Panas sekali dada ini, sesak.
Pikiranku hanya tenang dirimu, cukup.
Mungkin uang juga kupikirkan, sih.
Lero juga.
Ternyata, ini tentang kita semua.
•••
2028
-18 Agustus-
Sekitar jam 21.00, di rumah. Lero sudah tertidur pulas di ranjang miliknya. Gue dan Nyle masih terjaga, belum ingin tidur. Sebelumnya, setelah Lero tertidur pulas sekitar jam 20.00, gue membantu Nyle menyiapkan barang-barang untuk bekerja esok hari.
"Nyle?" Tanya gue.
"Iya, Dito?"
"Kamu, yakin, kan?"
"Mau bagaimana lagi, Dit. Ini sudah kewajiban bagiku."
"Tapi, Nyle. Lero pun masih butuh kamu sepertinya."
"Aku sudah menghubungi Bi Sumi, kok, Dit. Dia bisa sangat dipercaya untuk ngurus bayi kecil. Kamu tak masalah, kan, Dito?"
"Umm, iya, sih. Tapi, Nyle.."
"Kenapa, Dito?" Nyle menatap gue. Kami saling menatap, sama-sama saling ragu, takut, semua saling bercampur.
Gue mendekati Nyle, memeluk erat tubuhnya. Demikian Nyle, melakukan hal serupa. Air mata gue menetes, seakan ini adalah perpisahan paling berat yg akan menjadikan akhir dr pertemuan gue dan Nyle.
"Aku mencintaimu, Nyle. Amat sangat."
•••
2028
-22 Agustus-
Suasana dirumah berbeda sekali. Gue, Bi Sumi sedang khawatir dengan kondisi Nyle disana.
"Dito, yang dirumah Bibi dan grup keluarga banyak yang menanyakan kondisi Nyle," kata Bi Sumi memberitahu gue. Gue kala itu sedang duduk di meja makan.
"Iya, Bi. Ini ayah Nyle juga sedang menanyakan ke Dito, Bi. Minta doanya saja, ya, Bi untuk Nyle."
Ayah Nyle, yang masih di Jerman tidak bisa kembali ke Indonesia karena virus ini berbahaya sekali. Lajur transportasi udara semua ditutup. Akses transportasi darat dibatasi sekali, kebanyakan yang diperbolehkan hanya milik pribadi saja.
Urti-28 mengalahkan virus sebelumnya yang datang pada 2027. Ayah Nyle pernah menjelaskan perihal virus yang menyerang Indonesia. Beliau bilang, itu bukan hanya karena alam yang semakin menua, tapi juga karena perilaku manusia.
Dari seluruh negara yang ada di dunia, hanya Indonesia saja yang terkena dampak paling parah. Karena WHO melihat pengalaman sebelumnya terkait virus yang terjadi di Indonesia, dengan kesepakatan negara-negara di dunia, hanya Indonesia yang di isolasi dan tidak boleh ada satupun yang masuk ataupun keluar.
•••
2028
-22 Agustus-
Kerjaan ngurus komik dan bebagai bisnis gue stop dulu untuk beberapa saat. Gue gak bisa nge handle dan memang hati juga kepala sedang tidak tenang menunggu kabar Nyle.
Sejujurnya, gue gak sanggup untuk melihat berita. Karena itu semua hanya membuat kepanikan gue tambah parah. Bi Sumi mencoba meyakinkan gue untuk tetap bersama melihat semua perkembangan yang ada diluar sana lewat televisi.
"Dito, apa gak ada gitu, yang bisa dihubungi selain ke Nyle nya langsung," tanya Bi Sumi. Benar juga ide beliau.
"Oh, iya, Bi. Benar juga. Tapi, apa gak mengganggu, gitu, ya, Bi?"
"Dito tanyakan dengan baik-baik saja. Jangan terlihat panik."
"Iya, Bi," jawab gue. Tidak lama dari itu gue langsung menghubungi pak Tonny dengan pesan yang sangat sopan sekali.
"Belum ada tanda terkirim, Bi," jelas gue.
"Tunggu saja, ya, Dito."
•••
2028
-23 Agustus-
"Aneh, mengapa pemilik rumah sakit lama membalas pesan ya," gumam gue. Karena memang kemarin beliau yang menjamin keamanan Nyle, jadi manamungkin beliau lupa dengan gue. Apa jangan-jangan, ada yang terjadi dengan Nyle! Tapi, bisa jadi juga beliau sedang sibuk.
Jam 4 sore, gue memutuskan untuk pergi sendiri ke rumah sakit untuk melihat situasi yang sedang terjadi. Bi Sumi sempat membujuk gue agar tetap sabar. Namun, gue menaruh rasa panik dan gelisah yang amat sangat besar.
Hal yang membulatkan tekad gue pergi ke rumah sakit karena berita di televisi menyajikan berita yang semakin parah. Mau gak mau, gue harus turun langsung melihat keadaan.
Dengan protokol dan alat pelindung diri yang sudah gue siapkan, gue bergegas untuk pergi dengan mobil mercy hitam milik gue. Sebelum berangkat pun mobil ini telah gue steril terlebih dahulu agar tidak terjadi apa-apa.
Diperjalanan, tidak ada seorang pun diluar, semuanya lowong. Pertokoan, sekolahan, hingga rumah ibadah semuanya sepi tidak ada satupun orang yang ada diluar. Hanya gue sendiri sekarang.
"Mungkin yang lain sedang ketakutan," pikir gue dalam hati. Gue tetap melanjutkan perjalanan.
Kala itu gue menyusuri jalan Soekarno-Hatta di Bandung. Dari jauh, ketika semakin dekat dengan rumah sakit, terlihat beberapa forbidden dan orang-orang yang memakai seragam tentara. Semakin gue mendekat, semakin orang-orang berseragam tentara itu siap siaga dengan kedatangan gue.
Setelah cukup mendekat, gue melihat ternyata itu alat pelindung diri dengan ditambah motif tentara. Mungkin, hanya untuk menandakan.
"Selamat sore-" Kata gue, sambil membuka jendela mobil.
"BERHENTI! JANGAN BUKA KACANYA!" Seru salah satu tentara.
Karena kaget, gue langsung saja menutupnya kembali.
"MATIKAN AC! MATIKAN AC," seru nya sekali lagi. Tidak pikir panjang, gue mematuhinya sekali lagi.
"Baik pak sudah," teriak gue dari dalam mobil.
"APA? SUARA ANDA TIDAK TERDENGAR," teriak salah satu tentara. Di kanan mobil gue ada 2 tentara yang berdiri.
"Repot sekali berbicara kalau begini", pikir gue. "AC NYA SUDAH DIMATIKAN, PAK," kata gue, sambil teriak.
Mereka berdua saling bertatapan lalu mengangguk satu sama lain. Lalu, salah satu di antara mereka membuka handphone dan memperlihatkan sebuah barcode ke gue. Mereka menunjuk-nunjuj handphone agar gue mengscan barcode yang mereka berikan. Gue menangguk mengiyakan, langsung mengerti.
Setelah selesai mengscan, barcode itu langsung membuat handphone gue menuju ke sebuah aplikasi. Handphone gue berdering, sepertinya ini telpon dari tentara yang memegang handphone.
'Halo, selamat sore, Pak,' ucap gue dengan nada sopan.
'Halo selamat sore. Anda dengan siapa barangkali?' Tanya tentara itu.
'Nama saya Ditofarnus, Pak.'
'Boleh diperlihatkan SIM, KTP, dan STNK nya pak? Tapi anda jangan membuka jendela mobilnya. Cukup dengan perlihatkan dari dalam.'
'Baik pak.' Gue mengambil ke tiga barang itu dan memperlihatkannya. Tentara yang tidak memegang handphone memeriksa dengan cukup detail, tidak seperti bila hari biasa.
'Baik, semuanya sudah sesuai. Selanjutnya, apa tujuan anda datang kemari Pak Dito?' Tanya tentara yang memegang handphone.
'Begini, Pak. Tujuan saya kemari hanya ingin memastikan.'
'Memastikan apa, ya, pak?'
'Oiya, Pak, saya belum beres berbicara.'
'Baik, mohon maaf. Silahlan melanjutkan.'
'Terimakasih, Pak. Jadi, saya ingin memastikan istri saya baik-baik saja di dalam rumah sakit. Karena berita di televisi menyiarkan yang parah-parah, saya hanya ingin memastikan datang kemari.'
'Mohon maaf, tapi, anda tidak bisa masuk kedalam pak Dito. Semua lingkungan rumah sakit steril dari mulai pos penjangaan 1 ini.'
'Tidak apa-apa pak. Tapi, kelihatannya semua disini normal-normal saja, ya, pak?'
'Karena memang dari para ilmuan yang datang, semua tempat disini steril dan tak boleh ada yang berkunjung lagi hingga para ilmuan pergi. Mereka adalah jantung kita.'
'Tapi, Pak. Apakah anda tau pemilik rumah sakit ini?' Tanya gue.
'Maksud anda, Pak Tonny?'
'Benar.'
'Pak Tonny pun menjadi korban terpapar virus. Tubuhnya terinfeksi karena garukan yang dahsyat hingga akhirnya dia meninggal 1 hari yang lalu.'
Gue terdiam. Tentara diluar hanya melihat keheranan.
•••