Restu tersipu, "Yah ..." Dia melengus, merasa malu dengan anaknya.
"Paman, paman tinggal di rumah nenek. Jika kau membawanya, bagaimana kami menjelaskannya kepada kakak-kakak kami yang lain?".
Mona melirik pamannya dengan tajam. Restu tak percaya anaknya akan mengatakan itu. Sementara Samsul masih menatap wajahnya lekat-lekat.
"Paman, tidak apa-apa jika kamu ingin mencicipinya. Kakak tidak akan menghitung jumlah kacang dalam keranjang. Tapi, akan jadi masalah besar jika paman membawa semuanya", Rena ikut berbicara, mendekati pamannya dan merebut keranjang itu. Rena membatin, ia belum pernah menemui orang dewasa tak tahu malu seperti ini.
Restu tidak bisa berkata apa-apa lagi, "Ya Samsul, ambilah sedikit. Cicipilah dan tinggalkan sisanya karena anak-anak juga belum tahu rasanya. Aku akan mengambilkan untukmu lain waktu."
"baiklah, aku akan mencicipi beberapa, mereka toh tidak akan mengetahui jika aku makan kacang disini."
Samsul berkata bahwa ia hanya mengambil sedikit, tetapi pada akhirnya ia mengambil banyak sekali, Sebelum berangkat, ia tidak lupa mengingatkan kakkanya untuk datang ke rumah.
Restu tak buru-buru mengikuti Samsul. Dia harus menunggu dua anaknya yang masih menjual burung ke pasar ternak untuk makan bersama. "Ayah, bibi pernah menjanjikan sesuatu untukmu, jangan lupa menanyakannya" Gadis kecil dalam pelukannya itu mengingatkan.
"Kita hanya butuh menunggu beberapa hari lagi. Bibi mungkin hanya disini sebentar dan kembali pulang" Rena memang benci setengah mati degan bibinya ini.
"Ayah, ibu, kami pulang" Eka dan Ramo pulang dari pasar ternak sambil setengah berlari
"Bu, kita mendapatkan uang 38 ribu, ini uangnya untukmu" Eka menyerahkan uang yang dia pegang kepada ibunya.
Dewi menerima beberapa lembar uang yang basah oleh keringat anaknya. Ada perasaan campur aduk di hatinya. Terlepas dari jumlah uang itu cukup banyak untuk keluarga mereka.
"Anak baik, ayo makan cepat, kita harus segera makan setelah lapar dan seharian."
Siang hari, Dewi menggunakan bahan makanan yang tersisa di rumah, hasil kiriman ibunya. Dewi juga merebus sepanci kubis untuk anak-anak. Meski tidak ada minyak, rasanya sangat segar. Semua orang makan dengan gembira. Mereka biasa makan seperti ini setiap hari. Semua orang merasa puas.
Setelah makan, Restu segera pergi menemui kakak perempuannya, Anak-anak tidak punya waktu untuk memberitahu ayahnya apa yang mereka temukan di gunung, tetapi mereka tetap akan memberitahunya tentang hal itu.
"Bu, apakah ibu ada waktu sore ini? Mengapa kita tidak menggali tanah di gunung bersama dan mendapatkan bahan makanan lebih banyak. Oh iya, kita menemukan telur burung tadi pagi. Kita bisa memasaknya untuk menu makan malam nanti."
Dewi mengambil telur burung tanpa ragu-ragu, menyalakan tungku dan memasaknya untuk anak-anak. Tidak banyak telur, hanya ada delapan. Dua gadisnya masing-masing akan makan satu, dua anak laki-laki masing-masing memakan dua, satu untuk dirinya, dan satu lagi akan disimpan untuk ayahnya.
Dewi menceritakan rencananya menanam ubi pada anak-anak Dengan cara ini, Dewi berharap akan ada bahan makanan untuk keluarganya. "Ibu akan menanam ubi. Sekarang ibu akan menggemburkan tanah dan menyadurnya dengan pupuk kandang. Kalian tetaplah di rumah."
Keluarga Retsu harus terbiasa merawat tanaman di gunung. Pada sore hari, mereka harus pergi ke gunung untuk menabur pupuk kandang sehingga tanamannya mendapat nutrisi yang cukup.
Setelah makan, Rano dan yang lainnya kembali dengan membawa sekeranjang jerami agar bisa digunakan untuk memasak pada malam hari. Ketika mereka kembali, mereka mendengar suara ribut nenek dari pekarangan mereka. Anak-anak tidak menghampirinya, karena masalah nenek bukan lagi hal penting bagi mereka.
Tapi, Rano mencoba memejamkan matanya. Mengernyitkan dahi dan mencoba mendengar perkataan neneknya lebih jelas.
Ia kemudian mendengar suara dua bibinya, bibi yang belum pernah dilihatnya.
"Saya tidak setuju. Makanan untuk keluarga kita tidak cukup. Aku akan meminjam kemana jika makanan keluargaku kurang?."
"Adik ipar benar. Keluarga kita tidak punya lebihan makanan. Jatah makan kita pas jika dibagi dengan anggota keluarga kita. Setiap keluarga seperti ini. Bukankah sama dengan keluargamu? Bagaimana mungkin tidak ada makanan di rumahmu? Kamu meminjam makanan dari kami tahun lalu, kenapa kau tidak membayarnya sekarang? Kamu mungkin bisa melakukan ini pada ibumu, tapi aku tidak. Kau harus tetap membayarnya. "
Lalu Rano mendengar suara teriakan, "Adik ipar, makanan keluarga kita benar-benar tidak cukup untuk persediaan makanan, kamu belum pernah melihat anak-anak kita lapar dan kurus. Kamu pasti tak tega jika sudah melihatnya. Tolong pinjami aku bahan makanan dan aku akan mengembalikannya tahun depan"
"Kak, bagaimana menurutmu? Anakmu kau sebut kurus. Coba kau lihat anak-anak Restu, mereka juga kurus. Setiap tulangnya seolah akan keluar dari kulitnya.Aku sampai takut mereka tertiup angin, tapi tidak melihat Dewi mengemis minta bantuan. Keluargamu biasa menyediakan roti setiap hari, padahal keluarga kami saja tidak berani foya-foya seperti itu. " Bibi datang dengan sangat cepat dan menghujami Mulan dengan hinaan.
Anak-anak keluarga Restu tidak sabar memuji bibinya yang telah menghina Mulan. Bibi yang sangat mereka benci itu sekarang dipermalukan.
Semua orang kekurangan makanan sekarang, tapi mereka bisa menghemat bahan makanan agar bisa bertahan hidup. Dengan tambahan sayuran yang ditanam di halaman rumah, mereka bisa lebih hemat.
Suara nenek datang dari halaman, "Ada apa, aku tidak bisa membantu lagi. Kalian sudah mendapatkan jatah beras masing-masing. Lebih baik kalian memasak untukku sekarang."
Nenek memerintahkan keduanya untuk bubar dengan nada yang tidak dapat dibantah, "Bu, Mulan adalah putrimu. Kamu harus memberikan makanan ini jika memang kamu memilikinya. Aku masih ada urusan dengan keluargaku, aku harus pulang." Suara Bibi terdengar jelas.
Ada langkah kaki di halaman, nenek membanting pintu dan semuanya pulag.
"Saudaraku, seharusnya rumah bibi kita tidak kekurangan makanan. Paman adalah pegawai negara. Dia bersedekah makanan setiap bulan. Mengapa dia datang ke sini untuk meminjam makanan?" Rena berbalik bertanya kepada Eka.
"Iya, kenapa kita melupakan ini? Paman punya persediaan setiap bulan. Kita tidak bisa dibandingkan dengan yang lain. Drama seperti apa yang Bibi mainkan kali ini?".
Anak-anak tidak terlalu yakin jika bibinya mengemis bahan makanan. Mereka sadar sepenuhnya jika cadangan makanan di rumahnya harus disembunyilkan. Mereka tak rela berbagi dengan bibi. Eka memutuskan mengunci semua bahan makanannya di lemari besar. Eka juga menyembunyikan pakain lusuhnya. Setelah semuanya aman, barulah mereka duduk bersantai menunggu ibunya pulang.
Dewi tidak tahu jika ada masalah seperti itu di rumah. Pada sore hari, dia bertemu dengan tetangga dan mendapatkan kabar itu. Dewi kembali ke rumah dengan cepat, mendengarkan cerita anak-anaknya. Mendengarkan pendapat anaknya tentang drama yang sedang dimainkan bibinya.
"Bu, bahan makanan kita semua terkunci di lemari, dan aku menyimpan kuncinya. Aku ingin tahu apakah Bibi juga sampai hati meminta makanan pada keluarga kita" Eka menunjukkan kunci di tangannya.