Chereads / Lepas / Chapter 16 - Kembali

Chapter 16 - Kembali

Andhra menatap dalam diam seseorang yang sedang berlari ke arahnya, seperti dejavu pikirnya. Dia melihat bagaimana orang tersebut berlari tanpa ragu, raut khawatir jelas terlihat di wajah orang itu.

Andhra menyeringai, melihat bagaimana amarah juga ikut memenuhi wajah itu. Lalu tanpa sadar Andhra tertawa.

"Aku pikir aku akan mati malam ini" ucapan Andhra membuat para preman itu menoleh ke arahnya.

"Tapi sepertinya, itu tidak akan terjadi malam ini" lanjutnya.

Para preman itu mendecih menatap Andhra yang saat ini sedang menundukkan kepalanya, kemudian tertawa dengan nada mengejek.

"Bocah itu temanmu? kalau begitu, dia juga bernasib sial malam ini"

Andhra kembali menyeringai.

"Kalian yang bernasib sial" lirihnya.

Andhra mengangkat kepalanya, lalu tepat saat kepalanya terangkat dia dapat melihat salah satu dari kelima preman itu jatuh tersungkur.

Para preman itu membelalakkan matanya, kaget akan kejadian yang berlangsung sangat cepat.

"Apa-apaan ini?" batin mereka.

Tubuh mereka tiba-tiba kaku, saat melihat teman mereka yang jatuh tadi tidak kunjung bergerak, teman mereka pingsan. Lalu tanpa di komando, mata mereka serentak menatap pelaku dari pemukulan tersebut.

"Lepaskan dia!"

Terkesiap, para preman itu terkesiap akan perintah yang di berikan pada mereka. Kesal karena di remehkan oleh orang tersebut, lagi tanpa di komando para preman itu menyerang orang itu dengan liar.

"Beraninya kau bocah!" seru salah satu dari mereka.

Orang itu hanya menatap mereka tajam, wajah dinginnya terlihat memerah menahan amarah.

"Sialan!, beraninya kalian menyakiti sahabatku brengsek!!" serunya marah, dan detik berikutnya dia menghadapi para preman itu. Menghajar mereka tanpa ampun.

Tidak butuh waktu lama para preman itu sudah jatuh tersungkur, mereka kalah. Hanya beberapa yang masih mampu berdiri dan memilih merangkul temannya untuk pergi menjauh.

"Sial, harusnya ku patahkan saja kaki mereka" suara itu terdengar begitu dingin.

"Kau sudah pandai mengumpat sekarang"

Suara lirih Andhra menyadarkan orang tersebut dari amarah, sambil melemaskan seluruh otot-otot tubuhnya dia berbalik melangkah pelan ke arah Andhra.

Matanya menatap Andhra sendu, raut khawatirnya berubah menjadi rasa bersalah.

Andhra melihatnya, tatapan itu Andhra kembali melihatnya.

Saat ini mereka berdua memilih diam, saling bertatapan satu sama lain. Meski jarak mereka hanya terpisah 30 cm itu tidak masalah.

Andhra kalut, perasaannya tak menentu. Malam ini menjadi malam yang sulit baginya, tekanan terus datang menekannya, dan kenyataan pahit terus menyerangnya bertubi-tubi. Dia bingung akan takdirnya, merasa sedih akan hidupnya.

Andhra berusaha bangkit mencoba berdiri, namun kakinya belum mampu bertumpu, jadi dia memilih duduk di dinginnya aspal jalan. Matanya belum mau beralih dari orang di hadapannya.

Rasa sedih mencubit hatinya. Lagi, sesuatu yang menyesakkan kembali menyerang dadanya, hingga tanpa sadar dia menangis. Suara lirihnya terdengar jelas saat menangis terisak, tangisan pilunya memecah sunyinta malam.

Sudah lama pikirnya, sudah lama dia tidak menangis. Selama beberapa tahun ini dia begitu tegar, menjalani hidupnya seorang diri tanpa tau harus mengadu kemana. Namun malam ini dia menemukannya kembali, kemana tempat dia harus mengadu, dia menemukannya.

Isakan Andhra terdengar semakin keras, menyentuh hati siapa saja yang mendengarnya, termasuk seseorang yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Pelan, orang itu mengikis jaraknya dengan Andhra, lalu berjongkok di depan Andhra.

Andhra tersentak, saat usapan halus menyentuh surai kecoklatannya. Matanya membulat tak percaya, saat usapan itu terasa nyata. Ya, ini nyata pikirnya. Terasa semakin nyata saat dia mendengar suara yang mengalun lembut di telinganya, membawanya pada ketenangan yang sudah lama tidak dirasakannya.

"Menangislah, kau tidak sendirian. Ada aku, kita berdua sekarang"

Tangisan Andhra menjadi semakin kencang saat mendengar kalimat itu, dia tidak peduli akan terlihat lemah. Karena orang yang ada dihadapannya saat ini tidak akan meragukannya, tidak akan.

.

.

.

.

Raka menatap gelisah jam di dinding kamarnya, entah berapa kali dia berjalan mengelilingi kamarnya karena khawatir menunggu sahabatnya yang tak kunjung kembali.

"Kemana sih anak itu, membuatku khawatir saja" lirihnya.

Raka memilih menidurkan tubuhnya di atas kasur dengan posisi terlentang, pikirannya kembali ke saat-saat pamannya datang berkunjung. Raka merasa ada yang aneh dengan Andhra, itu pertama kalinya dia melihat sahabatnya bertingkah seperti itu. Mata sahabatnya yang berkaca-kaca dan tubuhnya yang bergetar membuat Raka meremas rambutnya kesal, dia tidak suka melihat sahabatnya seperti itu, hatinya sedih.

Bohong jika Raka tidak penasaran dengan hidup sahabatnya itu, bagaimana pun Andhra orang pertama yang membuatnya ingin menjalin hubungan pertemanan. Oleh karena itu, tanpa sepengetahuan Andhra dia mencari tau tentang Andhra lewat orang suruhannya.

Dan Raka tercengang. Raka takjub akan hidup yang di jalani sahabatnya itu. Bagaimana bisa remaja yang sebentar lagi baru akan berusia 16 tahun itu bisa bertahan hidup dan bagaimana sahabatnya itu bisa setegar itu. Kalau dia jadi sahabatnya, dia pasti akan memilih mati.

Andhra Azada, remaja yang hidup sebatangkara. Tanpa ayah dan ibu yang meninggal dunia di saat umur sahabatnya itu masih 7 tahun. Hanya membayangkannya saja sudah menyakitkan. Andhra tumbuh menjadi anak yang mandiri, baik dan juga penurut. Namun, nasib baik belum menyapanya. Semenjak di tinggal ibunya Andhra mulai di oper sana sini, di asuh oleh keluarga berbeda beberapa kali, namun hidupnya selalu berujung penolakan. Bukan Andhra yang salah, tapi memang para manusia yang mengasuhnya yang egois dan kejam. Sehingga pada akhirnya Andhra memilih hidup sendiri di rumah sederhana peninggalan ibunya. Sejak saat itu Andhra mulai memenuhi kebutuhannya sendiri.

Hingga suatu hari sedikit kebahagiaan datang menghampirinya, dia akhirnya menemukan keluarga yang tulus menyayanginya. Nenek dan bibi baik hati, yang sudah dianggapnya sebagai keluarga sendiri dan seorang sahabat yang selalu ada untuknya. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Hanya dalam dua tahun, Andhra kembali memilih pergi. Kembali menjalani hidupnya seorang diri, entah apa penyebabnya Raka juga tidak tau. Informasi itu tidak ditemukan oleh orang suruhannya.

Raka kembali ingat perkataan sahabatnya. Ya, benar kata sahabatnya, dia harusnya lebih bersyukur dengan hidupnya. Meskipun dia tidak bisa melihat orang tuanya bersatu, tapi setidaknya dia masih bisa melihat raga orang tuanya dengan jelas. Meski orang tuanya tidak memperhatikannya dengan baik, tapi setidaknya mereka masih menjamin hidupnya. Bahkan Raka bisa menikmati fasilitas mewah. Yah, dia harus berdamai dengan keadaan mulai sekarang. Toh dia juga sudah punya Andhra sebagai sahabatnya, jadi hidupnya tidak terlalu buruk seperti sebelumnya.

Raka menghela napas gusar, mendudukkan kembali tubuhnya dan kembali menatap jam di dinding kamarnya.

"Kau pergi kemana ndhra?" lirihnya khawatir.

.

.

.

.

Malam mulai larut dimana jam sudah menunjukkan pukul 10, sehingga udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Dua remaja terlihat duduk sambil menyenderkan tubuhnya di dinding pertokoan, tak peduli akan udara dingin yang menyerang mereka. Hanya ada mereka di gang kecil itu.

"Kau baik-baik saja?, haruskah kita ke klinik?"

Andhra tersenyum tipis saat kembali mendengar suara itu, suara yang sudah lama tidak dia dengar.

"Tidak perlu" jawabnya

Setelah jawaban itu, hanya ada keheningan di antara mereka berdua. Andhra sendiri memilih menatap langit yang sudah mulai di penuhi kerlipan cahaya bintang. Manik mata berwarna coklatnya menatap kosong ke arah langit itu. Pikirannya bermain kemana-mana, entah apa yang dirasakannya sekarang.

"Kenapa kembali?" Andhra mulai memecah keheningan dengan suara rendahnya.

Tak ada jawaban, suasana kembali menjadi hening.

"Kau masih tidak berniat menjelaskan apapun padaku?" suara Andhra kembali terdengar lebih dingin dari sebelumnya.

Andhra menghembuskan napasnya kasar saat tidak juga mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.

"Jawab aku Arana!"

Gadis bernama Arana itu tertegun, terkejut akan suara Andhra yang terdengar seperti bentakan. Tapi Andhra tidak salah, dia yang salah disini. Menarik napasnya pelan, Arana mulai menundukkan kepalanya dan kemudian mengucapkan satu kata sebagai jawaban.

"Maaf" lirihnya.

Satu kata yang menggambarkan semua perasaannya terhadap Andhra, sahabatnya. Raut menyesal tampak jelas di wajah putih Arana. Dia menyesal telah pergi meninggalkan Andhra, sehingga sahabatnya itu kembali berakhir sendirian. Namun kalau pun dia menjelaskan semuanya itu hanya akan terdengar seperti alasan, alasannya untuk membela diri sendiri. Padahal kenyataannya dia memang salah.

"Kau meninggalkanku Aran" suara lirih Andhra kembali menusuk relung hati Arana.

Arana terkesiap.

"Maaf" ucapnya lagi.

Andhra kembali menghela napasnya.

"Aku tidak butuh maafmu, jelaskan semuanya padaku" ucapnya pelan.

Arana diam, lalu memilih menatap langit.

"Kau jelas tau alasanku An, hidupku tidak baik-baik saja"

Andhra menolehkan kepalanya menatap sendu gadis yang berada di sampingnya.

"Aku tau, karena itu ceritakan semuanya padaku" ucapnya pelan.

Arana tersenyum tipis.

"Kau tau kan?, semakin sedikit yang kau tau akan lebih baik untuk hidupmu"

Andhra mendecih.

"Aku akan baik-baik saja, aku sudah sering mengalami hal yang mengerikan"

Arana tertawa, tawa renyah yang juga sudah lama tidak di dengar Andhra.

"Kau terlihat mengenaskan sekarang"

"Jangan mengalihkan pembicaraan" kesal Andhra.

"Maafkan aku"

Arana tidak lagi mendengar suara Andhra, sehingga dia menolehkan kepalanya menatap Andhra. Arana terdiam saat wajah sendu sahabatnya itu menatapnya, rasa bersalah langsung mencubit hatinya. Tanpa sadar tangannya perlahan menyentuh surai rambut kecoklatan milik Andhra dan mengusapnya lembut.

"Rambutmu sudah mulai panjang, kau tidak mengurus dirimu sendiri dengan baik ya?" lirihnya.

Andhra terkesiap merasakan tangan Arana yang mengusap rambutnya lembut.

"Tidak ada yang mengurusku sebaik dirimu" lirihnya.

Arana tersenyum miris, merasa semakin bersalah.

"Maafkan aku. Aku pasti melewatkan banyak hal tentangmu ya?, aku bahkan tidak tau alasan kau menangis tadi. Jadi mau bercerita padaku?"

Andhra mengalihkan tatapannya, menatap apa saja selain Arana.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, jelaskan dulu alasanmu pergi"

Arana kembali tersenyum tipis.

"Kau menangis tadi, jadi itu pasti sesuatu yang penting. Tentang penjelasanku, kau sudah tau dasar permasalahannya dan aku hanya perlu menceritakannya sedikit lagi. Jadi sekarang ceritakan dulu kesedihanmu padaku, baru aku akan menceritakan masalahku padamu"

Andhra kembali menatap Arana, menemukan manik mata berwarna coklat madu yang menatapnya lembut. Andhra mencoba mencari kebohongan di mata itu, tapi dia tidakĀ  menemukannya. Ya, Arana pasti punya alasan kenapa harus pergi kan?.

"Aku masih jadi prioritas utamamu ya?" tanyanya polos.

Arana terkekeh.

Tangannya kembali mengusap rambut Andhra lembut. Sifat sahabatnya ini masih tidak berubah pikirnya. Hanya tubuhnya saja yang semakin tinggi dan wajahnya saja yang semakin tampan, tapi tingkahnya masih sama, kekanakan. Andhra masih saja seperti anak kecil, yang suka bersikap manja padanya, hanya padanya.

"Tentu saja, kau selalu menjadi prioritas utama ku"

"Tapi kau meninggalkanku"

Suara lirih Andhra kembali menusuk relung hati Arana.

Arana tersenyum kecil sebelum menyahut ucapan Andhra.

"Aku tidak pernah berniat meninggalkanmu Andhra, Tuhan tau itu. Seperti yang pernah ku katakan dulu, aku hanya berusaha menjauh dari hal buruk yang akan berdampak pada kita berdua. Dan bukankah aku pernah bilang, doaku akan selalu menyertaimu?" jelas Arana yang di akhiri senyum lembut.

Andhra dapat melihatnya, ketulusan di mata Arana. Andhra mulai tersenyum, hatinya menghangat hanya dengan mendengar perkataan Arana tadi.

"Kau benar. Aku merindukanmu"

Suara Andhra terdengar samar, namun Arana masih bisa mendengarnya dengan jelas. Sehingga untuk sepersekian detik Arana tertegun.

"Kau pergi begitu lama Aran" lirih Andhra dengan raut sedihnya. Mata Andhra terlihat kosong seperti tidak ada kehidupan di dalamnya, dan Arana tersadar akan satu hal.

"Aku kecewa padamu An"

Andhra menatap Arana bingung.

"Kau memilih untuk menyerah. Tadi jika aku tidak datang, katakan padaku apa kau akan membiarkan dirimu mati begitu saja?"

Mata tegas milik Arana menatap Andhra khawatir. Dan Andhra tersenyum tipis untuk itu.

"Ya, aku hampir menyerah tadi, tapi kau datang"

Arana menatap sedih sahabat kesayangannya itu. Merasa bodoh akan dirinya sendiri yang memilih pergi menjauh dari Andhra.

"Kau pasti punya alasan untuk itu, ceritakan padaku siapa yang sudah berani membuat sahabat kesayanganku menangis seperti tadi"

Andhra tersenyum, lalu menghela napas pelan.

"Jangan ragu An, tarik napasmu lalu hembuskan perlahan dan kemudian hitung sampai sepuluh, lalu ceritakan. Semua akan baik-baik saja"

Andhra terkesiap, sekelebat bayangan masa lalu terlintas di pikirannya. Suara khas anak kecil Arana kembali terdengar di telinganya.

"Jangan pendam semuanya sendiri An, kau bisa cepat tua. Sekarang tarik napas lalu hembuskan dan hitung sampai sepuluh, baru ceritakan okey? aku yakin kau akan baik-baik saja"

Andhra terkekeh.

"Kau tidak berubah Aran" ucapnya.

"Ya, aku tidak berubah. Selain rasa rinduku yang semakin besar padamu" sahut Arana sambil tertawa.

Andhra hanya menggeleng pelan, detik berikutnya dia sudah mengikuti instruksi Arana. Matanya memilih kembali menatap langit.

"Aku melihatnya ran, orang yang menjadi alasan hidupku menderita"

Arana tertegun, dia tau betul siapa orang itu. Hanya dia yang tau, tentang rahasia besar yang selama ini di simpan rapat oleh sahabatnya itu. Hanya dia yang tau bagaimana menderitanya Andhra sahabatnya selama ini. Dan malam ini, dia tidak perlu lagi bertanya alasan tangisan Andhra yang menyayat hatinya. Orang itu sudah cukup menjadi alasannya.

"Dia bahkan tersenyum padaku, senyum yang dulu sangat ku dambakan" lirih Andhra dengan suara bergetar.

"An..." Arana tidak tahan untuk tidak memeluk sahabatnya itu.

"Setelah sekian lama aku melihatnya lagi Aran, aku melihat ayahku" akhirnya air mata Andhra kembali tumpah, dia tidak mampu menahannya lagi. Biarlah dia terlihat lemah di hadapan Arana, karena itu Arana maka semua akan baik-baik saja.

Arana mendekap erat tubuh Andhra, mengelus punggung tegap remaja laki-laki itu pelan.

"Kau sudah menderita terlalu banyak An, maafkan aku"

Andhra tidak menjawab apapun lagi, dia hanya semakin mengeratkan tangannya memeluk tubuh Arana. Dia merasakan ketenangan setiap tangan Arana mengelus atau mengusap kepalanya lembut.

Ya, ini dia. Tak ada yang lebih baik dari pelukan Arana. Akhirnya dia menemukan kembali rumahnya.

"Tolong jangan pergi lagi Aran" lirihnya.

Arana kembali terkesiap, namun sebentar sebelum senyum tulus terukir di bibirnya.

"Maafkan aku karena meninggalkanmu sendiri. Sekarang aku akan berusaha untuk tidak lagi mengulang kesalahan yang sama" ucapnya.

Namun senyum Arana kembali luntur saat merasakan tubuh Andhra yang bergetar.

"Aku hanya akan pergi jika itu demi kebaikanmu dan jika kau yang memintaku" batinnya.

.

.

.

.

TBC..