pernah tau kalau kau pernah tinggal di panti asuhan"
Andhra tersenyum mendengar keluhan temannya, saat ini dia memilih diam sambil menatap pemandangan yang ada di luar jendela bus.
Saat ini mereka sedang dalam perjalan pulang, setelah tadi berkunjung ke panti asuhan.
"Kau tidak berniat bercerita padaku ya?"
"Itu bukan hal penting" sahut Andhra akhirnya.
"Itu penting bagiku, kau temanku" ucap Raka sambil menatap sebal sahabatnya.
"Iya iya, maaf"
"Kau tidak perlu minta maaf"
"Terus?" Andhra masih belum mengalihkan tatapannya.
"Kau hanya perlu menceritakan apapun masalahmu padaku, aku akan sangat senang jika kau mau lebih terbuka padaku"
Andhra tersenyum tipis, perkataan sahabatnya itu mengingatkannya pada seseorang dari masa lalu.
"Kau harus lebih terbuka tentang hidupmu padaku, bagaimanapun kau sudah masuk ke dalam hidupku. Bagiku, setiap orang yang datang dalam hidupku bukan hanya membawa raga mereka saja tapi juga semua hal yang pernah mereka lalui. Meski kau datang dengan dirimu saat ini, bukan berarti kau tidak membawa masa lalu kan?. Ceritakan padaku, apapun itu aku akan menerimanya, seperti aku menerimamu yang sekarang"
Andhra melebarkan senyumnya saat mengingat kata-kata itu. Yah, seseorang pernah menjadikannya sangat berarti. Dan sekarang Raka melakukan hal yang sama.
"Kau dengar aku tidak sih?" ucapan kesal Raka menyadarkan Andhra dari lamunannya.
"Aku akan berusaha" tuturnya pelan.
"Hah berusaha apanya?"
"Berusaha lebih terbuka tentang hidupku, puas?!" ucap Andhra agak keras sambil memelototkan matanya ke arah Raka.
Raka terkejut beberapa saat, lalu tersenyum puas sambil mengacak rambut Andhra gemas.
"Anak baik" ucapnya senang.
"Jangan mengacak rambutku, aku bukan anak kecil"
Andhra menepis tangan Raka yang sedang mengacak rambutnya.
"Kau memang bukan anak kecil, tapi kau mengingatkanku pada adik sepupuku yang berusia lima tahun" sahut Raka.
Raka kembali mengacak rambut Andhra lebih keras, sehingga membuat Andhra berseru kesal.
"Hentikan Ka!!"
"Kontrol suaramu Ndhra" Raka mengingatkan Andhra, saat seruan temannya tadi menarik perhatian penumpang lain.
Raka tersenyum jahil yang di balas decakan sebal oleh Andhra. Tapi detik berikutnya Raka tersenyum senang, karena baik dia dan Andhra saat ini sudah saling mencoba membuka diri. Buktinya, sahabatnya itu mau mengajaknya ke panti asuhan yang menjadi saksi bisu bagaimana beratnya hidup yang sahabatnya itu jalani.
.
.
.
.
Andhra dan Raka turun dari bus setelah bus berhenti di tempat pemberhentian yang mereka tuju.
Langit sudah mulai senja yang tak lama lagi jejak jingganya akan digantikan oleh sang gulita malam.
"Kau akan lanjut kerja ke mini market?"
Sambil terus melangkahkan kakinya Raka menyempatkan untuk bertanya pada Andhra.
"Tidak, aku sudah izin juga. Jadi aku akan langsung pulang"
"Kalau begitu aku nginap lagi ya?"
Andhra menghentikan langkahnya dan menepuk kepala sahabatnya itu.
"Kau gila?" serunya.
"Hei, hei aku waras. kau yang gila disini, kenapa malah memukul kepalaku sih?" sungut Raka sambil mengelus kepalanya.
"Kau sudah menginap semalam"
"Kau merasa terganggu ya?"
"Bukan begitu, orang tuamu akan khawatir nanti" jelas Andhra.
"Mereka tidak akan khawatir" ucap Raka yang diikuti decihan.
Andhra sadar, ada yang salah dengan sahabatnya itu.
"Kau ada masalah?" tanyanya.
"Tidak!" sahut Raka asal.
"Masalah keluarga?" Andhra menatap tajam Raka dan berusaha menyudutkannya.
Raka diam, dan hal itu membuat Andhra menghela napas pelan.
"Ayo ikut aku, kita duduk di taman itu sebentar"
Tidak menunggu jawaban sahabatnya, Andhra memilih terus berjalan ke arah taman yang kebetulan ada di samping jalan yang mereka lewati.
Raka yang tidak punya pilihan hanya mengikuti Andhra, dan mendudukkan dirinya di samping sahabatnya itu saat melihat Andhra memilih duduk di salah satu bangku taman.
"Ceritakan!" suruh Andhra
"Tidak ada yang penting untuk diceritakan"
"Kau yang meminta supaya kita saling percaya dan membantu satu sama lain kan?"
Raka terdiam, ya perkataan sahabatnya itu memang benar adanya.
"Aku bertengkar dengan ayahku" ucapnya akhirnya.
Andhra menatap sahabatnya itu dan menghembuskan napas pelan.
"Ceritakan" ucapnya sambil mengalihkan tatapan ke langit.
"Sudah sejak lama hubunganku dan ayah tidak dalam kondisi baik, kami terus berselisih sejak mama pergi meninggalkan rumah. Mama pergi sejak aku berada di tingkat pertama JHS. Saat itu mama hanya pergi dari rumah, tapi sebulan setelahnya entah bagaimana orang tuaku malah bercerai"
Raka tersenyum miris saat mengingat kenangan yang setengah mati ingin dia lupakan. Tapi sialnya, kenangan itu malah sangat menyukainya hingga sering kali menjadi mimpi buruk dalam tidurnya.
Andhra mengangguk paham, tapi tetap diam menunggu Raka melanjutkan.
"Aku bertanya alasannya pada mereka, alasan kenapa mereka berpisah. Tapi mereka hanya menanggapi pertanyaanku dengan remeh, seakan aku tidak perlu tau apa yang terjadi. Bukan urusan anak kecil kata ayahku atau anak kecil tau apa kata mamaku. Aku kesal, aku mengerti itu masalah mereka tapi itu sangat berdampak pada hidupku. Hidupku yang ku pikir semuanya baik-baik saja berubah dalam sekejap. Sebelumnya aku di kejutkan dengan kenyataan bahwa orang disekitarku palsu, mereka hanya tertarik dengan harta keluargaku"
Raka tersenyum miris.
"Tapi aku baik-baik saja karena aku pikir selama masih ada ayah dan mama aku akan baik-baik saja. Tapi alasanku bertahan malah hilang begitu saja, bahkan menjauh tanpa alasan yang jelas. Sejak saat itu baik ayah dan mama berubah, mereka jadi tak peduli padaku dan sibuk dengan urusan masing-masing. Ayah dengan kerjaannya dan mama dengan keluarga barunya. Itu membuatku muak. Aku anak kandung mereka kan? tapi kenapa aku merasa sendirian di dunia ini"
Raka menarik napasnya lalu menghembuskannya kasar.
"Melihat ayah yang tertawa dengan para rekan bisnisnya, melihat ibu yang bahagia dengan keluarga barunya membuatku muak. Muak pada diriku sendiri yang merasa sedih dengan keadaanku. Kenapa hanya aku yang bersedih, sedangkan mereka berdua bisa bahagia dengan cara mereka masing-masing. Aku sadar semenjak itu, mau berapa kali pun aku bertanya, berapa kali pun aku bertingkah atau berapa kali pun aku menangis, keadaannya tidak akan berubah. Mereka tetap tidak peduli, jadi aku merasa jenuh dan memilih untuk tidak peduli lagi"
Raka diam sebentar, lalu tersenyum tipis. Menertawakan hidupnya.
"Beberapa hari ini aku bertengkar lagi dengan ayah, masalahnya sepele aku hanya merasa muak saja saat melihat wajahnya dan kurasa dia juga muak dengan tingkahku, makanya aku malas pulang ke rumah"
Raka diam, matanya melirik Andhra mencoba mencari tau ekpresi seperti apa yang muncul di wajah temannya. Namun, yang dia temukan hanya wajah datar Andhra yang sering dilihatnya. Raka terkesiap, lalu terkekeh geli.
"Kenapa tertawa?" tanya Andhra mengernyitkan dahi.
"Kau, tidak bisakah sedikit prihatin dengan ceritaku. Wajahmu datar sekali"
Andhra mendecih.
"Kau tidak sekarat, kenapa aku harus prihatin?. Kalau kau cerita kau punya kanker otak stadium akhir baru aku akan merasa prihatin padamu" jawabnya sambil mengedikkan bahu.
Raka terdiam, mencoba memahami perkataan sahabatnya tadi.
"Kau benar, aku tidak sekarat" lirihnya.
"Kau tau. Ku pikir saat ini, saat kita masih bisa menikmati senja sore hari, menikmati berbagi cerita seperti ini, ada orang yang sedang berusaha untuk hidup atau mungkin ada orang yang sedang sekarat bahkan mati. Bukankah kita masih lebih beruntung? karena masih bisa melewati hari ini dengan nyaman"
Raka tersenyum, lalu mengangguk. Melihat itu, Andhra ikut tersenyum dan melanjutkan perkataannya.
"Dari ceritamu aku tau hidupmu tidak baik-baik saja, pasti sulit. Bagaimanapun kau kehilangan orang-orang yang kau percaya, itu bukan hal yang mudah untuk di terima. Tapi, menghindari ayahmu dengan cara bertingkah buruk bukan hal yang benar. Kau memang bisa menghindari masalahnya, tapi tidak menyelesaikannya. Sebagai sahabatmu aku ingin memperjelas itu"
Raka diam.
"Tapi, aku juga bukan kau. Kau yang lebih tau rasa sakitmu, jadi mau sekuat apa aku mencoba memahami aku tetap tidak bisa merasakan sakit yang sebenarnya. Aku bisa saja memberikan solusi, tapi pada akhirnya kau yang harus memutuskan sendiri. Aku hanya bisa menyemangatimu. Karena itu, aku tidak bisa apa-apa selain mendengarkan dan menjadi tempatmu untuk berkeluh kesah"
Raka tersenyum tipis, membuat Andhra ikut tersenyum juga.
"Jadi karena kau sedang sedih saat ini, aku akan membiarkanmu menginap" ucapnya yakin.
Raka terkekeh.
"Sekarang kau prihatin?" tanyanya.
"Aku peduli"
Andhra mengedikkan bahunya, lalu menatap langit dengan wajah datarnya.
"Nenek benar, kau sangat dingin"
Andhra tak peduli.
"Kau sudah merasa lebih baik?" Andhra lebih memilih bertanya tentang keadaan Raka saat ini.
"Ya, rasanya lebih baik setelah berbagi cerita. Kau tau, meski tidak bisa menyelesaikan masalahnya tapi cukup melegakan ada orang yang bisa mendengarkan ceritamu"
Andhra mengangguk membenarkan.
"Sekarang giliran kau yang bercerita, bagaimana?"
Andhra diam, mencoba memikirkan tawaran Raka.
"Baiklah, apa yang ingin kau tanyakan?" ucapnya setelah memutuskan.
"Bagaimana kau bisa tinggal di panti?" Raka mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
Andhra melirik Raka sekilas, lalu menghembuskan napasnya pelan dan tersenyum tipis. Aneh rasanya saat dia mencoba untuk mengingat kembali kenangan lama, perasaannya jadi campur aduk. Ada rasa senang saat dia berhasil menemukan satu hal yang membuatnya bahagia, namun detik selanjutnya rasa takut lebih mendominasi saat dia menemukan puluhan alasan yang membuatnya terluka.
Tapi tak ada salahnya kan berbagi sedikit dengan Raka?.
"Seseorang mengajakku tinggal disana" tutur Andhra pelan.
"Seseorang?"
"Ya, bisa dibilang dia teman pertama yang ku punya sebelum kau"
Raka dapat melihat senyum kecil di bibir Andhra, jadi dia memutuskan untuk mendengar cerita sahabatnya itu tampa berniat menyela.
"Dia, entah bagaimana aku menggambarkannya, dia unik?"
Andhra terkekeh, angannya kembali ke saat pertemuannya dengan anak yang unik itu.
"Aku bertemu dengannya saat hari terakhir ku di kelas 6, kami seumuran dan satu sekolah. Selama bersekolah disana aku baru tau kalau ada anak sepertinya di sekolahku"
Andhra tersenyum.
"Hari itu dia melihatku menangis, dan dia orang pertama yang melihatnya"
Senyuman Andhra menjadi getir.
"Kau, menangis kenapa?" tanya Raka ragu.
"Hari itu hari perpisahan sekolah, semua anak tingkat akhir di sekolahku datang bersama orang tua, kecuali aku. Aku juga bingung kenapa aku menangis waktu itu, biasanya aku baik-baik saja bahkan aku biasa saja meski di ejek tidak punya orang tua. Tapi hari itu rasanya berbeda, melihat bagaimana anak-anak seusiaku di perhatikan oleh orang tua mereka membuatku merasa sedih. Aku sendiri, tidak ada yang datang menemaniku hari itu"
Andhra kembali melirik sahabatnya sekilas.
"Malam itu kau bertanya kemana orang tuaku kan?"
Raka mengangguk.
"Mereka tidak ada, ibuku meninggal di usia 7 tahun. Sedangkan ayahku-"
Andhra terdiam, tanpa sadar dia menggigit bibirnya.
"Ayahku, dia memang sudah tidak ada sejak aku lahir. Ibu hanya membesarkanku seorang diri"
Raka terkesiap mendengar cerita Andhra. Tidak punya ayah sejak lahir? dan kehilangan ibunya di usia tujuh tahun. Kali ini Raka memaki dirinya sendiri dalam hati, bagaimana dia bisa berpikir kalau hidupnya sangat sulit padahal kenyataannya, hidup sahabatnya jauh lebih sulit darinya.
"Jangan menatapku begitu, kau membuat ku terlihat menyedihkan" ucap Andhra datar sambil menatap Raka tajam.
"Eh i-itu, maaf aku tidak bermaksud" sahut Raka terbata.
Raka yang merasa tak enak mengalihkan tatapannya ke ujung sepatu. Tak berapa lama dia kembali mengalihkan tatapannya ke arah Raka saat mendengar kekehan kecil dari temannya.
"Kenapa sekarang wajahmu jadi kusut begitu? aku tidak marah, tenang saja. Aku sudah terbiasa. Tapi karena kau sahabatku, aku lebih senang jika kau memberi semangat ketimbang mengasihaniku" ucap Andhra.
"Aku tidak mengasihanimu, aku hanya peduli. sungguh"
"Kalau begitu bersikaplah seperti biasa" ucap Andhra sambil tersenyum tipis.
Raka mendengus.
"Ah, sampai mana tadi, ah iya. Seperti kataku tadi, aku menangis sendirian di gudang belakang sekolah. Tidak begitu lama, tiba-tiba anak itu datang mengagetkanku. Aku terdiam, tak tau harus bagaimana. Aku malu karena ketahuan menangis, ku pikir dia pasti akan mengejekku habis-habisan. Tapi ternyata aku salah, dia hanya menatapku lekat tanpa mengatakan apapun"
Andhra kembali tersenyum, senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya.
"Aku ingat saat itu sambil menatapku dia juga mengusap pelan kepalaku. Dia mengusapnya sampai aku tenang dan berhenti menangis. Lalu setelah itu dia mengatakan sesuatu yang menjadi awal dari hubungan kami setelahnya"
Andhra tersenyum tipis, matanya berubah sendu saat mengingat perkataan anak itu.
"Jangan sedih, aku juga sendirian. Tapi sekarang jadi berdua, karena ada kau"
Menghela napas pelan, Andhra merenggangkan otot lengannya.
"Singkat cerita, kami jadi dekat saat itu. Kami juga masuk ke JHS yang sama, hanya ada aku dan dia dalam hidup kami karena kami sama-sama sendiri. Hingga saat masih tingkat pertama JHS dia mengajakku ke sebuah rumah sederhana yang ditinggali oleh dua orang wanita tua. Saat itulah aku bertemu nenek dan bibi, karena aku memang tak punya siapa-siapa jadilah aku tinggal bersama mereka, saat itu belum ada anak-anak lain selain kami"
Raka mengangguk.
"Aku jadi penasaran dengan anak itu, dimana dia sekarang?"
Andhra diam, matanya menerawang jauh.
"Dia? aku juga tidak tau dia dimana"
Raka tersentak, kepalanya dengan cepat menoleh melihat Andhra.
"Bagaimana bisa? dari ceritamu harusnya kalian dekat kan?" tanyanya setengah memekik.
"Ya, kami dekat. Saking dekatnya kami jadi mengerti satu sama lain tanpa harus menjelaskannya dengan kata-kata. Hari itu saat dia akan pergi, aku menatap lekat matanya. Dan aku tau dia punya alasan untuk pergi, meski tidak menjelaskannya aku tau keputusannya adalah yang terbaik untuk kami berdua. Jadi aku memilih untuk tidak bertanya dan percaya padanya"
Setelah mengakhiri ceritanya, baik Andhra dan Raka sama-sama terdiam. Mereka sama-sama mencoba mencari pelajaran dari cerita satu sama lain. Hingga mereka sadar satu hal, sadar akan Tuhan yang memang menyiapkan takdir terbaik untuk mereka.
Salah satu takdirNya, Tuhan dengan baik mempertemukan orang tersakiti seperti mereka hingga mereka bisa mencoba mengobati satu sama lain.
.
.
.
.
"Detik ini kita bisa bersedih, tapi siapa tau detik berikutnya?"
.
.
TBC