Helo, part 3 sudah hadir disini. Hehe❤️
———
'Sebenarnya apa yang penting, sih?' Levin mendesah untuk yang kesekian kalinya. Levin harusnya sedang tidur siang bersama Agatha saat ini, dan bukannya membelah jalanan kota di siang hari untuk menemui Aletta si biang onar. Rasanya Levin sudah hampir gila saat ini.
Setelah memarkirkan mobilnya, Levin bergegas turun dari mobil lalu masuk ke dalam kafe. Levin mengerutkan dahinya heran ketika melihat suasana kafe.
'Kafe yang sangat mungil ternyata,' batinnya.
Levin mengambil handphone dari dalam saku celananya, lalu membuka kotak pesan untuk memastikan bahwa alamat kafe yang dikirim Aletta sama dengan tempat dirinya berada saat ini.
Affetto del caffè
Levin menggelengkan kepalanya ketika membaca nama kafe tersebut. Aletta ternyata tahu seleranya.
'tipikal adik yang baik,' Levin terkekeh pelan.
Tanpa perlu mencari dimana letak nama kafe tersebut, Levin sudah cukup tahu dengan menatap interior kafe ini yang berbau Italia.
Levin melangkah menuju salah satu kursi yang dekat dengan jendela kaca, tentu saja jendela selalu menjadi tempat favorite Levin.
Seorang pramusaji datang dan hendak memberikan Levin buku menunya, namun Levin hanya mengangkat tangan mencegahnya dan memesan secangkir cappucino. Levin tahu pasti bahwa di kafe seperti ini, cappucino selalu berada di urutan nomor satu atau nomor dua. Pramusaji tersebut mengangguk sopan, dan kemudian berlalu pergi.
Levin mengedarkan pandangannya menyusuri kafe ini, Levin merasa kagum. Kafe minimalis namun sangat elegan. Darimana anak itu tahu tentang kafe ini?
Berbicara tentang anak itu, kemana dia?
Levin menatap sekelilingnya, 'Dimana anak itu?' Levin merogoh handphone-nya lalu berniat menghubungi Aletta.
Levin mengangkat kepalanya menatap gadis yang berdiri didepannya dengan nampan di tangan gadis itu. Levin bisa menebak bahwa secangkir gelas di atas nampan itu adalah cappucino yang ia pesan. Namun, apa yang terjadi dengan gadis ini, sehingga hanya menatap Levin tanpa meletakan cappucino miliknya.
"Apa ada yang salah?" Levin menaikan sebelah alisnya menatap gadis di depannya ini.
Ezelya, gadis yang bertugas mengantarkan secangkir cappucino itu pun tersentak kaget dari lamunanya ketika mendengar suara Levin. "Eh, tidak, enggak. Aku- aku cuma mau nganter pesanan kamu." Ezelya meletakan nampan di atas meja Levin, lalu menunduk sopan dan berlalu dengan kata permisi.
Levin menggelengkan kepalanya menatap Ezelya. Levin sudah menemui banyak gadis dengan tipikal seperti Ezelya. Gadis-gadis yang terpanah untuk beberapa saat ketika menatap Levin, dan Levin tidak heran akan itu.
"Maaf, maaf.." Levin terlonjak kaget ketika Aletta tiba-tiba saja sudah duduk disampingnya.
"Jalanan macet banget tadi, hehe." Levin menatap malas Aletta yang terkekeh kecil disampingnya.
"Pindah ke depan gue." Aletta menganggukan kepalanya, lalu bergegas pindah tempat duduk tepat di hadapan Levin. "Jadi ada apa?"
Aletta menatap Levin lalu memutar bola matanya, "Bentar lah, baru sampai juga."
"Gue udah nungguin lo dari setengah jam lalu, dan sekarang harus tunggu lagi?" Levin menatap tajam Aletta, "Cepat ceritain. Ada apa?"
"Lo kayaknya butuh pembantu baru dirumah deh," Levin menatap Aletta heran. Aletta yang menyadarinya, langsung melanjutkan pembicaraannya. "Anak yang kemarin gue rasa kurang begitu bisa dipercaya, apalagi lo jarang banget dirumah."
"Memangnya dia kenapa?" Levin mengangkat satu alisnya menatap Aletta, "Dia kan sudah kerja lumayan lama. Sekitar 3 bulan, dan nggak ada apa-apa juga."
Aletta memutar bola matanya malas, "Ya itu karena lo jarang dirumah, kutil kadal."
"Tadi gue kerumah. Niatnya sih mau nyariin lo, eh ketangkep si pembantu itu, lagi nyelinap ke kamarnya nyokap lo. Yaudah gue ikutin. Awalnya gue pikir dia mau ngerawat nyokap lo di dalam kamar, eh ternyata dia ngambil kalungnya tante dan diselipin ke lipatan celananya."
"Cuma itu doang?" Levin menatap Aletta, "Cuma itu doang dan lo ganggu tidur siang gue?"
"Iya itu doang jidat lo! Hari ini dia nyolong kalung, bisa jadi besok-besok sertifikat rumah lo udah atas nama dia." Aletta memutar bola matanya menganggapi Levin. "By the way, gue langsung pecat itu orang pas ketangkep lagi nyolong, hehe." Aletta tersenyum lebar ke arah Levin.
"Yaudah. Lo urus aja. Mulai dari pemecatannya dia sampai ke pekerja yang baru, lo yang urus ya. Dan jangan lama-lama biarin rumah kosong tanpa ada yang ngurus. Mama pasti butuh orang buat bantuin dia ngerawat bunga-bunga dia." Levin yang memang sudah memahami sifat Aletta yang blak-blakan hanya bisa menghela napas menatap Aletta.
"Nah makanya itu, sebelum gue dapet yang baru, sebaiknya lo tinggal dulu deh dirumah. Sampai semuanya selesai dan gue dapet pekerja yang lain, baru lo keluyuran lagi." Aletta mengedipkan sebelah matanya menatap Levin
"Lo nyuruh gue stay dirumah buat nyiramin bunga setiap hari?"
"Bukan, bukan. Lo tuh kurang ajar banget ya, nyokap lo, anjir! Nyokap lo sendiri, bukan kebun bunganya nyokap lo! "Aletta mengibaskan tangannya depan di depan wajahnya, lalu menarik napas untuk meredahkan emosi yang sudah merajalela dalam dirinya ketika menghadapi Levin. "Maksud gue, ya setidaknya lo dirumah buat temenin nyokap lo dong. Kalau belum dapat pembantu baru, dia pasti gak punya temen buat ngomong."
"Fine."
***
'Astaga, astaga! Bodohnya aku.'
Ezelya terus merutuki kebodohannya di depan Levin. Hanya karena secangkir cappucino di siang hari, Ezelya sampai-sampai harus menahan malu karena kepergok menatap Levin.
"Nggak." Ezelya menggelengkan kepalanya, "Dia pasti nggak kenal aku. Jadi nggak apa-apa. Santai Zel, santai." Ezelya mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat dingin.
Ezelya menghampiri Alice yang sedang menulis beberapa pesanan dari luar kafe.
"Kak," Alice melepas kacamatanya, lalu menatap Ezelya, "Iya? Kamu kenapa? Kok kayak baru habis lari marathon gitu?"
"Kak, boleh nggak hari ini aja aku jangan kerja di bagian depan kafe? Maksud aku, hari ini boleh nggak aku cuci piring aja di belakang?"
Alice menatap Ezelya dengan heran, "Lho memangnya kenapa? Capek loh kalau kamu cuci piring di belakang. Mending kamu antarkan pesanan-pesanan aja." Ezelya dengan cepat mengibaskan tangannya di depan dada, "Ah nggak kak, nggak. Aku cuci piring aja ya di belakang kak. Aku nggak apa-apa kok."
"Beneran nggak apa-apa?"
"Iya kak, nggak apa-apa." Alice tersenyum menatap Ezelya lalu mengangguk tipis. "Ya sudah kalau begitu. Hati-hati ya Zel, jangan terlalu capek. Kan nanti sore kamu kerja lagi."
"Siap kak, makasih ya kak. Aku ke belakang dulu."
***
Hari sudah petang. Setelah pertemuan Aletta dengan Levin, Aletta langsung pulang dan bergegas mencetak lowongan pekerjaan. Aletta mengambil beberapa kertas yang sudah selesai dicetaknya. Kertas berisi lowongan kerja sebagai pembantu rumah tangga beserta fasilitas dan keterangan-keterangan tentang apa yang harus dikerjakan secara khusus ataupun umum. Aletta tidak mencantumkan batasan usia, hanya saja Aletta membutuhkan perempuan yang sudah matang.
Aletta memasukan kertas-kertas itu ke dalam ranselnya, lalu mengambil kunci mobil dan berniat keluar untuk menyebarkan kertas tersebut.
Aletta Madeira adalah sepupu Levin. Gadis dengan rambut berwarna coklat keemasan yang sangat kontras dengan kulit putihnya. Dibalik sifat yang selalu konyol dan menyebalkan, Aletta punya kepedulian yang luar biasa tersimpan dalam dirinya. Seperti sekarang ini, Aletta peduli pada Levin dan keluarganya sehingga dia bersusah payah mengusahakan yang terbaik tentang seisi rumah Levin.
Aletta memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang tersedia di dekat taman. Menurut Aletta, taman ini merupakan lokasi yang sangat strategis. Dengan dikelilingi beberapa kafe dan rumah makan disampingnya, serta sebual mall besar tepat di depan taman membuat Aletta yakin bahwa menebarkan iklan ini disini akan lebih mudah dijangkau banyak orang.
Aletta mulai berjalan menempelkan poster pada sudut-sudut bangunan, tiang-tiang yang berada di taman, serta sudut restaurant yang tentu saja sudah mendapatkan ijin dari pemiliknya.
Setelah selesai, Aletta duduk di ujung taman untuk beristirahat sejenak.
"Baru sadar, ternyata taman ini sejuk banget." Aletta menatap sekeliling taman lalu tersenyum. Taman ini memang sangat indah dan sejuk. Di tengah-tengah taman terdapat beberapa warna bunga mawar yang merekah hebat. Lalu disisi kiri sebelah ujung taman, ada danau yang dipenuhi dengan tanaman air. Aletta yakin, ini akan menjadi tempat favorite-nya.
Pandangan Aletta terpaku pada dua sosok yang sedang duduk di bangku taman. Perempuan muda dengan seorang gadis yang Aletta perkirakan berumur sekitar empat tahun. Yang menarik perhatian Aletta adalah si perempuan muda itu yang menurut Aletta masih sangat muda untuk memiliki anak berusia sekitar empat tahun. Aletta berani bertaruh, umur perempuan itu pasti tidak beda jauh dengan umurnya sendiri.
Aletta masih memperhatikan perempuan muda dengan anak kecil itu. Melihat bagaimana perempuan itu menghapus air mata gadis kecil yang terus menangis, lalu menggendongnya.
"Benar-benar sosok ibu yang hebat," Aletta menggelengkan kepalanya lalu terkekeh menatap perempuan itu.
Aletta mengerutkan dahinya ketika sosok perempuan yang lebih tua datang menghampiri mereka berdua, lalu memeluk si gadis kecil yang membuat tangisan gadis kecil itu reda seketika. Perempuan yang lebih tua itu terlihat sedang berbincang dengan perempuan muda itu, lalu dia menganggukan kepalanya dan berlalu. Aletta menatap mereka dengan tatapan heran, lalu beberapa menit kemudian Aletta tersadar.
Aletta berlari menghampiri perempuan muda yang sudah hampir berlalu dari tempatnya.
Ternyata enggak butuh yang dewasa untuk selalu berkelakuan baik, jackpot!
——
To be continued❤️❤️
Thank you for reading! Yuk temenan di ig @nandalawalata