Mona dan yang lainnya telah mendengar percakapan antara kedua orang tua mereka. Mona mulai membenci keluarga yang kini ada di depannya.
Keluarga yang duduk di depannya memang tidak melakukan apapun, tapi matanya bergerak seperti pencuri. Sedangkan mata pria yang ada disana nampak memelas, tapi justru membuat Mona merasa muak.
"Paman, Bibi, pulanglah ke rumah nenek dan tidurlah disana. Jika kalian ingin mengobrol lebih banyak, datanglah lagi besok. Aku, ibu, dan lainnya lelah hari ini, kami baru pulang."
Mona mengucapkan kalimat mengusir kali ini. Ia khawatir dengan gubuk tempatnya tinggal tidak akan nyaman lagi. Jadi, Mona tidak akan membiarkan ada yang merusak kenyamanan keluarganya kali ini.
"Ya, Paman Sam, kamu harus istirahat juga, kamu baru saja datang, kamu pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Jadi, pulanglah ke rumah nenek dan istirahat lebih awal." Rena menanggapi ucapan Mona. Ia tahu apa yang diinginkan saudarinya dan juga tak nyaman dengan tatapan mata pamannya, Jadi, Rena membantu Mona mengusirnya.
Bibi memandang dua keponakannya itu dengan mata yang mengisyaratkan ketidaksetujuan dan berkata, "Keponakanku, nenek sudah meminta kami bermalam di rumah kalian malam ini. Jadi, jika kami ingin istirahat, kami harus tidur disini bersama kalian.".
Eka marah ketika mendengar ini, "Bi, lihatlah tempat tidur kami yang kecil. Jika 11 orang harus tidur bersama, bagaimana kamar itu akan cukup?"
Wanita itu tersenyum dan berkata, "Aku tidak peduli bagaimana cara tidur. Jika kalian keberatan, pergilah ke rumah nenek kalian dan proteslah disana."
Apa yang dikatakan Eka di depan tempat tidurnya tidak mempengaruhi paman dan bibinya itu.
"Restu, jadi begini kebaikan keluargamu? Sudah kubilang, jika kamu tidur di ranjang dengan mereka, kupikir kita harus pergi ke pengadilan dan bercerai besok. Kamu bisa tanyakan ke pengadilan, bisakah keluarga ibu mengatur keluarga menantunya seperti ini. ? ".
Paru-paru Dewi akan meledak kali ini. Jika keluarga mengatakan mereka dulu baik, dia tidak akan keberatan menampung mereka. Tapi, paman itu, ia hampir saja menjual Restu untuk membayar hutang. Kelakuannya benar-benar tak bisa dimaafkan.
Restu buru-buru memeluk Dewi, "Wi, tolong jaga harga diriku. Mereka akan tinggal di sini selama satu malam, besok aku berjanji tidak akan berbagi ranjang lagi dengan mereka. Esok aku akan berbicara dengan saudara-saudara yang lainnya."
Dewi melihat suaminya lebih dekat kali ini, dan menyentuh kepalanya dengan rasa ingin tahu. "Kamu tidak sedang sakit, kan? mengapa kamu berbicara omong kosong? Bagaimana kamu bisa mengeluarkan mereka besok? Ibumu akan tetap menyuruh mereka tinggal disini. Kau punya rencana?".
Restu belum memikirkan masalah ini, "Tunggu sampai besok kita akan berusaha mencari cara. Aku berjanji besok mereka akan pergi."
"Mengusir mereka? Apa jaminannya kamu akan berhasil? Ah, Restu dimana pikiranmu? Kita bahkan tidak punya cukup banyak selin=mut untuk dipakai bersama".
Ketika Wang Restu ditanyai oleh istrinya, dia tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan. Tidak ada seorang pun di desa yang memiliki selimut tambahan. Tidak perlu memikirkannya, tetapi bagaimanapun juga, saat ada kerabat yang datang, setidaknya kita menyediakan selimut untuk mereka.
"Restu, pergilah dan carikan tempat untuk kami tidur malam ini. Temukan tempat untuk anak-anak tidur dan juga selimut untuk mereka. Setelah itu, kami akan pergi bersamamu."
Dewi mendorong suaminya keluar rumah, dan kemudian dia kembali ke ruang tempat paman dan bibi duduk. Dewi memasang senyumnya. "Kalian tidak membawa kasur kalian saat pindah? "
"Kami hanya memiliki dua tempat tidur di rumah kami, dan dua kasur itu kami tinggalkan di rumah bibi untuk orang tua kami. Mereka takut dingin, jadi saya memberi mereka tempat tidur tambahan. Apakah keluargamu memiliki tempat tidur tambahan untuk kami?."
Mona meringkuk ke samping dan mulai menangis sambil menjerit. Ayah dan ibunya tak punya pilihan lain kali ini. Rano yang melihat tangisan Mona kini juga ikut menangis.
"Kita akan tidur" teriak kedua anak itu.
Paman mulai memberi isyarat, "Adik-adik dan anak-anak semua sudah mengantuk, mari kita istirahat juga," mengedipkan mata pada istrinya dan memintanya untuk pindah ke tempat tidur.
Eka dan saudara perempuannya segera menyambar selimut dari rumah mereka. Rano jga buru-buru mengamankan selimutnya, ia menangis dan berkata, "Itu selimutku. Selimutku bukan untuk orang lain. Takut dingin " dan mulai menangis lagi.
Mendengar teriakan dari luar tembok di halaman utama, kakek mengerutkan kening dan berkata, "wanita tua yang sudah bau tanah tak punya hati, kamu keterlaluan, tidak ada tempat tinggal di rumah Restu. Kamu adalah orang berdosa, lihatlah.kau membuat cucuku menangis. "
"Iblis, cepatlah tidur. Apakah kau bodoh? akan lebih baik jika kita punya rumah besar"
Kakek tidak pernah bermimpi bahwa begitu banyak orang akan kembali.Jika mereka tinggal lebih lama, keluarga mereka tidak akan sanggup menanggung bebannya.
Ketika paman dan bibi menyusahkan keluarga restu. Nenek hanya diam. Pun demikian dengan dua saudara tertua Restu yang tidak lagi datang ke rumah. Mereka takut paman dan bibi juga akan menyusahkan mereka.
"Ini sudah malam, kenapa kamu tidak tidur/", tanya nenek menyelidik melihat kakek yang gelisah.
Nenek bergumam, dan kakek memelototinya sesaat. "Enak sekali kamu bisa tidur? Kamu tak memikirkan bagaimana keluarga Restu bisa tidur malam ini? Idemu itu benar-benar buruk."
Restu sudah mengitari desa, menanyakan pada setiap rumah tentang kesediaan mereka memberikan tempat untuk tidur malam ini. Tapi, tidak ada yang cocok. Kakak ipar memang bersedia membukakan pintu rumah, tapi mereka tidak memiliki kasur tambahan. Kakak ipar itu juga memberikan nasihat bijak pada Restu," Restu, kamu perlu ingat jika kamu itu dulu pernah diculik dan hampir dijual oleh paman. Keluarga mereka bukanlah keluarga baik-baik."
Setelah mengunjungi rumah kakak ipar, harapan terakhirnya telah hilang, jadi Restu harus berjalan kembali dengan langkah berat. Di langit malam yang sunyi, ia hanya serupa sosok kesepian yang berkeliaran.
Setelah Dewi memandikan anak-anak, Dewi yang makin bingung hanya bisa meminta anak-anak menunggu, duduk beralaskan tikar.
Keempat anak itu memegang selimut perca mereka dan dengan tegas tidak akan membaginya dengan orang lain. Saking eratnya mereka memegang selimut, genggaman mereka seolah tidak bisa dibuka.
"Paman, Bibi, apakah kalian tidak ingin mandi?"
Pasangan itu menggelengkan kepala, "Kita sudah mandi tadi sebelum berangkat kemari. Jadi, kita tak perlu mandi lagi, kita akan tidur dulu."
Pasangan itu tidur bersama anak-anak mereka di kasur keluarga Restu. Sedangkan hanya tersisa kasur kecil untuk Dewi dan keluarganya saat ini hingga tidak ada tempat bagi anak-anak untuk berpindah posisi.
Ketika Restu kembali ke rumah, dia melihat istri dan anaknya berdesakkan di kasur sempit. Saking sempitnya, mereka harus saling berpelukan. Mereka sepertinya sudah lama tertidur.