Kemarin selepas pulang dari cafenya kak Genta aku masih belum mendapat jawaban apa-apa tentang kakaknya Sherlin. Kak Genta benar-benar tertutup banget bahkan sama keluarganya sendiri. Tapi setidaknya aku berharap kak Genta bisa sedikit terbuka kalau sama aku. Dan ternyata sama saja. Kak Genta bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
Aku bingung dengan masalah yang terjadi di keluargaku. Kapan aku bisa memiliki keluarga yang hangat? Selalu ada papa dan mama yang setiap saat bisa mendengar keluh curhatku, ada kakak yang selalu bisa membuatku tertawa. Kapan semua itu terjadi? Ah aku terlalu banyak bermimpi sepertinya.
"Kamu kenapa sih Dis? Dari tadi kayaknya kamu gak fokus gitu?" Fara membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arahnya.
"Gak fokus? Masa sih?" tanyaku balik. Tadi memang aku sempat memikirkan soal kak Genta. Tidak tahu kenapa perasaanku terasa mengganjal tapi entah apa.
"Pas pelajaran fisika tadi kamu kayak gak fokus dengerin pelajaran Dis, tadi aja pas Bu Oktav tanya, kamu kayak bingung gitu, kamu lagi mikirin apa sih?" Aku diam sejenak. Ah ternyata tadi aku tidak sengaja melamun! Dan Fara memperhatikannya.
"Cerita aja Dis sama aku, kamu punya masalah?" tanya Fara lagi.
"Emm enggak juga sih, cuma... aku...." Aku berhenti sebentar, agak ragu menceritakannya. Karena tidak terlalu penting juga sebenarnya, mungkin aku aja yang terlalu berlebihan.
"Apa Dis?"
Baiklah aku akan cerita ke Fara.
"Bukan apa-apa sih Ra, aku cuma ke inget sama perempuan yang waktu itu di kantin. Aku khawatir aja kak Genta ada masalah atau gimana. Tapi kemarin aku tanya ke kak Genta katanya hanya masalah spele," tukasku.
"Cewek yang kemarin marah-marah sama kamu?" tanya Fara yang aku angguki.
"Gak usah dipikirin kali Dis! Mungkin dia lagi PMS, makanya marah-marah gitu. Lagian kekanakan banget kalau sampek masalah kakaknya di urusin sampai segitunya. Lagian itu kan urusan kakak kamu sama kakaknya dia. Dianya aja yang lebay Dis, sok-sok an ikut campur sama masalah kakaknya. Udah gak usah mikirin yang begituan, toh kakak kamu juga bilang gak ada apa-apa kan? Cuma masalah spele? Lagian kakak kamu sudah dewasa Dis, pasti dia bisa mengatasi masalahnya sendiri."
Fara berbicara panjang lebar dan aku mendengarkan setiap kata yang diucapkannya. Benar kata Fara, aku tidak perlu ikut campur soal masalahnya kak Genta. Dan belum tentu juga aku bisa membantu kak Genta. Dia yang lebih tahu cara mengatasi masalahnya sendiri. Fara memang sahabat terbaik. Entah mengapa Fara selalu bisa membuatku tenang dan bahagia.
"Kamu benar Ra, kak Genta pasti bisa mengatasi masalahnya sendiri tanpa harus aku ikut campur." Fara tersenyum kepadaku. Aku memegang tangan Fara.
"Makasih Ra, kata-kata kamu buat aku jadi tenang," ucapku tulus.
Fara terkekeh. "Kata orang gak ada kata minta maaf ataupun terimakasih dalam persahabatan, tapi, ya aku tetap akan bilang sama-sama ke kamu. Kamu harus selalu terbuka sama aku ya Dis, jangan dipendam sendiri kalau lagi ada masalah. Kalau aku tidak bisa menghilangkan masalah kami setidaknya aku bisa menjadi tempat kamu cerita Dis, aku siap kapanpun kamu butuh." Fara tersenyum tulus kepadaku. Entah kenapa kata-kata Fara terasa sekali dihatiku. Jarang-jarang Fara berbicara hal-hal mellow seperti ini. Tapi aku tetap senang dan mengangguk menanggapi Fara.
"Kamu juga Ra, bisa cerita apapun ke aku, jangan ada yang ditutup-tutupi ok!" balasku kemudian. Aku melihat Fara sempat terdiam sebentar. Ada perbedaan pada raut wajahnya setelah aku mengatakan itu.
"Kenapa Ra? Jangan-jangan kamu menutupi sesuatu dariku ya?" selidikku dengan candaan.
"Hah? Ma-mana mungkin aku menutupi sesuatu Dis, lagian hal apa yang bisa aku tutupi dari kamu?" ujarnya sambil terkekeh. Tapi nada bicara Fara terkesan sedikit canggung dan gugup. Tapi aku memilih tersenyum dan mengangguk, mencoba percaya dengan ucapan Fara.
***
Sepulang sekolah aku, Fara dan Gerald berniat mengerjakan power point untuk lomba. Proyek ini harus diselesikan segera mungkin sebelum deadline nya tiba. Dan berakhirlah kami di perpustakaan sekolah.
"Jadi gimana Ge?" tanya Fara.
"Kita uraikan setiap bab yang kita tulis di karya ilmiah kita terus kita buat pendekatan yang sekiranya cocok dengan tema yang kita angkat. So, tinggal kita mulai aja buat power point-nya," ujar Gerald.
Laptop milik Gerald sudah terbuka sedari tadi. Kita sama-sama melihat dan mempelajari lagi karya tulis yang kita buat sebelum akhirnya membuat power point-nya.
"Dis! Kamu bisa kan mengumpulkan point-point pentingnya? Biar lebih mudah dan lebih singkat buat dijadiin power point," tanya Gerald. Aku menganggukkan kepala menanggapinya.
"Tapi bisa minta tolong kirim file nya ke aku ya Ge, biar aku pelajari lagi di rumah," tukasku. Gerald mengerutkan keningnya.
"File yang aku kirim waktu itu ke hapus Dis?"
"Enggak sih, cuma aku lupa mengcopy ke laptop jadinya sekarang aku gak tahu masih ada atau enggak, ponselku rusak soalnya."
"Ohh gitu, yaudah nanti aku kirim ke kamu."
"Kirimnya lewat email aja ya Ge," pintaku. Gerald mengangguk mengiyakan.
"Ok, berarti sekarang tinggal nunggu rangkuman point-point dari Disha kan ya, udah sore juga nih kita pulang yuk!" ajak Fara. Aku dan Gerald setuju dengannya. Fara juga katanya tidak boleh pulang malam-malam oleh orang tuanya. Jadilah kita harus mengakhiri diskusinya sekarang. Dan aku punya tugas tambahan untuk merangkum setiap point pentingnya.
***
"Ponsel kamu rusak gara-gara kemarin Dis? Yang nyemplung di kuah bakso itu?" tanya Fara saat kita berjalan beriringan keluar sekolah. Gerald sudah pulang lebih dulu dari kami.
"Emm," gumamku mengiyakan.
"Emang beneran rusak? Cuma gara-gara nyemplung ke kuah bakso masa bisa langsung rusak gitu Dis?" tanya Fara heran. Jangankan Fara aku sendiri tidak mengerti tapi itulah nyatanya. Dave yang bilang begitu kemarin.
"Gak tahu Ra, kata Dave sih rusak tapi aku gak tahu juga. Aku juga heran sih masa bisa langsung rusak gitu aja, tapi mungkin karna emang udah lama banget kali makanya bisa rusak gitu." Fara manggut-manggut mendengarku.
Tiinnnn!
Terdengar suara klakson mobil dibunyikan. Papanya Fara melambaikan tangan dari dalam mobil.
"Papaku sudah jemput, aku pulang dulu ya Dis," pamit Fara.
"Oh iya, kamu pulangnya naik apa Dis? Gimana kalau bareng aku aja nanti kamu aku anter sampai rumah," pekik Fara berbalik ke arahku.
"Enggak usah deh Ra, rumahku kan lebih jauh dari rumah kamu Ra, masa iya nanti harus bolak-balik. Aku gampang bisa naik angkot atau bis nanti. Kamu pulang gih udah ditungguin tuh!"
"Kamu yakin? Gapapa Dis entar aku bilang ke Papa biar dianterin pulang, pasti papa mau kok, ayoo!" ajaknya lagi dengan menarik tanganku.
"Enggak Ra, aku pulang sendiri aja, udah kamu pergi gih! Kasian papa kamu udah nungguin dari tadi kayaknya." Aku mendorong Fara agar dia cepat pulang. Aku tidak ingin merepotkan papanya Fara. Dengan sedikit perdebatan akhirnya Fara mau pulang juga tanpa aku. Bukannya aku tidak mau, tapi tidak enak kalau melihat papanya Fara harus bolak-balik demi hanya mengantarku pulang. Lagian sepertinya papanya Fara habis dari pulang kerja. Pasti letih banget.
Dan sekarang aku harus sedikit berjalan ke halte bis dekat sekolah. Angkot jam segini jarang ada yang lewat. Semoga saja aku tidak ketinggalan bis, kalau tidak terpaksa aku harus menunggu jadwal bis selanjutnya. Itu artinya bisa sampai malam nanti.
Aku menghela napas gusar. Apa sekarang aku menyesal menolak tawaran Fara?