Hidup Ini sungguh menyedihkan, tumbuh bertahun-tahun hanya untuk menyimpan luka. sudah 5 tahun di bekap ekspektasi ibukota. Rutinitasku saat ini adalah bekerja sebagai karyawan disalah satu bengkel kecil jauh dari rumahku. Perlu naik 2 perbehentian bus lalu harus melewati gang kecil yang jauh dari kata nyaman.
Rumahku? jangan pernah bertanya, sebagai pria berumur 26 tahun aku ini pecundang. segala haluku yang pernah ku pamerkan pada ibuku hanya angin yang berlalu. walaupun aku berusaha sampai diri ini sekarat, sampai nafas ini tercekat tetap tak bisa. tak bisa mengubah takdir orang yang sangat ku kasihi sudah pergi. Aku tinggal di sebuah lingkungan kumuh yang padat penduduk tiap pagi selalu ada alarm alami yang siap membangunkanku tanpa ku pasang alarm lewat ponsel usangku. Pedagang asongan yang tiap pagi berangkat dengan gerobak khasnya selalu tersenyum seakan menemukan undian uang jutaan rupian tapi pulang pada senja dengan wajah masam tertekuk. Tukang Roti yang selalu percaya diri meneriakan dagangannya.
"Roti.. Roti.."
Jangan lupakan tukang sayur tempat ibu-ibu bergosip ria, entah apa yang mereka gosipkan tapi tiada hari tanpa bergosip terakhir kokokan ayam yang cukup memekakan telinga.
Aku tak pergi bekerja hari ini, semalam aku sudah izin tak masuk pada Mas Rudi pemilik bengkel tempatku bekerja mungkin mulai dari ini aku tak akan bekerja lagi disana. sudah sejak beberapa hari yang lalu tali itu ku gantungkan di tepat di tiang atap rumah. tali yang siap meregangkan nyawaku. aku begitu berani membuatnya tapi entah kenapa hati belum siap untuk melakukannya.
Aku berpikir aku akan berakhir di neraka, terbakar sampai tubuh mati rasa. Tapi tak ada gunanya aku melanjutkan hidupnya jika pada dasarnya perasaan ini memang sudah mati? Tak ada lagi tawa yang selalu menghias wajahku waktu diriku menjadi satu-satunya. segalanya dalam pikiran orang tuaku. Setelah perselingkuhan Ayah dengan rekan kerjanya, hanya Ibu kebahagiaanku melebihi siapapun. Ibu yang selalu tersenyum dan tak pernah mengeluh di depanku. tapi semesta mengambilnya. hidup memang bukan sekedar diri ini saja yang berharap untuk disenangi, setelah semua ini, ku sadar bahwa setiap orang akan datang dan pergi, ku Ingin sebelum orang lain datang masuk ke kehidupanku lalu pergi dan luka yang kering kembali menganga dan basah.
Sepantasnya diri ini harus pamit terlebih dahulu, menyapa dunia yang akan ku tinggalkan. Aku bangkit mengambil kemeja hitam lalu memakaunya untuk menutupi kaus putihku. Rambutku terbiarkan terurai sudah hampir 6 bulan aku tak mencukur rambut. membiarkan tubuh menjuntai. Tak peduli kata orang diriku ini hampir mirip orang gelandangan.
Tujuan awalku kini, berjalan-jalan di sekitaran terminal bis tempat tongkrongku, bersenda gurau dengan Mang Baim, lelaki tua pemilik warung angkringan legenda di lingkungan tinggalku. hampir tiap pagi sampai tengah malam selalu ramai pengunjung. Lalu Rohayan pangamen cilik yang tiap hari memegang ukulele dan mengumandangkan lagu dengan cemprengnya, Rohayan yang seharusnya duduk di bangku 5 SD terpaksa mengamen karena harus menghidupi adik satu-satunya setlah ia ditinggal kedua orang tuanya.
"Mang kopi item satu.." Mang Baim yang sedang membaca koran dan sesekali mengeluarkan kepulan asam dari rokok kreteknya.
"Rama.. lu dateng-dateng ganggu saja, bentar gua siapin." Aku tak mengubris mang Baim, mataku fokus menatap bus yang keluar masuk terminal sembari mengeluarkan asap hitam.
polusi di pagi hari. lalu kemudia aku mendapati Pedagang asongan yang menjual minum, tisu bahkan kacang-kacang yang bergerak lincah menaiki bus. Pemandangan ini mungkin akan terakhir kalinya bisa ku lihat.
"Ini.. tumben banget lu ngopi, biasanya kan malem abis lu pulang dari bengkel. Ada angin apa lu pagi-pagi kemari?" Aku menyeruput secangkir kopi masih diam tak membalas sepatah katapun mang Baim.
"diem mulu lu.. perasaan. Bisulan baru tahu rasa." Setelah mengatakan itu mang baim kembali pada rutinitasnya yang sempat ku potong tadi, membaca koran.
"mang ini uangnya, uang utang yang belum gua bayar-bayar sama uang ngopi sekarang. makasih mang kalau begitu saya pamit permisi." aku tak melihat Mang baim sedikit melongo saat diriku membayar utang.
"Tunggu.. tumben amat lu bayar utang, biasanya nanti-nanti atau gak lu bakalan diem saja kalo ditagih." Mang baim bangkit mmanggilku sedikit berteriak karena suara bus yang berisik.
"Iya mang, saya pamit. salam buat Rohayan ya mang" balasku lalu pergi meninggalkan warung angkringa Mang Baim.
Selanjutnya Aku berpikir akan mengunjungi rumah Ayahku, aku hanya akan menatapnya dari jauh. melihat segala kebahagiannya yang dulu pernah ku dapatkan.
"Ayah.. aku kembali, tapi ini untuk terakhir kalinya. apa kau masih mengingat puteramu ini dari wanita yang pernah kau sakiti?"
Aku butuh naik bus , lalu naik angkutan umum untuk mencapai rumahnya. ayahku tinggal di lingkungan yang mendukung, nyaman dan aman karena ada satpam yang menjaga pintu masuk komplek tempat tinggal Ayahku.
Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Aku berharap, ia tak menyadari kehadiranku. tak ingin melihat diriku yang lusuh seperti ini. setelah izin oleh Pak Satpam, Aku berjalan masuk mencari rumah cat abu-abu bernomor 12. Aku menatap pria jauh dari balik pohon. pria paruh baya itu Ayahku.
senyum terukir pada wajah tegasnya. dalam hati aku mengucap syukur bisa melihatnya kembali, setelah sekian lama aku bersembunyi. banyak rasa kekecewaan dan kesal mengingat Ayahku lebih memilih jalang itu dibanding Ibu dan Aku. hati ku membisikkan untuk mendekat dan menayapa lebih dekat Ayahku.
Aku perlahan memantapkan langkahku. Melihat kedatanganku, Ayah terlihat cukup kaget. terlihat bahwa ia terburu-buru karena harus pergi ke Kantor. terlihat dari pakaiannya yang rapih dan dasi yang menjuntai di kerah kemejanya.
"Kita bertemu lagi, Pak Adi Pratama yang terhormat. jangan salah paham, Aku kemari tidak untuk mengemis kasih sayangmu atau hartamu. Aku hanya ingin pamit, Satu hal lagi. Terima Kasih atas sikap apatismu sampai tidak tahu bahwa Ibu telah pergi dengan tenang. Saya permisi." Puas sudah aku mengeluarkan kata-kata yang selama ini terpendam.
Aku pergi dengan hati yang lebih lapang.
"Rama.. tunggu.." Teriak Ayahku.
"Sudah terlambat, Jika kau ingin mengunjungi Ibu, kau bisa mencarinya sendiri karena semudah itu kau mendapatkannya?"
...
Aku meneguk soda kaleng yang ku beli di sebuah minimarket cepat-cepat sudah menjelang siang hari. matahari tepat di atas menyengat dengan panasnya. Aku membuka kemejaku lalu mengikatnya di pinggang tujuan terakhirku adalah taman hiburan yang lokasinya cukup jauh karena berada tepat di daerah perbatasan. terakhir kali ke sana aku masih berumur 5 tahun. jemari Ibu menggenggam ku erat-erat karena takut ku menghilang dan aku pun tak di izinkan memakan banyak permen kapas karena takut gigiku sakit. terlihat menyenangkan sekaligus menyakitkan karena mengingat sebuah hal yang tak akan pernah kita dapat kembali.
"Rama rindu.. Rindu Ibu."