Chereads / Pelangi Kehidupan Mona / Chapter 22 - Rasa Malu

Chapter 22 - Rasa Malu

Dewi dan Restu bangun pagi-pagi sekali. Saat anak semua anak masih tidur, Mereka mengeluarkan kunci dari saku Eka. Mereka mengambil 20 kilo beras dan mengirimkan ke rumah nenek yang ada di sebelah gubuk mereka. Semua saudaranya juga mengumpulkan beras hari ini. Mereka sangat sedih dan melakukannya dengan terpaksa, tapi Mulan sama sekali tak peduli.

Dengan bahan makanan, Mulan tentu akan terbebas dari masalahnya. Ia tak peduli dengan nasib saudaranya. Yang jelas, mendapatkan makanan akan membuatnya terbebas dari masalah dan tak perlu lagi melihat wajah saudara-saudaranya.

"Kakak, jangan pergi sekarang. Apakah ini 50 kilo? Sepertinya ini hanya 40 kilo?".

Mulan percaya jika instingnya tak salah. Jadi, Ia menghentikan Bima, kakak keduanya.

Nenek dan lainnya mengamati. Tapi, Bima menyikapi dengan sangat tenang, "Ini semua ditimbang sendiri oleh kakak iparmu. Harusnya sudah benar. Tidak akan mungkin salah. "

Bima memandang dengan penuh kemenangan. " Kak, ada tibangan di rumah ini. Ayo kita timbang lagi, tidak usah berdebat".

Nenek yang usai menimbang berkata dengan cemberut. "Bima, pulanglah. Segera ambil dan bawa kesini kekurangannya."

Bima yang masih berdiri di halaman berkata dengan kaku. "Ayah, aku tadi benar-benar membawa 50 kilo. Jangan pedulikan ucapan Mulan. Ia pasti hanya mengada-ngada".

Kakek tua itu tahu jika anak lelaki keduanya ini adalah orang yang jujur. Ia bergegas menghampirinya dan memeluknya. "Jangan marah, kamu tidak harus pulang mengambilnya lagi."

Bima tahu jika masalah ini akan terjadi. Ia pulang dengan perasaan kecewa sekaligus marah. Tapi, ia harus kembali lagi dan mengambil 10 kilo lagi untuk Mulan.

Bima meletakkan 10 kilo beras di hadapan Mulan. Ia marah dengan mata menyala. "Mulan, jika nanti kau kekurangan makanan lagi, jangan minta bantuanku. ku tidak punya saudara malas dan serakah sepertimu."

Setelah mengucapkan kalimat ini Bima keluar tanpa melihat ke belakang. Broto dan Restu tampak saling memandang. Mereka tak heran jika Bimo mengucapkannya. Mulan pantas menerima itu.

Kakek yang masih melihat Mulan di rumahnya semakin marah. "Mulan, biarkan ayah bicara. Jika kamu masih saja malas, jangn kembali ke rumah selama ayah asih hidup. Tidakkah kamu punya malu? Ingat kamu sudah besar, jadi ingatlah itu". Kakek keluar dengan membanting tangan yang sebelumnya diacungkan di hadapan Mulan.

Mulan yang kehilangan mukanya di depan ayah dan saudara laki-lakinya, memutar tubuh kokohnya, dan mulai mengeluh pada ibunya, "Bu, lihat apa yang Ayah katakan, dan dia tidak akan membiarkanku menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Benarkah begitu, bu?".

Nenek juga tahu jika kakek benar-benar marah, dan tidak ada yang berani mengatakan apa pun. Tetapi jika orangtua direpotkan anak, harusnya tidak menjadi masalah.

"Mulan, Ibu tidak bermaksud mengatakannya. Tapi, jika kamu tetap saja begini, kami memang tidak bisa lagi membantu. Kamu melakukan banyak kesalahan. Jangan hitung jumlah yang kamu minta, tai hitunglah sudah berapa kali kamu begini. "

Nenek memang sangat mencintai Mulan. Ia sebenarnya tak sampai hati mengatakan hal ini. Tapi, ia khawatir jika anak-anaknya yang lain cemburu dan tak sudi merawatnya kelak karena ia hanya berpihak pada Mulan.

Semua menatap Mulan. Mereka sadar jika ucapan dan nasihat tidak ada artinya bagi Mulan. Lebih baik, tidak ada orang seperti Mulan dalam keluarga.

"Kakak,, ayo kita pergi, kita juga harus kembali bersih-bersih dan pergi bekerja. Hari ini, pekerjaan ini sangat melelahkan. Bagaimana kita bisa punya energi kalau kita masih lapar."

Kedua bersaudara itu pergi bersama. Mulan sebenarnya ingin 3 saudara lelakinya membantunya. Tapi, tidak ada yang menawarkan bantuan hingga ia harus mengucapkan, "Siapa yang akan membantumu, bagaimana aku bisa membawa beras-beras ini pulan?"

Ketika ia memandang sekeliling hanya ada Broto yang tersenyum menatapnya. Mulan bersemangat dan tersenyum, "To, bisakah kau mengantarku pulang? Kau kan bisa cuti sehari. Kau tidak ingin aku kesulitan, bukan? Ini pekerjaan kasar dan berat. Cutilah sehari saja dan antar aku pulang."

Mulan mengatakannya tanpa malu-malu kepada Broto, tetapi Broto tidak ingin termakan omongan. Dia memutar lehernya ke arah ibunya dan bertingkah manja seperti bayi. "Bu, tidakkah kamu melihat seorang wanita dewasa yang masih kuat melarangku bekerja? Bukanlah lebih baik aku cuti dan beristirahat dibanding mengantarnya pulang?"

Mulan berlari ke sudut ruangan dengan sedikit marah, dia mengambil sapu di sampingnya dan mulai memukuli Broto, "Dasar anak kurang ajar, aku membesarkanmu saat aku masih kecil, jadi kenapa aku melupakan kebaikanku? Kau tidak punya perasaan ".

Broto menampik pukulan kakaknya dan berkata pada ibunya, "Bu, jaga putrimu, dia bahkan tidak akan bisa melewati pintu rumah kita jika terus memuliku."

Nenek memelototi anak Broto dengan wajah cemberut, lalu berbalik dan berkata kepada Mulan, "Lan, itu tidak seberapa berat. Kamu bisa menggunakan gerobak. Jika masih tidak bisa, kamu bisa minta bantuan anakmu, bukan?".

Nenek tidak membiarkan si bungsu bekerja berat. Broto masih belum kuat mengerjakannya. Nenek juga berpikir, jika pekerjaan seperti ini saja Mulan enggan, apakah ada orang lain yang lebih malas dan manja melebihi Mulan?

Melihat ibunya tak membela, Mulan menata beras itu sendiri dan mendorongnya pulang. Untungnya, ada gerobak di rumah sengingga Mulan tak perlu mengeluarkan banyak tenaga. Ia mendorong sambil menggertakkan gigi menahan emosi. Ia ingat jika ada keluarganya di rumah yang menunggu makanan.

ulan memang berhasil mendapatkan berkarung-karung beras. Tapi, ia mendapatkan hinaan yang sangat menyakitkan. Ibunya memang tidak mengatakan apa-apa, tapi ibu yang membiarkannya dihina sungguh menyakitkan, sakitnya bahkan serasa akan dibawa sampai mati.

Ketika 4 anak restu bangun, semua sudah damai. Tidak ada lagi keributan. Ayah dan ibunya juga sudah pergi bekerja, meninggalkan makanan yang masih panas di panci.

Kakak beradik yang baru bangun tidur itu mandi dengan cepat. Setelahnya, mereka makan dan membereskan sisanya. "Apakah kita harus ke gunung lagi hari ini?"

Mona tak tahu apa yang direncanakan Eka. Gerobak yang dipinjam dari Paman Hendro kemarin belum sempat dikembalikan.

"Ya, kita harus pergi jika kita bisa mengambil makanan, tidak hanya kita bisa menjualnya, tapi kita juga bisa mengumpulkan cadangan makanan. Kita juga perlu mengembalikan gerobak ke rumah Paman Hendro."

Mona dan yang lainnya buru-buru menyiapkan alat dan berpikir untuk pergi ke rumah Paman Hendro. Kemarin, mereka dengan hangat menyajikan makanan untuk mereka. Sebagai jiwa orang dewasa, dia selalu merasa bahwa tidak sopan untuk datang kembali pada orang yang telah memberi dengan tangan kosong.

"Saudaraku, kita bisa membawakan beberapa makanan untuk Paman Hendro. Kita akan memberinya sebagai ucapan terima kasih."

"Ya, kenapa kita melupakan ini? Mona benar." Eka juga tiba-tiba tersadar.

Kakak beradik itu menuangkan sekeranjang beras ketan ke dalam tas kain dan meletakkannya dalam gerobak. Jika nantinya mereka mendapatkan banyak hasil lagi, mereka berencana meminjam gerobak Paman Hendro lagi.

.