Mona ikut angkat bicara, "Ayah, Ingat kelakuan Paman saat ia tahu kami memiliki kacang mede? Ia tak peduli seberapa keras perjuangan kami menggendong keranjang menaiki gunung, mengais di semak-semak dan di antara kotoran daun kering, mencucinya, dan kemudian membakarnya di atas tungku. Paman tiba-tiba datang dan ingin membawanya sekantung tanpa susah payah. Apa yang bisa kita harapkan dari orang seperti itu? ".
Ungkapan anak-anaknya tentang saudara-saudaranya itu membuat Restu malu. Anak-anaknya tidak salah bicara. Saudara-saudaranya memang seperti itu.
"Ayah, tidak seharusnya kita ikut campur karena kita masih kecil. Tapi, saat ini kita harus ikut bicara. Ayah mengatakan jika paman masih muda dan belum bisa berpikir dewasa. Apa ayah pikir kita bukan anak-anak? Suatu saat, saudara-saudara ayah akan melakukan hal sama, bergantian kemari mendatangi ibu. Jika ayah membenarkan itu, coba saja ayah lakukan hal yang sama di rumah orang lain. Lihat saja, aku akan memarahinya jika mengulang perbuatannya lagi."
Mona ingin mengucapkan kalimat ini sejak lama, tetapi ia berusaha menempatkan diri di usia tubuhnya. Usia tubuhnya di kehidupan yang sekarang membuatnya tak mungkin berkata banyak. Tetapi hari ini air mata Rano membuatnya sulit menahan lidahnya. Ia tak mungkin membiarkan kakaknya merengek tanpa ada yang membela. Tentu tak akan baik bagi perkembangan psikis Rano nantinya.
Restu sedikit bingung dengan perkataan anak berusia tujuh tahun itu. Anak-anaknya memang pandai, tapi ia tak menyangka jika anak-anaknya sanggup memahami masalah sedalam ini. Restu berpikir sejenak. Ia mengingat saat kecil ia jarang diperhatikan ibunya karena kasih sayang ibunya terbagi dengan saudara-saudaranya.
Mona tahu benar kenapa ayahnya hanya diam. Ayah yang dihormatinya itu harus tahu dimana ia berada. Ia adalah seorang ayah yang harus menyayangi anak-anaknya. Dia tidak bisa mengabaikan keluarganya saat ingin berbakti dengan orang tuanya. Ia bisa berbakti pada orangtuanya, tai anak-anaknya justru tersiksa? Sungguh, Mona telah mengalami hal ini di kehidupan sebelumnya dan tidak ingin tragedi ini terulang di kehidupannya yang sekarang.
Makan siang saat itu berubah menjadi tamparan bagi restu. Semua orang mengkritiknya. Ia terpojok.
"Anak-anak, Ayah dengar semua yang kalian katakan. Berikan yah waktu untuk memikirkannya."
Dewi tahu bahwa suaminya tidak akan bisa mengubah pola pikirnya dengan cepat. , bagaimana dia bisa mengubah jalan pikirannya selama bertahun-tahun? Selalu ada proses beradaptasi, dan itu butuh waktu.
"Restu, kami tidak bermaksud apa-apa dengan mengatakan semua ini. Kami hanya ingin mengingatkanmu bahwa kami adalah keluargamu. Disini ada anak-anak yang juga harus kau cintai. Jika kau tidak mencintai anak-anak, adakah orang lain yang akan mencintai mereka? Anak-anak adalah prioritas sebuah keluarga, dan bukan yang lainnya. "
Dewi tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia lantas membersihkan piring dan sendok. Rena membantu ibunya membersihkan meja. Keluarga mereka biasanya makan dengan sangat rapi. Tidak akan ada makanan yang bercecer. Namun, makan siang kali ini ada paman yang menumpahkan ceceran makanan dimana-mana. Jadi, mereka sampai harus menggunakan kain lap basah untuk membersihkannya.
Restu yang melihat sisa makanan saudaranya bercecer tidak bisa menahan diri untuk tidak menggelengkan kepalanya. Anak-anak memang benar.
Restu menghela nafas pelan. Ia masih punya waktu untuk membicarakannya dengan keluarganya. Ia tidak mungkin membiarkan ini berlarut-larut, apalagi jika nantinya adiknya itu tetap membawa sifat buruknya hingga menikah. Anak-anak tidak menyangka bahwa ucapan yang dibuat pada siang hari ini akan membuat ayahnya segera berubah pikiran.
Setelah selesai membereskan rumah, Restu dan Dewi bergegas menghadiri pertemuan yang diadakan tim produksi. Mulanya Mona akan ikut. Tapi, ia kali ini ditahan oleh Eka, "Mon, disana akan banyak orang. Suaranya akan sangat berisik. Tetaplah di rumah agar kepalamu tidak sakit."
Mona mengerti apa yang dimaksud kakaknya. Mereka mungkin tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang penyakit medis atau apapun terkait sakit kepala Mona. Tapi dokter pernah melarang Mona ada di tempat yang sangat ramai untuk sementara waktu. Jadi, mereka harus menurutinya sekarang.
Eka dan Rena sudah pergi mencari jerami dan ranting. Rano sudah pergi bermain. DI rumah hanya tersisa Mona uang mengambil sebuah cincin, cincin yang ia temukan dalam peti mati tempo hari.
Cincin itu berwarna hitam bening, tembus pandang dan berkilau. Mona tak tahu apa bahan cincin ini, tapi ia menyukainya. Mona berpikir, apakah cincin ini cincin keramat seperti yang pernah ia baca dalam novel di kehidupannya yang sebelumnya?
Memikirkan tentang kisah cincin keramat, Mona mencoba mengambil jarum dan menusuk jarinya. Ia menekan ujung jarinya dengan perlahan hingga darahnya menetes. Darah diserap cincin dengan cepat sehingga Mona tidak menyadarinya. Tai sesaat kemudian cincin itu berubah warna.
Mona sangat suka cincin ini. Ia berencana memakainya jika sudah besar. Jadi, ia mengikatnya dengan benang dan menjadikannya sebuah kalung.
Mona yang duduk di atas kasur tiba-tiba merasa seluruh tubuhnya gatal. Mungkin karena ia sudah lama tidak mandi. Kebetulan, saat ia merasa gatal di punggungnya dua kakaknya kembali.
"Kakak, kemarilah dan lihat apakah ada sesuatu di tubuhku, rasanya sangat gatal".
Mona menggerakkan pantat kecilnya ke tepi kasur, membalikkan punggungnya ke arah kakak perempuannya. Kali ini Mona telanjang di depan kakaknya. Tak masalah karena di kehidupan ini Mona masih kecil.
Rena membantu melepas pakaian saudara perempuannya dan memeriksanya dengan cermat sebelum akhirnya terkejut, "Kak, lihatlah ada kutu di tubuh Mona".
Setelah berteriak, dia menangkap seekor kutu bundar untuk ditunjukkan pada Eka. Kutu itu terlihat menjijikkan.
Eka juga bergumam pada dirinya sendiri, "Pantas aku juga gatal-gatal akhir-akhir ini. Sepertinya aku juga punya kutu di tubuhku."
Kutu ? Mona hanya mendengar nama binatang ini di kehidupan saya sebelumnya, tetapi saya belum melihatnya.
Dia meraih tangan Rena dan bertanya, "Kakak, apa yang harus aku lakukan agar kutu itu hilang? Tubuhku gatal-gatal".
Baik Rena maupun Eka tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Setiap rumah di pedesaan memang sering menjadi sarang kutu.
Rena merasakan kepalanya juga gatal saat ini, "Kak, kemari dan lihat, apakah ada kutu di kepalaku juga?"
Mingcheng datang dan merapikan rambut Rena. Benar saja, banyak telur kutu berwarna putih dan beberapa kutu dengan ukuran kecil.
"Rena, banyak sekali kutu di kepalamu. Kita harus segera menemukan cara untuk menghilangkan kutu-kutu ini."
Mona tahu bahwa kutu sangat berbahaya bagi tubuh, bukan hanya menghisap darah manusia, tetapi juga menyebarkan penyakit menular, kutu-kutu ini harus diberantas dengan cepat.
"Kakak, aku mau ganti baju." Kutu sangat banyak di baju Mona. Ia ingin melepaskannya dan membiarkan kutu-kutu itu mati tanpa darah yang bisa dihisap.