Chereads / Pelangi Kehidupan Mona / Chapter 34 - Kedatangan Adik Ipar

Chapter 34 - Kedatangan Adik Ipar

Malam ini adalah tidur yang paling nyaman bagi keluarga Dewi. Dewi bangun pagi-pagi dengan kondisi segar dan mencuci pakaian anak-anak. Setelahnya, ia kembali ke rumah untuk memasak sarapan.

Tidak ada lagi masalah kutu dan anak-anak mandi air panas. Anak-anak merasa bahwa minum bubur pun tidak masalah kali ini. "Bu, aku merasa seluruh tubuhku rileks. Ayo kita mandi dua hari sekali mulai sekarang."

Rano tahu manfaat mandi kali ini, dan mulai membahas masalah mandi di pagi hari.

"Nak, asal kalian mencari jerami dan ranting, kalian bisa mandi air hangat setiap hari."

Restu menyentuh kepala putra bungsu yang rambutnya kini menjadi lebih halus setelah mandi.

Anak-anak suka bersih. Restu dan Dewi juga lega melihat anaknya lebih bersih. Mereka makan pagi itu dengan kondisi tubuh bersih dan segar. Namun, ketika baru saja menyelesaikan sarapannya dan hendak pergi kerja, terdengar suara di luar pintu, "Kakak, kamu di sini? .

"Ini paman?" Eka bergegas. Pasangan itu mengikuti dari dekat, dan ketiga bersaudara itu juga mengikuti. Seorang anak laki-laki berusia 17 atau 18 tahun berdiri di luar. Ia mengenakan pakaian yang ditambal. Keringat masih menetes dari dahinya, dan senyuman tersungging di wajah merahnya.

Tetapi ketika dia melihat punggung kaki itu, air mata Dewi turun. Adik lelakinya kali ini datang dengan sepatu kecil dengan jari-jari menekuk.

Restu juga melihat sepatu di kaki adik iparnya, matanya langsung merah. Tidak masalah jika sepatu itu rusak selama masih bisa dipakai. Masalahnya, sepatu itu memiliki ukuran terlalu kecil.

"Kakak, kenapa kamu menangis? Ibu dan ayah harus pergi ke kota. Jadi, ia mengirimku ke mari"

Restu tahu bahwa adik iparnya itu harus melalui medan berat sebelum sampai ke rumahnya. Ia harus melewati jalan pegunungan selama hampir 3 jam. Umurnya masih sangat muda. Ia kemudian membandingkannya dengan sifat manja adik-adiknya. Sungguh adik-adiknya itu tidak ada apa-apanya.

"Wawan, cepat masuk, apa kamu kelelahan?"

Wawan masuk digandeng restu, Dewi mengikuti di belakang sambil menyeka air mata.

Ketika Wawan memasuki rumah, dia sepenuhnya memahami situasi rumah Dewi.Tidak heran Ibu terus memikirkan nasib Dewi setelah sempat menengoknya beberapa waktu lalu.

"Wan, biarkan aku lihat kakimu." Wawan ingin menyembunyikan kakinya, tapi Dewi bergerak cepat. Dewi berhasil melepaskan sepatu Wawan dan melihat ada lecet di jari dan tumitnya.

"Kakak, tidak apa-apa. Bahkan saat kakak melepas sepatuku, aku tidak merasa sakit."

"Paman, kamu kamu bisa tidur di kasur kami, sangat hangat."

Beberapa anak dengan antusias membawa Wawan ke tempat tidurnya. Meski Mona baru kali ini melihat paman kecilnya, ia paham jika pamannya itu orang baik.

"Wan, kamu belum makan? Kakak akan membuatkan sesuatu untukmu."

Dewi menyeka air matanya dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Ketika Wawan berangkat, ia memang hanya memakan sepotong roti. Dan setelah ia berjalan jauh, perutnya sangat lapar. Jadi, ia tak menolak tawaran kakaknya.

Restu bercakap-cakap dengan saudara iparnya, lalu melihat sepatunya di lantai, dan berkata bahwa dia akan keluar terlebih dahulu dan segera kembali.

Dewi tidak tahu apa yang dilakukan suaminya, tetapi dia tidak bertanya.

Telur-telur liar yang diambil anak.anaknya dari gunung itu direbus. Setelah itu, Dewi mengupasnya dan meletakkannya di atas mangkuk.

"Wan, makanlah ini dulu."

Ketika dia melihat mangkuk itu dan mengetahui isinya adalah telur, Wawan menjadi sedikit marah, "Kakak, aku ini keluargamu, kenapa kamu repot-repot menyediakan telur? Nasi putih tanpa lauk saja cukup untukku."

Keempat anak itu memegang tangan pamannya, "Paman, kamu boleh memakannya. Kami mengambil telur ini di gunung, kamu bisa mencicipinya, itu telur liar."

Melihat telurnya sudah siap, Wawan tidak mengecewakan kakaknya. Jadi dia mengambil mangkuk dan berencana menyuapi makan setiap anak sedikit. Tetapi anak-anak kecil itu menutup mulut dan menggelengkan kepala. Mona akhirnya berkata, "Paman, Kamu bisa memakannya sendiri. Kami baru saja selesai makan dan kami belum lapar, dan kami semua ingin kamu memakannya. "

"Wan, kamu bisa memakannya sendiri. Anak-anak sudah makan roti tadi."

Wawan sudah kenyang. Ia kemudian bergabung untuk ngobrol bersama. "Kak, ibu khawatir kamu tidak memiliki sesuatu untuk dimakan. Ibu membawakan ini, hanya sayuran laut. Ini untuk anak-anak ketika ingin makan sup. Memang bukan daging, tapi setidaknya bisa menjadi lauk makan bubur atau nasi".

"Paman, beritahu kami tentang melaut" Beberapa anak mengepung Wawan.

Melihat beberapa keponakan yang imut, wajah Wawan juga menunjukkan senyum lembut.

Berdasarkan permintaan anak-anak, Dewi memeriksa keranjang yang berisi banyak sayuran oleh-oleh dari Wawan. Dia membawa sangat banyak hari ini. Dewi memilah sayuran dan mengelompokkannya. "Wan, jangan buru-buru pulang. Aku akan memasak daging goreng nanti. Jika kamu ingin pulang, pulanglah sore hari saja."

Wawan mengangguk. Bahkan jika dia kembali, pekerjaan hari ini tetap ditunda. Lebih baik tinggal sebentar. Sudah lama ia tak ketemu kakak dan keponakannya.

"Kakak, jika mau bekerja pergilah. Tidak apa-apa aku disini. Aku akan menunggumu bersama anak-anak. Setelah itu, aku akan menunggumu memasak makanan lezat untukku."

Dewi memandang adik laki-lakinya sambil tersenyum, "Oke, aku pergi sekarang, kamu tinggal di rumah bersama anak-anak".

Dewi yang sudah menyelesaikan pekerjaan rumah pergi bekerja. Restu juga baru saja pulang dengan kantong kertas yang diapitnya di ketiak.

"Wan, kemari dan coba lihat apakah itu cocok untuk kakimu. menurutku ini cocok."

Wawan menyadari bahwa iparnya itu pergi keluar untuk membelikannya sepatu, "Kakak ipar, apa yang kamu lakukan. Kamu juga kekurangan. Kamu bisa mengembalikan sepatu itu ke toko. Meskipun sepatuku membuat jari-jariku lecet, aku tetap bisa memakainya. Jadi, dengarkan aku dan kembalikan sepatu itu ke toko. "

"Wan, aku tidak bisa memberikanmu apa-apa. Tidak apa-apa membelikanmu sepasang sepatu. Tidak mahal, dan kamu juga membutuhkannya, bukan? Ini tidak sebanding dengan barang-barang yang kau berikan. Jadi, dengarkan aku, cobalah dan pakailah berjalan."

Wawan memakai sepatu itu. Sepatu baru dengan karet hijau itu sangat cocok untuknya. Ukurannya sangat pas dan Wawan merasa sangat nyaman.

Melihat adik iparnya tersenyum sedikit seperti senyum anaknya sendiri, hati Restu pun terasa hangat.