Welcome to part 2.
Happy Reading!
Levin mendesah malas lalu membuka pintu mobilnya. Tidurnya harus terganggu karena Revan yang tiba-tiba saja meminta Levin untuk datang ke kampus, dengan alasan mendiskusikan masalah hidupnya.
Levin menatap keluar dari dalam mobil. Levin tersenyum ketika pandangannya terpaku pada sosok gadis yang ditunggunya dari tadi, Agatha Emmalyn.
Agatha adalah gadis separuh Rusia dengan bola mata hazel terang dan kulit putih cerah. Cukup menarik, bagi Levin. Agatha bertemu dengan Levin ketika pertama kali masuk semester pertama di universitas ini, bersama dengan yang lainnya. Awalnya hubungan mereka baik-baik saja, tipikal hubungan pertemanan pada umumnya. Levin mengenal mereka semua dari Alette yang notabenya adalah sepupu Levin. Mereka semua dekat, sangat dekat hingga ketika tepat setelah libur semester di semester tiga, Levin merasakan yang berbeda pada Agatha, dan begitupun Agatha, sehingga terjadilah hubungan mereka seperti sekarang ini. Agatha dan Levin tidak memutuskan untuk berpacaran, hanya berkomitmen. Walaupun hubungan mereka sudah terlampau jauh dan nekat.
Levin bergerak membuka pintu mobil di sebelahnya. Siang ini, Agatha memang meminta Levin untuk mengantarkan Agatha pulang ke apartement-nya.
BRAK
"Lama, ya?" Agatha menutup pintu mobil, lalu duduk di sebelah Levin.
"Nggak kok." Levin mengedipkan sebelah matanya pada Agatha. Levin memutar kunci mobil dan menyalakan kontak, lalu mulai menjalankan mobil.
"Bosen juga tinggal sendiri ternyata." Agatha tertawa kecil
"Kenapa gak balik pulang ke rumah mama sama papa kamu aja?" Levin merilik Agatha sebentar.
"Pulang?" Agatha tertawa menatap Levin, "Kamu yakin mau aku pulang?" Agatha menaikan sebelah alisnya, "Then we won't be free anymore." Agatha mengedipkan sebelah matanya pada Levin, lalu tertawa.
"Aku bisa panjat ke jendela kamu kalau malem, it's ok." Levin membalas Agatha dengan mengedipkan matanya dua kali. Agatha membalasnya dengan senyuman kecil, "Kalau aku balik rumah, kita bisa tetap free kok. Mami sama papi juga gak sering dirumah and maybe they don't want to stay at home anymore."
Agatha berbalik menatap Levin serius. "Tapi aku tetep aja nggak mau pindah. Rumah itu banyak kenangannya. Aku bisa sesak napas kalau dirumah itu terus."
"Kalau ada aku, masih sesak napas nggak nih?" Levin melirik Agatha dengan tatapan menggodanya.
"Apa sih, gak nyambung banget." Agatha tertawa lalu memukul bahu Levin pelan.
***
Mobil Levin sudah memasuki parkiran apartment Agatha, "Mau di antar ke atas?" Levin menatap Agatha sebentar.
"Mau mampir?" Agatha membalas Levin dengan tatapan menggodanya. Levin tertawa keras lalu mengedipkan sebelah matanya pada Agatha, "Kalau memang dikasih kesempatan, kenapa enggak?" Levin membuka pintu mobil, diikuti dengan Agatha.
Apartement Agatha terletak di pusat kota dengan lokasi strategis, dan bukan termasuk apartement murah tentunya. Agatha mengeluarkan acces card untuk membuka pintu apartment-nya. Apartement Agatha bukanlah apartement kecil. Apartement ini bisa dikatakan cukup besar kalau untuk ditempati seorang diri. Levin suka dengan suasana disini. Agatha pandai sekali mengatur apartement-nya.
Agatha masuk ke dalam apartement diikuti Levin di belakang. Levin berjalan ke ujung ruangan lalu menghempaskan badannya pada sofa di ujung ruangan itu. Sofa yang posisinya tepat berhadapan dengan suasana kota, selalu menjadi tempat favorite Levin ketika berkunjung ke apartement Agatha.
"Kayaknya di kulkas cuma ada soft drink, deh. Soalnya aku belum sempat belanja bulanan. Kamu mau?" Agatha melemparkan tas kecilnya pada Levin,
"Boleh, aku satu."
Agatha berjalan ke arah dapur lalu mengambil dua kaleng soft drink. Agatha kembali duduk disamping Levin dan memberikan satu kaleng soft drink pada Levin.
"Gimana keadaan dirumah?" Agatha menatap Levin.
"Masih kayak biasanya. Biarin aja kayak gitu terus. Papa mau dinasehatin sampai kayak gimana juga gak akan berubah." Levin tersenyum miring menatap Agatha.
"Terus mama kamu?"
"Masih kayak biasa juga." Levin tersenyum tipis mendengar pertanyaan Agatha yang mengingatkan Levin pada mama-nya dirumah. "Aku heran sih sama mama," Levin menatap Agatha dengan tatapan heran.
"Apa sih natap-natap kayak gitu." Agatha mengusap wajah Levin yang membuat Levin tertawa kecil.
"Aku lagi heran lho ini," Levin mendongakan kepalanya ke atas, "Apa perempuan selalu seperti itu? Mama sudah tau papa selingkuh berulang-ulang kali. Bahkan mama pernah tangkap basah papa. Tapi tetap aja, mama nggak mau ninggalin papa." Levin menatap
Agatha lekat-lekat. Agatha memutar bola matanya, lalu menatap Levin. "Ya namanya juga perempuan, Vin. Gak ada yang salah dari mama kamu." Agatha meletakan kaleng soft drink ke atas meja. "Mungkin aku juga akan kayak mama kamu, kalau kamu berpaling." Agatha mengedipkan sebelah matanya pada Levin, yang dibalas dengan tawa kecil oleh Levin. Levin bukan pria bodoh yang tidak mengerti bahwa apa yang Agatha katakan tadi adalah sebuah kode, namun Levin malas membahas hal-hal yang menjurus pada komitmen suatu hubungan. Levin selalu berpikir bahwa ia masih terlalu muda untuk berkomitmen dengan satu perempuan.
"Sudah nggak usah terlalu stres, mama kamu pasti baik-baik saja kok. Sekarang fokus aja sama psikiater yang menanggani mama kamu."
"Iya-iya." Levin menanggapi Agatha dengan malas. Selalu saja solusi seperti itu yang diberikan Agatha, dan itu sama sekali tidak bekerja pada mama-nya. Levin bahkan sudah mencari psikiater terbaik, tetapi hasilnya masih saja nihil.
Levin terlonjak kaget ketika Agatha tiba-tiba saja naik ke pangkuannya, tetapi dengan cepat Levin menyembunyikan keterkejutannya itu. "Harus aku tanya lagi, apa tujuan kamu kesini?" Agatha mengedipkan matanya menggoda ke arah Levin. Dengan cepat Levin menyapukan bibirnya ke arah Agatha, lalu merapatkan tubuh mereka. Dalam satu hentakan, Levin membalikan posisi mereka, dengan Agatha yang sekarang berada di bawah tindihannya.
Hari masih siang, dan ruang tamu ini sudah menjadi saksi bagaimana Agatha mengerang dibawah sentuhan Levin.
***
Setelah percintaan panas di apartement Agatha, Levin mendapat sebuah pesan dari Aletta yang menyuruhnya untuk segera datang ke kafe di dekat kampus. Levin tentu saja akan menolak untuk menemui Aletta-sepupunya yang menurut Levin sangat amburadul. Tetapi suatu kata yang dikirimkan Aletta membuat Levin menyeritkan dahinya heran. Aletta mengatakan ada hal yang penting, sedangkan selama ini Aletta tidak pernah menyisipkan kata penting ketika ingin mengajaknya bertemu. Dan Levin tahu, ini bukan hal yang biasa bagi Aletta.
Levin menatap Agatha yang masih memakai kemeja biru milik Levin, "Aletta mau ketemu, katanya penting."
"Tunggu sebentar, aku ambil baju kamu dulu di kamar." Agatha kemudian berlalu dari hadapan Levin. Levin memang sering menginap di apartement Agatha jika sudah terlalu larut untuk pulang, jadi Levin meninggalkan beberapa bajunya disini untuk berjaga-jaga.
"Ini," Agatha menyerahkan kaus berwarna dark brown ke arah Levin, "Nanti kamu pulangnya kesini lagi, atau mau pulang ke rumah?" Agatha menatap Levin yang sedang mengenakan pakaiannya.
"Aku kayaknya mau pulang ke rumah dulu. Mau liat mama." Levin mengacak-acak rambut Agatha, lalu mengambil dompetnya di atas meja. "Aku pergi ya. Pintu apartement jangan lupa dikunci."
"Siap bos." Agatha mengacungkan jempolnya ke arah Levin sebelum Levin menghilang dibalik pintu.
——
To be continued❤️❤️