Chereads / Pure Thing / Chapter 4 - Part 4

Chapter 4 - Part 4

WARNING!! this part will be the most boring part ever... HEHE. BUT I STILL HOPE YOU GUYS ENJOY IT!

________________________________

Levin mendesah malas ketika mendengar suara ponselnya, padahal Levin sudah berencana bahwa hari ini ia akan bermalas-malasan dirumah dan menuntaskan kegiatan tidurnya sampai ia puas.

Levin mengubah posisinya dari tidur menjadi duduk, lalu mengambil ponselnya dan menekan tombol hijau untuk mengangkat panggilan.

"Halo?"

Satu menit berlalu dan tidak ada jawaban apapun? Levin menyeritkan dahinya lalu menatap ponsel yang tadinya berada di telinga, sekarang sudah berada tepat di hadapannya. Levin menaikan sebelah alisnya ketika menyadari bahwa panggilan ini masih tersambung, tetapi kenapa tidak ada jawaban dari si penelepon?

"Halo? Ini siapa?"

'Emm, halo.'

Astaga! setelah Levin mengorbankan waktu tidurnya, dan menyapa sebanyak dua kali, lalu seseorang di seberang sana hanya membalasnya dengan kata halo tanpa embel-embel apapun? Sekarang Levin benar-benar mengutuk siapapun yang sedang berbicara dengannya melalui ponsel sialan ini.

Mencoba sabar, Levin menjawab seseorang di seberang sana yang dia yakin adalah perempuan dengan sehalus mungkin. "Iya. Ada apa?"

Beberapa detik berlalu dan masih belum ada jawaban dari seseorang di seberang sana. Perempuan ini memang bena-benar sedang menguji kesabaran Levin.

Levin hampir saja menutup panggilan sebelum kembali berpikir tentang siapa perempuan asing yang mengetahui nomornya sehingga menghubungi Levin dipagi hari seperti ini.

Levin memejamkan matanya sebentar, mencoba sabar untuk yang kedua kalinya, "Halo? Siapa ini? Dan ada apa?"

'Aku.. aku mau melamar pekerjaan yang ditawarkan Aletta kemarin. Apa.. apakah masih bisa?'

Seketika perempuan itu menjawab Levin dengan secepat mungkin dan disertai dengan nada kaget.

Levin menarik napas dalam-dalam lalu mengumpat Aletta habis-habisan dalam hatinya. Aletta benar-benar sialan. Bukankah Levin telah menyuruh Aletta untuk mengurus semuanya sendiri? Mengapa Aletta membawa-bawa Levin dalam urusan ini, dan bahkan memberikan nomor ponsel Levin pada orang lain?

"Oh.. masih." Tak tahu harus berkata apa, Levin hanya menjawab pertanyaan perempuan itu dengan kata masih. Karena sejujurnya, menurut Levin jika Aletta yang menawarkan pekerjaan ini pada perempuan itu, maka perempuan itu pasti masuk dalam kandidat spesial.

'Lalu bagaimana? Maksud aku kelanjutannya bagaimana?'

Levin mengusap wajahnya kasar. Levin benar-benar tidak tahu harus menjawab apa pada perempuan itu. Apakah merekrut asisten rumah tangga harus memakai sistem interview seperti merekrut karyawan? Levin benar-benar bingung sekarang. Harusnya Aletta tidak menariknya masuk dalam proses mencari asisten rumah tangga baru untuk rumahnya ini, karena Levin tidak tahu apapun mengenai hal tersebut.

"Nanti aku akan mengatakan pada Aletta untuk menghubungi mbak terkait dengan kelanjutannya, ya." Levin benar-benar menyerahkan segalanya pada Aletta kali ini.

'Ya sudah kalau begitu, terima kasih.'

Setelah sambungan telepon tertutup, Levin beranjak dari kasur lalu menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Levin benar-benar harus membatalkan rencananya untuk bermalas-malasan dirumah hari ini.

Selang beberapa menit, Levin keluar dari kamar mandi dengan handuk yang terikat menutupi pinggangnya. Levin bergerak menuju ke lemari disamping tempat tidur, lalu mengambil sepotong celana santai selutut dengan kaos putih polos. Setelah selesai dengan kegiataannya, Levin bergerak keluar dari dalam kamar berniat untuk melihat Leanna-ibunya.

Levin mendorong pelan pintu kamar Leanna. Levin mengerutkan dahinya ketika ia tak menemukan Leanna disana. Levin berbalik lalu menutup pintu, kemudian bergegas menuju ke ruang tamu, dan Levin mengerutkan dahinya kembali ketika tak mendapati Leanna disana.

Levin bergegas menuju ke halaman depan rumah, kebetulan sekali ada Pak Hadrian si tukang kebun yang sudah cukup lama bekerja dirumah ini.

Levin menghampiri Pak Hadrian, "Pagi pak, apa bapak lihat mama nggak?"

"Mas sudah cek di kamarnya ibu?" Hadrian meletakan guntingnya di bawah, lalu bertanya tanpa menjawab pertanyaan Levin

"Sudah Pak, tapi nggak ada." Levin menatap Hadrian dengan datar, "Di ruang tamu juga nggak ada," Lanjutnya.

"Mas sudah cek di kebun bunganya ibu belum?"

Levin teringat kebun bunga yang menjadi tempat favorite ibunya, Levin menggeleng singkat kemudian menjawab Hadrian, "Belum."

"Sepertinya ibu berada disitu mas." Hadrian tersenyum tipis pada Levin.

"Terima kasih, Pak." Levin berbalik.

"Ibu kelihatan kesepian sekali mas," Langkah Levin terhenti ketika mendengar perkataan Hadrian. Levin membalikan badannya, lalu menatap Hadrian dengan heran.

"Dari yang saya lihat, ibu sangat kelihatan kesepian. Bahkan pengasuh yang mas pekerjakan disini pun tidak bisa membuat ibu nyaman." Melihat Levin yang tak kunjung merespon perkataannya, Hadrian kembali melanjutkan kata-katanya dengan kikuk. "Maaf mas kalau saya terlalu lancang, tapi kalau boleh saya sarankan, jika mas memang ada waktu luang mas mungkin bisa datang berkunjung untuk melihat ibu. Ibu pasti senang kalau mas menghabiskan banyak waktu dengannya."

Mendengar perkataan Hadrian, Levin mengangguk singkat lalu tersenyum tipis pada lelaki paruh baya itu, dan berlalu dari sana.

'Apakah benar Leanna senang jika Levin disini? Apakah Leanna bisa menganggap Levin ada?' Levin membatin

***

"Mama," Levin menatap Leanna yang sedang memotong duri-duri mawar merah miliknya. Leanna tidak menunjukan reaksi apapun, seperti bisu dan Levin memahaminya.

Levin bergerak menuju ke arah Leanna, lalu menunduk untuk menyamakan dirinya dengan Leanna yang sedang duduk. Leanna masih memperhatikan bunga mawarnya seakan-akan Levin tidak ada disitu, Levin tersenyum miris ketika menyadarinya.

Levin memperhatikan Leanna dari ujung rambut sampai ujung kaki. Disana, hampir di seluruh tubuh Leanna, banyak sekali bekas-bekas luka goresan yang entah darimana bekas itu berasal, Levin tidak tahu. Levin menyentuh luka-luka Leanna yang tampak nyata.

"Ma, maaf Levin jarang kesini." Levin memeluk Leanna, lalu mengecup tangan Leanna. Leanna masih tidak bergeming, seolah-olah tidak terjadi apapun saat ini.

Masih dengan posisi memeluk, Levin memejamkan matanya lalu berpikir tentang kesalahannya yang tidak sering berada di sisi Leanna. Levin menegang ketika pikirannya tertuju pada bekas luka Leanna, apakah bekas luka itu diakibatkan oleh perbuatan Leanna sendiri, ataukah asisten rumah tangga yang telah ketahuan mencuri itu yang membuatnya? Astaga! Sepertinya Levin harus segera membawa Leanna untuk melakukan visum, dan ketika dugaannya tentang asisten rumah tangga itu benar, maka Levin berjanji akan menuntut perempuan itu hingga ke ujung bumi.

Levin berdiri, kemudian mengecup dahi Leanna singkat dan beranjak dari kebun bunga ibunya itu. Hari ini, Levin akan berkunjung ke rumah Aletta sepupunya itu untuk mempercepat mencari pengganti asisten rumah tangga dirumahnya agar ada yang memperhatikan Leanna ketika ia tidak berada dirumah. Tetapi sepertinya Levin harus mencari Hadrian untuk menitipkan Leanna terlebih dahulu, karena Levin tidak mungkin meninggalkan Leanna sendirian, apalagi dengan kondisi Leanna yang seperti itu.

"Pak Hadrian," Levin berdiri tepat di belakang Hadrian yang sedang meletakan alat-alat pemangkas kebun ke dalam tasnya.

"Iya mas? Apa ada yang bisa saya bantu?"

"Pak, apa saya bisa minta tolong untuk mengawasi mama sebentar? Soalnya saya mau ke rumah Aletta, ada hal yang harus diselesaikan secepat mungkin. Dan saya nggak akan lama, pak."

Tanpa menunggu jawaban Hadrian, Levin sudah bergegas masuk ke dalam mobil dan melaju meninggalkan rumahnya.

——

To be continued❤️❤️

Thank you for reading!❤️❤️❤️