"Apa? Kecewa? Saturnus kecewa sama Lea? Kenapa? Memangnya Lea lakukan apa sampai-sampai Saturnus kecewa sama Lea?" tanya Lea tak mengerti. Apa yang telah ia lakukan sampai-sampai Saturnus kecewa padanya? Perasaan dari tadi setelah menutup telepon Saturnus, Lea merasa tak melakukan kesalahan apapun. Tapi kenapa Saturnus tiba-tiba kecewa padanya?
"Kata lo, lo sempurna kan? Jadi gue pikir lo punya otak buat mikir kesalahan lo sendiri. Cukup Lea, lo pergi dari hadapan gue, atau gue yang pergi dari hadapan lo?" tanya Saturnus sarkartis. Ia benar-benar telah muak melihat wajah Lea. Lea sama sekali tak menyesali kesalahannya, bahkan Lea bertingkah seakan-akan tidak bersalah sama sekali. Menyebalkan sekali bukan?
Lea menggeleng pelan, Lea tak mau pergi. Lea membuka suara, "Lea gak mau pergi Saturnus. Lea gak bisa mikir, Lea gak punya otak. Anggap saja Lea gak punya otak. Lea mau Saturnus kasitahu Lea apa kesalahan Lea. Please Saturnus, Lea mohon, kali ini saja. Jangan buat Lea ngerasa jadi perempuan bodoh, Saturnus." pinta Lea pada Saturnus dengan tatapan memohon.
"Lo memang gak punya otak menurut gue. Dan lo memang perempuan bodoh. Sudah tahu gue gak suka, masih aja dipaksa buat suka. B.O.D.O.H!" ujar Saturnus penuh penekanan di akhir kalimatnya saat mengatakan kata 'bodoh' itu yang ditujukan pada Lea.
"Lea gak ada maksa Saturnus buat suka sama Lea." protes Lea tak terima. Kenyataannya memang benar seperti itu, ia tak ada memaksa Saturnus untuk menyukainya juga. Lea hanya berjuang agar Saturnus mau luluh padanya. Namun nyatanya tak bisa, sudah setahun lamanya ia menunggu dan mengejar Saturnus, namun tetap tak ada hasilnya sama sekali. Saturnus masih membekukan hatinya terhadap Lea.
"Tapi lo ngejar gue terus, gue risih. Lo ganggu gue tahu! Pergi Lea, pergi. Gue gak mau lihat wajah lo lagi. Berhenti deketin gue, berhenti kejar gue. Gue capek. Gue capek jadi bahan pembicaraan anak satu sekolah karena lo yang terus-terusan kejar-kejar gue." ucap Saturnus dengan nada melemah. Ia sungguh lelah bicara dengan orang sekeras kepala Lea. Lea sama sekali tak bisa diajak bicara. Lea selalu mementingkan apa yang ada di pikirannya. Lea selalu melakukan apa yang ia mau. Sampai kapan Lea akan bersikap kekanak-kanakan begitu terhadapnya? Dan apakah urusannya mengurus Lea? Bukankan dirinya bukan siapa-siapa Lea? Bukankah Lea sudah memiliki laki-laki lain yang bermesraan dengannya tadi? Apa haknya mengatur-atur Lea?
"Lea gak mau pergi sebelum Saturnus jelasin ke Lea apa salah Lea..." ucap Lea masih keras kepala dan keukeuh tak mau pergi dari hadapan Saturnus. Lea butuh penjelasan. Lea mau tahu apa salahnya. Namun ia tak tahu apa salahnya, hanya Saturnus yang bisa ia tanyai. Sekeras apapun Lea berpikir, tetap saja ia tak menemukan jawabannya.
"Fine. Gue yang pergi." terang Saturnus singkat. Dengan gerakan cepat Saturnus berlalu dari hadapan Lea tanpa memperdulikan Lea yang terus-terusan memanggil namanya. Ia sama sekali tak peduli pada Lea. Kepercayaan yang mulai tumbuh untuk Lea langsung menghilang begitu saja. Ia tak percaya Lea lagi. Lea sama saja dengan perempuan lain. Lea tak ada bedanya. Ternyata Lea pandai mempermainkan hati laki-laki, dan bodohnya laki-laki yang dipermainkan Lea itu adalah dirinya sendiri, seorang Saturnus Alexius Gyama.
Saturnus terus berjalan menuju ruang kelasnya tanpa melihat sekeliling, hingga tak sengaja ia menabrak bahu seseorang hingga seseorang itu terjatuh di depannya. Saturnus sadar ia yang salah. Dengan cepat ia berusaha menolong perempuan yang ditabraknya tadi. "Maaf gue gak sengaja nabrak lo, sini gue bantu berdiri." ucap Saturnus mengulurkan tangannya kebawah berharap perempuan itu mau menerima uluran tangannya dan bisa segera berdiri.
Namun nyatanya tidak. Perempuan itu masih tetap terduduk di bawah tanpa mau mendongak menatapnya atau menerima uluran tangannya. Tak ada respon dari perempuan itu. Saturnus merasa semakin tak enak hati. Apakah perempuan yang ditabraknya ini lututnya terluka? Atau ada bagian tubuh yang lain yang terluka? sehingga perempuan ini hanya diam karena menahan rasa sakitnya. Berbagai pertanyaan terngiang di kepalanya yang tak satupun bisa ia temukan jawabannya.
"Ada yang sakit ya? Ayo gue antar ke UKS. Gue obatin luka lo... Sebagai tanda permintaan maaf gue ke lo karena udah buat lo kesakitan." sambung Saturnus lagi dengan nada yang sedikit melembut. Tentu saja ia bersikap lembut, ia merasa bersalah dengan perempuan ini. Ia tak mai di cap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dan dingin. Walaupun nyatanya memang Saturnus adalah laki-laki yang dingin terhadap semua perempuan. Saturnus hanya tak mau membuka hatinya, termasuk pada Lea.
Tanda di duga-duga perempuan itu menggeleng pelan dan menyahut, "Tidak usah, terimakasih. Gue bisa sendiri." ucap perempuan itu pelan. Pelan tapi pasti perempuan itu mencoba untuk berdiri sendiri, awalnya bisa namun belum ada beberapa detik perempuan itu hampir terjatuh lagi, dengan sigap Saturnus menangkap tangannya, dan berkata, "Lo kesakitan kan? Sini gue bantu berjalan, gue anter ya ke UKS? Please jangan nolak." ucap Saturnus, ia melihat sekilas ke bawah, ia melihat kedua lutut perempuan itu berdarah. Ini semua salahnya. Ia yang harus bertanggung jawab mengobati perempuan ini hingga sembuh. Saturnus bisa kok jika hanya mengobati luka seperti ini saja.
Perempuan itu mengangguk kecil dan berkata, "Terimakasih... Sudah pedulikan gue." sahut perempuan itu tersenyum kecil menatap Saturnus.
Saturnus tertegun. Senyuman itu... Senyuman yang begitu tenang dan meneduhkan. Senyuman singkat yang terlihat sangat manis di matanya. Saturnus merasa ada getaran aneh di hatinya, ada apakah dengan dirinya? Kenapa ia merasa nyaman berada di dekat perempuan ini? Perempuan yang tak dikenalnya. Perempuan yang menggunakan seragam lain dari seragam yang ia gunakan. Apakah perempuan ini adalah murid baru di sekolahnya? Mungkin saja. Tapi tak seharusnya ia berpikiran ini dulu, ia harus segera menolong perempuan cantik di depannya ini agat tidak kesakitan lagi.
"Sama-sama... Ehm... Nama lo siapa?" tanya Saturnus ingin tahu. Saturnus benar-benar membantu perempuan ini untuk berjalan menuju UKS. Saturnus memapahnya secara perlahan. Namun perempuan ini terlihat kesusahan untuk berjalan, karena jalannya tersendat-sendat sedari tadi. Saturnus bingung harus bagaimana. Apakah ia harus menggendong perempuan ini sampai di UKS? Baginya sih tak masalah, tapi apakah perempuan ini tak keberatan jika digendong olehnya? Baiklah akan ia tanyakan.
Perempuan itu hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Saturnus. Ia tak menyebut siapa namanya. Ia hanya menatap Saturnus yang terus memperhatikannya sedari tadi. Rupanya laki-laki yang menolongnya ini adalah laki-laki yang baik.
"Lo mau gue gendong? Sepertinya lo terlalu kesusahan berjalan ya? Sini gue gendong aja ya? Lo naik aja ke punggung gue." ucap Saturnus menawarkan diri.
Perempuan itu tertegun sebentar. Baik sekali laki-laki ini benar-benar berniat menolongnya. Ia tersenyum kecil. Tentu saja ia mau, rasanya lututnya begitu perih, rasanya ia tak sanggup berjalan menuju UKS. "Memangnya gak apa-apa kalau gue naik ke punggung lo? Gue berat. Nanti lo keberatan karena gendong gue." sahut perempuan itu beralibi kecil. Tak enak langsung menerima, namun tak juga menolak, karena nyatanya ia benar-benar membutuhkan pertolongan saat ini.