eluarganya tidak berkomentar apa-apa tentang masalah ini, jadi mereka sama sekali tidak membahas penyakit neneknya. Tetapi Eka melihat pamannya keluar dengan kue di mulutnya, dan kemudian kembali untuk berbicara dengan adik laki-laki dan perempuannya.
Mona melihat ekspresi tak enak di wajah kakaknya, dan buru-buru menghibur, "Kak, bukankah itu hanya biskuit? Karena Kita yang membelikannya untuk nenek, harusnya kita merasa terhormat. Tidak masalah siapa yang memakannya, selama dia mau memakannya. , Lupakan saja, yang penting bagi kita adalah menjalani hidup kita dengan baik. Ngomong-ngomong, mengapa paman tidak datang untuk melihat kita, padahal dia tahu kita pindah rumah? ".
Mona belum pernah melihat pamannya dalam ingatannya sejak dia datang ke sini, jadi mereka tidak tinggal di sini, bukan?
Ketika Rena mendengar saudara perempuannya menyebut keluarga pamannya, dia tampak sedikit acuh tak acuh. "Lebih baik bibi kita tidak datang, kalau tidak mereka akan terus bicara buruk tentang kita, Kita tidak punya cukup makanan untuk dihidangkan. Lagian, bibi dan paman itu bukan anggota keluarga yang baik."
Ketika Mona mendengar saudara perempuannya berkata demikian, jelas sekali bahwa bibi sering berperilaku tak baik, jika tidak,Kak Rena yang selalu lembut dan murah hati, tidak akan mengatakan itu padanya.
Tidak masalah jika keluarga paman tidak lagi menganggap kita s sebagai keluarga.
Keesokan harinya, Empat bersaudara itu meninggalkan catatan untuk keluarga dan kemudian berangkat ke gunung dengan membawa peralatan. Benar saja, seperti yang dikatakan kakak, jarak gunung dengan rumah cukup dekat, tetapi medan yang harus dilewati tidaklah mudah.
Ini adalah pertama kalinya Mona keluar dari desa. Ia melihat ada a ada kanal yang membentang dari utara ke selatan di bawah sungai di bagian selatan. Ujung kanal adalah sungai besar, dan hulu sungai itu menyatu dan mengalir ke laut. Bagian tengah dan timur laut sungai merupakan hutan besar. Mereka melintasi sungai sudah menjadi bagian dari desa lain. Setelah berjalan beberapa waktu, mereka segera sampai di kaki gunung, di mana ada juga beberapa keluarga yang jarang penduduknya.
Kakak beradik itu berjalan mendaki lereng bukit, Gunung itu sangat tinggi, tingginya beberapa ratus meter jika dilihat secara visual. Tapi, mereka telah dilatih bekerja keras. Jadi, mereka tidak merasa lelah.
Mereka menemukan beberapa pohon rambutan di tengah gunung, rambutan telah jatuh ke tanah, dan kulitnya akan terkelupas saat mereka menginjaknya dengan kaki.
"rambutan ini enak, ayo kita kumpulkan." Gunung ini relatif besar dan hanya sedikit orang yang datang, jadi tidak ada jalur pendakian yang mudah. Anak-anak menginjak batu dan ilalang, menundukkan kepala perlahan mencari jalur untuk menerobos. Mereka mencari rambutan dengan teliti, tetapi yang membuat semuanya senang adalah ada banyak kacang mede mentah jatuh di tanah, dan tas kain yang dibawa Rano sudah penuh. Eka masih berusaha mengumpulkan lebih banyak, Mereka meninggalkan yang busuk dan hanya membawa yang layak.
Mona memperhatikan sekelilingnya, ada banyak makanan yang tergeletak di tanah. Tapi, akan sangat melelahkan jika ia harus kembali ke rumah, meletakkan isi keranjang dan kembali lagi untuk mengambil yang lain. Jadi, Mona hanya diam.
Mata Rano sangat jeli. Ia melihat sarang burung di pohon, wajahnya menunjukkan senyum bahagia, "Kak, lihat sarang burung itu, pasti ada telur burung di dalamnya."
Berbicara tentang telur burung, Rano tidak bisa menahan air liur. Eka memastikan pohon itu tidak terlalu tinggi. Seharusnya tidak masalah baginya, "No, kamu menunggu di bawah, dan aku akan mengambilkanmu telur burung itu ".
Eka memeluk batang pohon dan mulai memanjat. Saudara-saudaranya melihat dengan khawatir. Eka menemukan telur burung di atasnya. Tidak wadah yang bisa dipakai untuk membawa telur-telur itu. Dia melepas topi di kepalanya dan memasukkan telur burung itu ke dalamnya. Ia memakai topinya lagi, dan bergegas turun.
Rano buru-buru melangkah mendekat dan bertanya "Kak, ada berapa telur di sana?".
Eka melihat ekspresi cemas adik laki-lakinya, beberapa wajah kemerahan muncul dengan senyuman, "Tunggu, aku akan menunjukkannya kepadamu", setelah dia menundukkan kepalanya, melepas topi dari kepala, telur burung di dalamnya tiba-tiba Muncul di depan semua orang secara utuh.
Rano menghitung sampai delapan dan berkata, "Kak, kita bisa memasak telur burung itu untuk makan siang, pasti lezat." Jelas sekali jumlah ini membuat Rano sangat puas.
Tiba-tiba sebuah suara datang dari belakang mereka. Mona menoleh untuk mengetahui bahwa itu adalah burung gagak besar yang keluar untuk mencari makanan, dan memberi isyarat kepada semua orang. Empat bersaudara ini diam dan saling berpegangan. Eka masih memegang dua keranjang besar di pelukannya. Mereka berjalan hati-hati, tapi burung gagak itu masih saja memperhatikan langkah mereka.
Anak-anak mengepung burung itu. Burung gagak mulai mengepakkan sayapnya dan akan segera terbanh. Mata Eka mengawasi, ia melemparkan rambutan dan menjatuhkan burung gagak itu ke tanah. Anak-anak tidak membiarkannya burung gagak itu terbang lagi, Mona dan Rano melempari burung itu bersama-sama.
"Aku menangkapnya, aku menangkapnya." Rano berseru dengan semangat, burung berhasil ditangkap, itu artinya mereka bisa makan daging hari ini.
Anak-anak mengikat kaki dan sayap burung itu dengan cepat. Dengan tangkapan ini, lelah mereka terbayar.
"Kak, mari kita lihat di sekitar sini dan temukan apa yang bisa kita bawa pulang," kata Mona dari samping.
"Oke, mari kita lihat lagi. Bagaimanapun, kita sudah berjalan jauh, jadi kita harus mendapatkan lebih banyak."
Eka meminta semua berpencar. Monan berjalan dan tertarik oleh tanaman merambat di depannya. Ada kacang kecil berwarna coklat, buah dari tanaman itu. Dia paham jika tanaman itu adalah bengkoang. Jadi, pasti ada umbi bengkoang yang besar di bawahnya.
"Kak, cepat kemari aku menemukan sesuatu" Suara Mona memanggil ketiga saudaranya yang ada di kejauhan.
"Apa yang kau temukan, coba saya lihat" Rano mengucap penuh dengan rasa ingin tahu, penasaran apa yang telah ditemukan Mona.
"Kak, menurutmu ini apa?"
Eka dan yang lainnya menggelengkan kepala dan berkata mereka tidak mengetahuinya. Mona menduga orang-orang di sini jarang makan makanan ini, jadi saudara-saudaranya tidak mengetahuinya.
"Kak, ini sejenis ubi. Namanya bengkoang. Rasanya manis dan enak, perutmu bisa kenyang jika memakannya."
Tujuan pertama keluarga Restu saat ini memang hanya makanan dan makanan.
"Mona, benarkah yang kau katakan? Kenapa kami tidak tahu, darimana kamu mendengar tentang ini?". Eka bertanya sesudahnya.
"Saya mendengarkan apa yang orang-orang ceritakan, tetangga lama kita yang sudah pindah yang pernah bercerita." Mona ingat bahwa ada tetangga yang baru saja pindah. Mona menjadikan tetangga itu alasan, mengarang cerita agar saudara-saudaranya tidak curiga.
Bengkoang itu terkubur di dalam tanah dan mereka tidak memiliki alat untuk menggalinya. Mereka juga sudah lelah sehingga sulit untuk menggalinya dengan tangan kosong.
"Saudaraku, mari kita pulang dan datang lagi besok. Ingat-ingat tempat ini, mari kita tandai."
Eka dan Rano mulai memperhatikan sekitar. Mereka mencari penanda agar mudah menemukan bengkoang ini esok.
Eka membawa kantong kain, Rena membawa kerancang, Rano memegang burung gagak hasil buruannya, dan Mona membawa kantong kain berisi ubi. Keempat besaudara ini berjalan perlahan menuruni bukit bersama-sama. Mereka turun dengan hati-hati, takut hasil buruannya hari ini terjatuh.
Saat sampai di kaki gunung, matahari sudah tinggi. "Kakak. Kita harus segera kembali, atau Ayah dan Ibu akan cemas."
Anak-anak bergegas pulang, tetapi mereka masih memegang barang-barang di tangan mereka, sehingga mereka tidak bisa berlari cepat. Mereka merasa beban di punggungnya semakin berat. Samar-samar mendengar seseorang memanggil nama mereka dari kejauhan.