HELLO!! This is my first story ever.
Happy reading!
***
Terlambat bukan hal yang baru bagi Ezelya. Hampir sebagian waktu hidupnya dia habiskan untuk merutuki sifat cerobohnya ini. Bagaimana bisa dia tidak mengatur waktu dengan baik, sehingga kesialan yang sama selalu menerpanya setiap hari.
Ezelya berlari di sepanjangan koridor kampus. Entah sudah berapa kali Ezelya melirik jam yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Tujuan Ezelya saat ini hanya satu. Masuk, duduk, lalu mengumpulkan tugas yang sudah susah payah dibuatnya semalaman setelah pulang dari cafe tempatnya bekerja.
Lagi-lagi, Ezelya hanya bisa menghela napas ketika pintu ruangan tempat perkuliahan berlangsung telah tertutup rapat. Langkah Ezelya berbalik menuju kafetaria. Dia tidak sempat sarapan dirumahnya, mengingat betapa buruk paginya hari ini.
Kafetaria pagi ini masih sepi. Hanya beberapa mahasiswa-mahasiswi yang mungkin saja tidak sempat sarapan dirumah, atau sekedar duduk menunggu mata kuliah dimulai. Ezelya memilih kursi paling pojok. Posisi yang dekat dengan tempat cuci piring di kafetaria, sehingga menjadi tempat yang paling dihindari para mahasiswa disini.
Ezelya meletakan tas dengan beberapa map berisi tugas-tugasnya di atas meja. 'Kalau kayak gini terus, kapan lulusnya.' Ezelya menggerutu dalam hatinya.
Kadang, ia merasa kesal dengan hidupnya. Merasa bosan dengan keadaannya. Ezelya juga ingin seperti mahasiswa yang lainnya. Ezelya ingin menghabiskan masa kuliahnya dengan dibubuhi sedikit senang-senang bersama teman sebayanya. Ezelya ingin waktu istirahat yang banyak ketika lelah berkutat dengan tugas-tugas untuk masa depannya. Bahkan, Ezelya ingin memiliki banyak uang, lalu dia tidak perlu kesulitan untuk memikirkan apa yang terjadi besok hari. Tetapi sekali lagi Ezelya dituntut untuk membuka kelopak matanya, menghadapi kenyataan yang tidak seindah angan-angannya.
Ezelya dipaksa berjuang untuk satu waktu dihari esok dalam hidupnya. Memiliki banyak uang? Ezelya tertawa miris. Untuk kuliah saja dia harus memanfaatkan beasiswa yang disediakan pemerintah untuk kaum-kaum seperti dirinya. Bagaimana bisa dia berpikir tentang memiliki banyak uang. Keluarga? Ezelya sebatang kara sejak lahir. Hanya panti asuhan kumuh di pinggiran kota yang menjadi saksi bagaimana dia bisa sampai terdampar disitu. Oleh sebab itu, Ezelya harus berusaha untuk menghilangkan berbagai hayalan dalam pikirannya. Dia terlahir bukan untuk menjadi seperti itu. Dia harus tetap menjadi Ezelya Alexis yang selalu hidup seperti ini.
Ezelya mengambil dompetnya, "ternyata masih ada dua puluh ribu. Masih bisa makan bubur ayam." Ezelya teringat satu hal. Hari ini tanggal tua, itu berarti dia belum gajian. Tapi tidak apa-apa, toh dua puluh ribu juga sudah cukup untuk mengisi perutnya saat ini. Mungkin dia harus berpikir untuk kerja harian nanti siang, agar mendapatkan upah untuk makan siangnya.
Ezelya berdiri hendak memesan makanannya, sebelum seseorang menyenggol tangannya, "Yaampun!" Ezelya memekik kaget sambil mengusap dadanya.
"Maaf." Ezelya mengangkat wajahnya menatap seseorang yang berlalu dengan sebuah kata maaf di depannya. Ezelya mengenal sosok itu. Levin Millard. Sosok laki-laki yang sangat tampan. Kulitnya putih bersih, hidung yang mancung dengan alis yang tebal. Setiap mata yang melihatnya pasti setuju dengan pendapat Ezelya saat ini.
Ezelya masih menatap Levin yang berjalan menuju kerumunan teman-teman yang setara dengan dia. Ya, mereka setara karena berada di tingkat yang sama. Ezelya mengenal mereka semua. Levin, Revan, Mike, Agatha, Alette, dan Karel. Tipikal mahasiswa-mahasiswi yang tidak pernah merasakan pahitnya hidup. Ezelya mengenal Levin karena mereka selalu satu kelas di mata kuliah public speaking. Levin adalah mahasiswa yang cukup dikenal di dalam kelas. Berbanding terbalik dengan Ezelya, si makhluk tak kasat mata. Ezelya berani bertaruh seribu persen kalau Levin sama sekali tidak mengenalnya.
Ezelya melanjutkan langkahnya, tidak mau terlarut dengan pemikirannya yang luas tak berujung itu.
"Bu, saya bubur ayamnya satu ya."
"Minumnya apa, mbak?" Bu Ratri, sosok wanita paruh baya yang berjualan di kafetaria itu tersenyum menatap Ezelya. "Air putih aja, buk. Hehe" Ezelya tertawa kecil, lalu berbalik menuju tempat duduknya kembali.
Ezelya menatap beberapa tumpukan tugas yang tidak sempat dikumpulkannya. Ezelya menghela napas kecil, "Tugasnya harus dikumpulin nih sebelum UAS."
***
Disisi lain, enam manusia ini sedang terdiam dalam pikirannya masing-masing. Raut wajah mereka menunjukan bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja. Entah beban pikiran apa yang sedang bersarang di kepala mereka, tetapi sepertinya bukan merupakan sesuatu yang bisa dianggap remeh.
"Lev." Revan berdiri ketika Levin baru saja tiba di tempat perkumpulan mereka.
"Duduk dulu." Levin meletakan tasnya di atas meja, lalu menarik kursi keluar dan duduk tepat di depan Revan.
Revan mengusap kasar wajahnya, lalu kembali duduk dihadapan Levin.
"Lo sih, kenapa gak tidurin Agatha aja. Atau nggak lo bisa juga-"
Click
"Sebut nama gue, gue bakar rambut lo." Karel memekik kaget, perkataannya terputus karena korek api yang dinyalakan Aletta tepat di depan wajah Karel.
"Ganas banget sih." Aletta hanya memutar bola matanya malas menanggapi Karel
Sementara itu, Agatha menatap Revan dengan tatapan mencemoh. "Kalau takut anak orang hamil, ya jangan ditidurin lah. Bencong."
"Shit mulut lo pedes banget sih, Gath." Agatha hanya memutar bola matanya. Malas menanggapi hal tidak berguna seperti ini. "By the way, dia emang udah ngasih lo hasil testpack punya dia?"
"Belum sih, tapi gimana kalau bener dia hamil? F*ck!" Revan menutup matanya sejenak. "Demi Tuhan sih ini, gue belum siap jadi bapak woi."
"Kasih uang aja sih ke dia. Suruh gugurin." Mike mengedipkan sebelah matanya ke arah teman-temannya secara bergantian.
"Kalau dia nggak mau, gimana?" Ide itu memang sudah terlintas di benak Revan sejak tadi malam. Namun bagaimana caranya mengungkapkan kepada perempuan itu, yang membuat Revan bingung sampai saat ini.
"Ya pokoknya lo kasih uang aja ke dia. Masalah dia mau atau enggak itu urusannya dia. Kalau dia nyolot ya lo bilang aja ke dia kalau anak yang di dalam perut dia itu, bisa jadi bukan anak lo kan."
"Bravo!" Levin menghisap sebatang rokok di tangannya lalu mengedipkan sebelah matanya ke arah Mike
Untuk sesaat Agatha terpana menatap Levin, lalu segera tersadar dan berbalik memberikan tinjuan kecil pada Revan. "Dan itu juga harusnya jadi pembelajaran buat lo, Rev. Jangan tabur benih sembarangan kalau gak mau nuai."
***
Akhirnya!
Ezelya berseruh dalam hatinya. Ternyata dosen yang sudah berumur itu masih berbaik hati untuk menerima keterlambatan tugas-tugasnya selama ini, walau harus ditambah dengan penjelasan-penjelasan dramatis Ezelya terkait hidupnya yang sebatang kara dan penuh perjuangan.
Suasana kampus masih ramai, karena hari memang masih siang. Namun karena mata kuliah Ezelya hari ini telah selesai, dia memutuskan untuk pergi ke tempat kerja sampingannya agar mendapatkan upah untuk membeli makan siang.
Ezelya memang selalu seperti ini jika uang simpanan dari gajinya sudah hampir tidak mencukupi untuk hari-harinya. Ezelya hanya perlu berusaha untuk mencari sarapan pagi dan makan siangnya sendiri, karena makan malam selalu free diberikan oleh kafe tempatnya bekerja. Ezelya selalu bekerja dari pukul 5 sore sampai pukul 11 malam. Lalu setelah itu ia akan langsung pulang dan melanjutkan beberapa tugas-tugas kuliah yang belum diselesaikannya.
Ezelya memang berasal dari panti asuhan kecil yang berdiri hanya dengan mengharapkan bantuan dari pemerintah dan para donatur. Panti asuhan tersebut juga punya aturan tersendiri. Yang mana, anak-anak yang sudah selesai dengan pendidikan di tingkat SMA harus bisa mencari jalan hidup sendiri dikarenakan biaya hidup yang tidak mencukupi. Hari-hari pertama setelah dia meninggalkan panti asuhan merupakan hari-hari terberat dalam hidupnya. Dengan berbekal uang lima ratus ribu rupiah dan ijazah SMA, Ezelya berhasil mendapatkan tempat tinggal kecil di kawasan para buruh serta pekerjaan di cafe sederhana. Walaupun jarak tempat tinggal dan tempat kerja Ezelya lumayan jauh, tapi Ezelya tidak pernah mengeluh. Mendapat pekerjaan dengan ijazah SMA saja sudah cukup baginya.
***
Ezelya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru cafe. "Hmm, hari ini lumayan ramai ya kak." Ezelya tersenyum menatap Alice. Alice mengedipkan sebelah matanya pada Ezelya sembari tersenyum.
"Jadi, mau kerja lagi hari ini?" Alice mengambil waslap lalu membersihkan meja di depan mereka, "Aku kan udah bilang, kamu makan aja pakai uangku dulu. Sekarang kamu pulang, lalu istirahat. Kan nanti sore kamu kerja lagi." Alice menatap Ezelya lembut. Alice memang sudah seperti saudara bagi Ezelya. Satu-satunya orang yang paling Ezelya sayang dan yang paling mengerti Ezelya. Alice yang selalu memberikan Ezelya kesempatan untuk kerja paruh waktu disini. Bukan karena Alice adalah pemilik cafe ini, tapi karena Alice diberikan kepercayaan penuh oleh pemilik cafe untuk mengawasi cafe dan bertanggung jawab atas cafe. Kehidupan Alice juga tidak jauh berbeda seperti Ezelya. Namun perbedaannya ada pada Alice yang masih memiliki sosok seorang ibu, sedangkan Ezelya sama sekali tidak memiliki siapapun disampingnya.
"Enggak kak. Kalau aku kayak gitu terus, nanti uang kakak gak cukup buat kakak sama tante Liza. Lagian aku gak capek-capek amat kok, jadi gak apa-apa kalau kerja sebentar."
"Aku aja yang beresin kak." Ezelya mengambil alih waslap dari tangan Alice. Alice tersenyum lembut pada Ezelya.
"Biar aku aja yang beresin meja. Kamu antarkan ini ke meja nomor 8 ya." Alice mengambil alih waslap dari tangan Ezelya, lalu memberikannya nampan berisi secangkir cappucino.
"Oke."
Ezelya mengambil selembat tissue lalu meletakannya diatas nampan.
"Cappucino panas di siang hari seperti ini? Pasti yang minum punya banyak beban pikiran nih." Ezelya tertawa kecil sembari menggelengkan kepalanya menatap secangkir cappucino panas didepannya, lalu mengangkat nampan dan mengantarkannya.
Ezelya meletakan nampannya di atas meja. Betapa terkejutnya Ezelya menatap pria di depannya. Dia Levin, pria yang memesan secangkir cappucino panas di siang hari adalah Levin Millard.