"Aku bermimpi... Sesuatu yang indah pada awalnya.
Aku, kakakku, juga ibuku. Di sebuah taman yang dipenuhi bunga mawar putih kesukaanku, aku dan kakakku bermain kejar-kejaran. Itu ulah kakakku yang terus menggodaku dengan kelinci kesayangannya. Aku bukannya takut pada hewan berbulu putih itu, hanya saja rasanya geli. Aku terus berlarian menyusuri taman meski suara ibu terdengar memanggil-manggil agar kita kembali. Ibu sudah membawakan kue dan teh kesukaan kami, katanya.
Aku terus berlari sampai akhirnya terjatuh pada rerumputan hijau. Ada sedikit rasa ngilu di kedua lutut. Untung kakakku belum terlihat. Mungkin dia tak bisa mengejarku, pikirku.
Setelah itu... seseorang datang, membantuku berdiri.
Seorang pangeran yang sangat tampan dan berpakaian serba putih. Aku menerima uluran tangannya. Kedua tangan kami saling bertautan. Kami berjalan beriringan menyusuri sungai, menikmati indahnya pemandangan yang lebih dominan diisi bunga-bunga. Kami saling berpandangan dan tersenyum, hingga akhirnya pangeran itu mencium juga mencumbuku. Rasanya seperti ada kembang api di atas kami. Tapi kemudian kami harus berpisah.
Pangeran itu pergi sambil melambaikan tangannya padaku.
Aku pun akhirnya kembali ke taman. Aneh, aku tak menjumpai siapapun. Ku panggil-panggil nama ibu juga kakakku, tapi sama sekali tak ada sahutan dari mereka. Saat itulah muncul api yang mulai membakar kebun. Aku bingung. Tak tahu harus melakukan apa. Tahu-tahu diriku sudah terjebak dalam lautan api.
Aku berteriak, meraung meminta tolong. Mulai merasakan rasa panas di sekujur tubuhku. Dan di luar kobaran api aku melihat mereka...
Ibu juga kakakku yang menatap dengan pandangan sedih, raja dan ratu yang menatap tanpa ekspresi, para selir dan saudari tiriku yang terlihat bahagia, lalu terakhir... Pangeran itu. Dia juga menatapku tanpa ekspresi. Aku memanggilnya. Melambai-lambaikan tanganku untuk menarik perhatiannya. Namun kemudian ku lihat, wanita lain kini berada di sisinya. Menggenggam tangan juga memandang dia dengan senyuman."
Sungguh mimpi dengan akhir pilu.
Goo Eunbyul meremas dadanya. Mencoba mengurangi rasa sakit yang sejak tadi menyeruak, menimbulkan rasa ngilu di dada juga panas di pelupuk mata. Air matanya meleleh. Lututnya terasa lemas. Jatuh, terduduk di bebatuan tempatnya semula berpijak.
Di bawah sana... Iring-iringan rombongan yang diawali dengan barisan pembawa panji-panji juga bendera kerajaan BigHit. Lalu di ikuti pasukan berkuda dengan seorang kesatria berada di tengah-tengah barisan. Kesatria yang sebulan terakhir sangat Eunbyul rindukan kehadirannya. Pangeran dari kerajaan BigHit, Lee Taehyung, calon putra mahkota yang baru saja menyelesaikan tugas kerajaannya.
Tapi ada suatu hal yang membuat Eunbyul tak bisa meneriakkan namanya. Menjumpainya, memeluk, dan menciumnya seperti sebelumnya. Bahkan sekedar menampakkan diri.
Kemudian di belakang pasukan berkuda, ada pasukan pejalan kaki yang terdiri dari para pria dan wanita di belakangnya dengan pakaian yang berbeda warna. Pakaian mereka di dominasi warna putih, kontras dengan pakaian para prajurit BigHit yang didominasi warna hitam dan merah. Di tengah-tengah barisan terdapat kereta kencana yang ditarik sepasang kuda. Duduk seorang wanita cantik dengan senyum lebar, sesekali melambaikan tangannya pada orang-orang yang berbaris di pinggir jalan-- yang mereka lewati.
Baru akhirnya barisan ditutup dengan pasukan bersenjata dari kerajaan BigHit.
Lee Taehyung telah menghianatinya. Pria itu tak menetapi janjinya. Dia kembali dengan membawa seorang permaisuri. Dan itu bukan dirinya. Yang lebih menyakitkan, dirinya hanya bisa melihat dari kejauhan. Dari salah satu puncak pegunungan yang membatasi wilayah BigHit dengan sebuah wilayah bernama Aroha.
"Kau, gila? Sadarkan dirimu!" Seseorang menyentak lengan Eunbyul ketika-- wanita yang dipenuhi dengan perban di sekujur tubuh juga luka di wajahnya itu hampir saja menjatuhkan dirinya dari atas tebing.
Eunbyul melawan. Menangis meraung, melampiaskan semua kemarahannya.
"Sebenernya apa yang terjadi? Siapa mereka sampai kau nekat mendaki sendirian ke sini? Kau baru saja sadar, kalau kau lupa!" Sentak pria itu setelah menyeret Eunbyul ke tempat yang lebih aman.
Tubuh Eunbyul mendadak lemas meski masih merasakan kesadaran penuh. Baru sadar jika tubuhnya terasa remuk. Sakit semua. Namun air matanya tetap tak mau berhenti.
Membuat pria itu kembali berdecih sebelum akhirnya menaikkan tubuh Eunbyul ke punggung. Menggendong Eunbyul untuk kembali. "Dasar wanita asing yang gila," gerutunya.
Matahari telah menyelesaikan tugasnya. Digantikan bulan sabit yang mengintip malu-malu dari celah mendung. Malam di Aroha tidaklah terlalu dingin jika dibandingkan wilayah kakao meskipun angin darat kini sedang berhembus ke lautan lepas.
Aroha adalah nama sebuah wilayah di pesisir pantai timur. Dihuni sekelompok manusia yang menamai diri mereka Suku Aroha. Dikatakan sebuah kerajaan, bukan. Negara bagian, juga bukan. Intinya mereka adalah suku independent yang memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan kerajaan maupun negara lain. Maka dari itu, bisa dibilang suku ini adalah suku yang lumayan tertinggal dari peradaban. Dilihat dari pekerjaan yang mayoritas masih berburu dan bercocok tanam, juga peralatannya yang sederhana dan hampir semua serba manual. Menurut mitos, leluhur mereka bukanlah penduduk asli daratan taeso, melainkan suku dari daratan lain yang pindah dan menetap di pinggiran daratan taeso.
"Apa dia masih belum bangun? Sebenarnya ada apa denganmu, sih kak... Kalau kepala suku mengetahui keberadaan wanita itu. Bisa-bisa ke kena hukuman." Seorang pria yang lebih tinggi menasehati pada pria yang lain.
"Aku tahu, menolong seseorang itu adalah kebaikan. Tapi membawa pulang orang asing itu terlalau berbahaya. Terlebih kita tidak tahu apakah dia orang baik. Terlalu beresiko. Bagaimana kalau ternyata dia mata-mata?"
"Pikiranmu terlalu jauh, Moon Monbin! Kau terlalu banyak mendengar dongeng dari si pak tua itu." Pria tadi berkomentar atas ucapan sang adik tiri.
"Ya sudahlah, terserah kak Eunwoo saja. Pokoknya kalau ayah sampai tahu, aku tidak mau ikut campur. Aku pulang sekarang," pungkas pria bernama Monbin. Lalu memberikan rantang berisi makanan dan obat yang kakaknya minta. Setelahnya pergi dari gubuk tua itu.
"Kau sudah bangun?" Sapa Eunwoo pada wanita yang terbaring di atas ranjang. Sebenarnya tidak bisa dibilang ranjang juga sih, karena hanya terbuat dari dipan kayu yang dilapisi beberapa lembar kain. Wanita itu lalu mencoba duduk dan bersandar pada kepala dipan. Matanya mengawasi pergerakan pria yang kini tengah meletakkan rantang di atas meja, lalu membongkar isinya. Meneliti apakah isinya sesuai dengan yang dipesannya. Ya, pria itu adalah penyelamat sekaligus penolongnya. Jika tidak ada pria itu, mungkin dirinya benar-benar akan tinggal nama.
"Makan ini dulu, lalu ku ganti perbanmu!" Pria itu menyodorkan sepiring bubur dengan kuah di dalamnya.
Eunbyul tak langsung menerimanya. Katakanlah dia tak tahu terimakasih karena telah diberi makan dan diurus dengan baik. Tapi entahlah... rasanya aneh. Apalagi setelah mendengar percakapan pria itu dengan pria yang tadi.
"Kalau kau merasa tidak enak, segerah sembuh dan pergi dari sini. Itu lebih membantu daripada hanya berdiam diri dan selamanya terjebak di sini."
Eunbyul akhirnya menerima piring dari pria itu. Membuat si pria tersenyum sekilas. "Terimakasih," ucap Eunbyul.
Kemudian keheningan terjadi hingga Eunbyul selesai makan dan diobati pria tadi.
"Tidurlah... Aku akan berada di ruang depan. Kau bisa memanggilku kalau sewaktu-waktu butuh sesuatu." Pria itu bangkit.
"Terimakasih," ucap Eunbyul lagi dan menahan kepergian pria tadi. Yang hanya dibalas anggukan juga senyuman.
"Selamat malam," kata pria itu. Yang dibalas anggukan juga senyuman oleh Eunbyul.
Sampai saat ini... Eunbyul belum mengetahui identitas dari pria itu. Bahkan dirinya tak tahu persis sedang ada dimana. Yang ia ketahui hanya, bahwa dirinya tak sadar selama sepuluh hari setelah ditemukan pria itu di pinggir hutan-- dengan luka di wajah dan beberapa goresan juga lebam di tubuh. Hal pertama yang Eunbyul ingat adalah Lee Taehyung. Jika ini sudah sepuluh hari pasca tragedi yang dialaminya, berarti pria itu sudah menyelesaikan tugasnya. Lalu beberapa jam kemudian, dia tak sengaja mendengar percakapan pria penyelamatnya dengan seseorang. Yang bercerita bahwa di bawah sana sedang ada iring-iringan prajurit Mammamoo dan BigHit. Katanya, sekarang Mammamoo kembali masuk dalam kekuasaan wilayah kerjaan Bighit. Dan telah dilaksanakan pernikahan antara pangeran Bighit dan pemimpin dari Mammamoo.
Mendengar itu, Eunbyul pun nekat mengikuti si pria yang tadi bercerita-- karena katanya dia juga ingin pergi ke bukit untuk melihat mereka-- yang kini menjadi perbincangan hangat di sekitar wilayah itu. Dengan tubuh yang tergopoh-gopoh, Eunbyul mengabaikan semua rasa sakit yang melingkupi tubuh juga hatinya. Tidak! Dia tak boleh berfikiran negatid dulu tentang Lee Taehyung. Bisa saja kan, pangeran yang dimaksud menikah dengan pemimpin negara bagian itu, bukan Lee Taehyung. Sama halnya ketika Taehyung tak jadi bertunangan dengan Irene. Mungkin saja itu pangeran yang lain. Sayangnya, apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri berhianat atas keinginan hatinya.
Benar... Bahwa pangeran yang dimaksud adalah Lee Taehyung. Pria yang sangat-sangat dicintainya sekaligus dibencinya saat ini. Di saat dirinya sedang meregang nyawa, dia malah berbahagia-- menikahi wanita lain.
Sempat terlintas dalam pemikiran Eunbyul, mungkin mati lebih baik. Hidup sebagai orang yang sudah dianggap mati dan berada di lingkungan asing, terasa berat untuknya. Seperti sudah tak ada lagi alasan untuk dirinya hidup... Sebelum akhirnya dia kembali mendengar sebuah kenyataan pahit, yaitu saat tak sengaja mendengar percakapan antara Eunwoo-- pria penyelamatnya dengan Monbin-- yang sekarang ia ketahui adalah adik Eunwoo...
"Sampai kapan kau akan menampung wanita itu kak? Sudah hampir sebulan. Dan wanita itu sudah sehat sekarang."
"Dia tidak punya tempat tujuan, Monbin. Dia bahkan tak ingat dengan namanya sendiri." Eunwoo memberikan alasan kenapa masih membiarkan Eunbyul tinggal di gubuk sederhananya. Meski tak lagi tinggal bersama, sesekali Eunwoo masih datang menjenguk dan membawakan beberapa bahan makanan.
"Bagaimana kalau itu hanya akal-akalannya saja agar bisa tinggal gratis di sini? Dia pura-pura lupa ingatan, mungkin."
Eunbyul meneguk ludahnya dengan susah payah. Pria itu tepat sasaran. Salah satu alasan kenapa dirinya tak segera pergi adalah karena itu. Ya walaupun dirinya sudah beberapi kali melakukan percobaan bunuh diri, tapi pasti akan selalu berakhir dicegah oleh si pria penyelamat.
"Jaga bicaramu! Selama di sini, ku lihat dia wanita yang baik." Eunwoo masih saja membela.
Monbin berdecih keras. Membuat Eunbyul berbalik, lalu menghela napasnya. Baru sadar kalau mungkin seharusnya tak mencuri dengar begini.
"Wanita baik-baik mana sih yang hampir mati dalam keadaan keguguran."
Cibiran Monbin membuat Eunbyul berhenti melangkah. Bagai tersambar petir, jantungnya berdetak sangat keras. Napasnya memburu. Apa tadi dia bilang?
"Sshhh! Jangan bicara keras-keras, nanti dia dengar." Eunwoo memeringatkan. "Bukannya sudah ku bilang, jangan berprasangka buruk! Lagi pula, dia pasti akan sangat sedih kalau tahu bahwa calon bayinya telah meninggal."
"Apa!" Eunbyul bergabung dengan percakapan itu tanpa diundang. Membuat Eunwoo juga Monbin terkejut bukan main.
"Meninggal? Siapa yang meninggal?! Cepat katakan, siapa yang telah kehilangan siapa!"