Chereads / Setitik Cahaya / Chapter 44 - 44 Kesedihan Adisha

Chapter 44 - 44 Kesedihan Adisha

Hari ini pak Zen memanggilku dan Gerald ke ruangannya. Mungkin ingin membahas tentang lomba. Hari ini pun Fara tidak masuk sekolah. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Fara? Kenapa dia sering sekali tidak masuk akhir-akhir ini? Apalagi lomba akan di laksanakan beberapa hari lagi.

"Bapak memanggil kalian kesini mau membahas soal lomba karya ilmiah. Beberapa hari ini Fara tidak masuk sekolah dan bapak khawatir kemungkinan dia tidak bisa ikut," jelas Pak Zen. Apa maksud pak Zen? Aku benar-benar tidak mengerti.

"Maksud bapak?" tanyaku ingin memastikan kejelasannya.

"Maksud bapak, Fara tidak jadi ikut lomba pak?" sahut Gerald yang membuatku menoleh. Bagaimana bisa Fara tidak ikut lomba?

"Iya Adisha, Gerald, Bapak sangat menyesalkan hal ini. Kemungkinan besar Fara tidak bisa ikut bersama kalian. Dan kalian berdua harus mempresentasikan karya tulis kalian tanpa Fara."

"Tapi kenapa Fara tidak ikut Pak?" tanyaku lagi.

"Seperti yang kalian tahu kalau beberapa hari ini Fara tidak masuk sekolah dan pagi ini orang tuanya meminta ijin akan pergi keluar negeri karna suatu alasan. Bapak tahu ini mendadak buat kalian tapi tidak ada pilihan lain lagi, bapak juga sudah mengkonfirmasi ke pihak manajemen lomba kalau pesertanya akan berkurang satu, dan beruntung kalian masih bisa ikut lomba meskipun tanpa Fara, tapi-" Pak Zen menjeda ucapannya. Aku benar-benar tidak percaya dengan ucapan pak Zen barusan. Kenapa Fara tiba-tiba pergi ke luar negeri? Bahkan tanpa memberi tahu ku terlebih dahulu.

"Tapi apa pak?" tanya Gerald.

"Tapi dengan konsekuensi pengurangan nilai, jadi bapak harap kalian tidak berkecil hati dan tetap berusaha semampu yang kalian bisa, dikarenakan keterbatasan yang ada jadi pihak sekolah tidak menuntut kalian untuk menjadi juara, yang terpenting usaha kalian yang mau maju itu sudah sangat membanggakan nama sekolah. Bapak hanya bisa mendoakan semoga tidak ada hambatan tertentu saat lomba nanti."

Setelah bincang-bincang selesai kami berdua keluar dari ruangan pak Zen.

"Bagaimana Disha?"

"Hah? Iya?" Aku tidak mendengar jelas suara Gerald. Pikiranku saat ini dipenuhi rasa penasaran tentang Fara. Pak Zen juga tidak mau memberitahu alasan yang sebenarnya tentang kepergian Fara yang mendadak ini.

"Kita harus mengatur ulang strategi kita Disha mengingat Fara punya banyak bagian dalam presentasi ini."

"Iya Ge," jawabku singkat.

"Kamu kenapa Disha?"

"Kamu khawatir soal lomba atau soal Fara?" ujar Gerald. Aku benar-benar tidak tahu dan bingung harus melakukan apa. Di satu sisi aku khawatir tidak bisa mengikuti perlombaan dengan baik dan disisi lain aku memikirkan Fara. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul dibenakku tapi tidak ada yang mau menjawab satupun pertanyaannku.

"Maaf Ge, aku malah melamun. Bisakah kita bahas soal lomba nanti saja sepulang sekolah?"

"Iya Dis gak masalah kok, kita bahas tentang lomba nanti saja sepulang sekolah, aku tunggu ditempat biasa ya Dis," ujar Gerald yang aku angguki.

"Oh ya Dis, jangan dijadikan beban pikiran ya, santai aja kamu gak perlu terlalu khawatir semuanya pasti baik-baik saja," sambung Gerald sambil menepuk pundakku kemudian berlalu pergi.

Sekarang aku harus menemui Dave, dia pasti tahu sesuatu tentang Fara. Apa dia juga tahu tentang kepergian Fara hari ini?

Aku berlari sepanjang koridor kemudian menuju kelas, berharap Dave ada disana. Namun setelah kulihat kelas tampak kosong tak ada siapapun disana. Lalu aku pergi ke kantin, kepalaku celingukan mencari Dave. Tapi lagi-lagi nihil Dave tidak ada disana juga. Akhirnya aku mencari hampir ke seluruh sekolah tapi tidak mendapati Dave dimanapun. Yang terakhir adalah gedung olahraga mungkin Dave ada disana. Dengan penuh harapan aku mencari Dave dan saat tiba disana aku tidak menemukan siapapun selain Rio dan beberapa anak kelas lain yang aku tidak tahu namanya.

Sebenarnya Dave kemana? Kenapa dia tidak ada dimanapun. Apa mungkin Dave ikut mengantar Fara ke bandara? Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku lupa kalau ada hp untuk menelpon Dave. Saking cemasnya, aku jadi lupa untuk menghubungi Dave lewat hp. Saat akan keluar dari ruangan olah raga, suara Rio memanggilku.

"Dishaaaa!" Rio tampak berlari menghampiriku setelah pamit ke teman-temannya.

"Ngapain lo kesini? Perlu sesuatu atau lagi nyari seseorang?" tanya Rio saat sudah berada didepanku.

"Emm iya, sebenarnya... aku nyari Dave Yo."

"Ohh Dave ya, dia sih tadi bilang ke gue kalo mau pergi sebentar gitu."

"Pergi kemana?"

"Gak tahu gue, yang jelas dia lagi buru-buru Dis," jelas Rio. Apa Dave pergi ke bandara?

"Dave pergi ke bandara ya Yo?" tanyaku memastikan.

"Eh emm Dave sih bilangnya cuma ke suatu tempat Dis, dan katanya nanti bakal balik lagi kesekolah kok. Lo gak perlu khawatir."

"Ya udah deh Yo, aku pergi dulu."

Tanpa basa-basi lagi aku meninggalkan Rio berdiri disana. Sepertinya memang benar Dave pergi ke bandara untuk mengantar Fara. Tapi kenapa dia tidak memberitahuku dulu? Dan kenapa juga dia tidak mengajakku, bukannya aku ini juga sahabatnya Fara? Baiklah sudah kuputuskan akan menyusul mereka ke bandara. Semoga saja tidak terlambat. Aku hendak pergi ke gerbang depan namun lagi-lagi suara seseorang menahanku.

"Lo mau kemana?!" Rio tiba-tiba datang menarikku.

"Mau ke bandara," pekikku.

"Ngapain?"

"Kamu tahu kan kalau Fara mau pergi keluar negeri? Dan mungkin juga Dave sekarang sedang mengantar Fara Yo, aku tidak tahu apa alasan Fara pergi mendadak seperti ini apalagi tanpa memberitahuku dulu tapi setidaknya aku ingin melihat keberangkatan Fara." Air mataku rasanya tertahan untuk keluar. Sesak memenuhi rongga dadaku. Kenapa Fara tega tidak memberitahuku? Dan sampai berapa lama dia akan berada disana? Kenapa Fara meninggalkanku tanpa pamit terlebih dahulu?

"Buat apa Dis? Lagian Dave juga udah pergi sejak tadi, Kalaupun lo nyusul sudah pasti gak bakal sempat, lebih baik lo tunggu disini sampai Dave balik. Lagian sebentar lagi bel masuk, emangnya lo mau bolos?"

Aku memikirkan perkataan Rio. Benar juga kata Rio 5 menit lagi bel masuk akan berbunyi. Tapi tetap saja aku khawatir tidak bisa melihat Fara lagi setelah ini. Apa aku membuat kesalahan tanpa sengaja ke Fara, sampai saat dia pergi pun tidak menghubungiku.

Tiba-tiba cairan bening keluar dari bola mataku. Bagaimana aku bisa menjalani hari-hariku tanpa Fara? Fara itu sudah aku anggap layaknya saudara buatku. Ditinggal Fara seperti ini ada rasa sesak tersendiri dihatiku.

"Udah Dis gak usah nangis, palingan Fara pergi buat liburan doang, dia pasti gak lama kok disana. Lo tenang aja, habis ini Dave juga bakal balik, entar lo tanya deh ke dia sepuasnya." Aku sudah duduk dibangkuku karna bel masuk sudah berbunyi. Tapi guru yang bertugas meengajar tiba-tiba absen mendadak. Kami hanya diberi tugas mengerjakan soal yang ada dibuku paket. Kali ini aku benar-benar tidak bisa fokus untuk belajar. Air mataku tidak mau berhenti keluar. Berkali-kali aku sudah menghapus air mataku tapi tetap saja akan basah lagi dan lagi.

Aku juga tahu sejak tadi Rio berusaha menghiburku tapi entah kenapa itu tidak berhasil. Beberapa anak yang lain juga tampak penasaran dengan apa yang terjadi padaku. Kata Rio Dave akan datang sebentar lagi tapi sampai saat ini pun aku tidak melihatnya berada disini.

"Bentar ya Dis gue keluar dulu," pamit Rio entah kemana. Tidak mempedulikan Rio lagi, aku akhirnya menelungkupkan wajahku diatas meja. Tanpa kusuruh air mataku menetes membasahi buku yang tercecer diatas meja. Aku menangis dalam diam, pesan yang ku kirimkan ke Fara juga tidak ada balasan sama sekali. Mungkin karena masih dipesawat, dia jadi tidak bisa membalas pesanku. Dave juga sama tidak ada balasan apapun darinya. Perlahan mataku terpejam dan terasa semakin berat.

***

Aku merasakan tangan seseorang menggegamku. Sudah sejak kapan Dave berada disini? Dan sudah berapa lama aku tertidur?

"Lo udah bangun?" ujar Dave ala-ala bangun tidur. Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.

"Sejak kapan kamu ada disini Dave? Dan berapa lama aku tertidur?"

Tangan Dave terulur memegang bagian bawah mataku.

"Jangan sedih lagi kasihan mata lo sampai bengkak gitu." Spontan aku memegang mata yang habis dipegang oleh Dave. Apa bengkaknya kelihatan banget ya?

"Fara-" ucapanku tertahan. Entah kenapa lidahku menjadi kelu.

"Sstttt," Dave menempelkan telunjuknya dibibirku tidak membiarkanku melanjutkan ucapanku.

"Udah gak usah tanya hal yang aneh-aneh dulu Dis, sekarang lo harus pulang, lo gak liat tuh matahari udah hampir tenggelem? Yuk gue anter." Refleks aku menoleh ke jendela. Benar kata Dave matahari sudah hampir tenggelam. Jadi selama itu aku tertidur? Dan Dave menungguku disini?