Selamat membaca
{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{
Acara berakhir sekitar pukul sebelas malam, para tamu undangan sudah pulang ke tempatnya masing-masing. Begitu pula dengan keluarga Gavriel, sehingga kini hanya menyisakan Gavriel yang sedang duduk di sebuah sofa di salah satu kamar hotel milik keluarganya, dengan kertas di tangannya juga beberapa orang di depannya.
Jumlah mereka empat termasuk Gavriel, sengaja Gavriel menyewakan kamar ini karena dua temannya belum memiliki hunian di kota ini, kecuali Kin yang memang asli satu kota dengannya.
"Hn, aku akan periksa lagi laporan ini, untuk sementara kalian tinggal disini," jelas Gavriel sambil meletakan kertas yang sempat dibacanya sekilas, sebelum menutupnya untuk dibacanya lagi ketika sudah sampai di apartemennya.
"Apartemenku akan sipa huni beberapa hari lagi," timpal Alex menjelasakan. Kebetulan ia ada proyek baru yang bekerja sama dengan perusahaan Wijaya, jadi ia bisa bernapas lega saat bisa terbebas dari seseorang.
"Hn, bagaimana denganmu, Alen?" tanya Gavriel kepada Gallen yang mengalihkan wajahnya dari layar handphone ke aranhya.
"Kamu carikan saja."
"Hn, kalau begitu sekalian dengan Jhia," jawab Gavriel sambil mengangguk mengerti.
"Jhia? Oh! Aku dengar kamu mau dia jadi sekertaris kamu, begitu, kan?" sahut salah satu dari keduanya, Yamazaki Gallen atau biasa di panggil Alen. Campuran Jepang dan negaranya, yang lama tinggal di Jepang, jadi ia masih bisa sedikit berbicara dengan bahasa sini.
Gallen hanya menanggapinya dengan santai, beda dengan Alex yang melotot horror ke arah Gavriel saat mendengarnya.
"Jhia? Are you kidding me? I went far from Japan, to get away from her, (Jhia? Apa kamu bercanda denganku? Saya sengaja pergi jauh dari Jepang, untuk menghindar darinya)" protes Alexander Ginson, temannya dari Amerika, yang sempat menetap beberapa tahun di Jepang.
Gavriel menatap Alex teman kamvretnya masa bodo, yang balik menatapnya dengan ekpresi horror saat ia menyebut nama Jhia serta.
"Bukan urusanku, itu masalah kamu, punya burung kok lebih suka nemplok sana-sini," timpal Gavriel kejam, kemudian berdiri berniat pulang ke apartemennya, diikuti oleh Kin yang juga merasa lelah.
"Aku akan kembali besok, atau kalian bisa datang ke kantor," lanjut Gavriel sambil melangkahkan kakinya ke arah pintu dan membuka pintu, meninggalkan Gallen dan Alex yang bersiap untuk istirahat.
Di perjalanan menuju apartemennya, Gavriel tiba-tiba menmbelokan stir kemudinya menuju arah sebaliknya dengan tujuan jelas yaitu apartemen Queeneira.
Ia kepikiran saat Queeneira pulang sambil melotot kesal ke arahnya. Ia sampai berpikir, apakah kedua bola mata cantik sahabatnya itu tidak lelah, karena meloto terus dengannya yang jusru terkekeh saat itu.
"Ck, seharusnya mata indahmu itu hanya perlu melihatku dengan tatapan penuh cinta, bukan sebaliknya malah melihatku dengan aura permusuhan," gumam Gavriel, sambil melihat apartemen Queeneira dari kejauhan di dalam mobil, dengan beberapa mobil ikut terparkir jauh di belakanganya.
Seketika ia mengingat tentang berita dari temannya, tentang dia yang bersembunyi di negarnya. Jika sudah seperti ini itu artinya kini hidup yang awalnya ia kira tenang, akan berubah menjadi bahaya jika ia lengah sedikit saja.
Ia bingung, bagaimana bisa dia lolos dari sana hingga sampai bersembunyi di negaranya tanpa ia ketahui.
"Jika seperti ini bukan hanya aku, keluargaku dan juga orang-orang di dekatku pun pasti akan dalam bahaya," lanjut Gavriel dengan pikiran kusut.
"Sial, baru saja aku ingin bersenang-senang," batin Gavriel kesal.
Melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, ternyata waktu sudah menunjukan pukul 2 dini hari, itu artinya hampir dua jam ia melihat gedung tinggi itu. Gavriel pun memutuskan untuk menyudahi acara melihat apartemen Queeneira dan kembali ke apartemennya untuk istirahat.
"Selamat malam, Queeneira," ucap Gavriel sebelum tancap gas meninggalkan jalanan, samping gerbang masuk apartemen Queeneira.
Keesokan harinya …
Apartemen Qeeneira
Di atas kasurnya, Queeneira yang saat ini masih rebahan melihat langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.
Padahal di langit sana matahari sudah tinggi, menandakan jika hari sudah siang tapi ia sama sekali tidak peduli dan tetap melamunkan kejadian tadi malam, tepatnya saat ia dan Gavriel berdansa dengan tubuh terlalu dekat nyaris tanpa jarak, sehingga membuatnya bisa merasakan bagaimana hangatnya rengkuhan itu.
Belum lagi aroma menggoda yang membuatnya hampir saja terbuai, tapi semuanya kacau dengan perkataan kurang ajar Gavriel saat menghina gaun yang di pakainya.
Kepalanya menggeleng saat ia ingat juga, jika Gavriel mengatakan hal dengan kalimat ambigu yang membuatnya membatin penasaran.
Bagaimana bisa dalam waktu 10 tahun, Gavriel berubah kepribadian 180 derajat, menjadi pria dengan mulut, pikiran dan kelakuan luar bisa kotor, bertranformasi menjadi laki-laki dengan pikiran luar biasa mesum.
Bulu kuduknya tiba-tiba saja berdiri, saat mengingat pungungnya dibelai seduktif oleh tangan Gavriel yang bergerak seakan-akan seperti pemain pro. Seperti Gavriel seakan atau bahkan seperti terbiasa menelusuri punggung seorang wanita.
"Benar, bahkan dia sudah mengaku jika hal seperti itu sudah lumrah. Ah! Sialan, kenapa aku jadi marah seperti ini, bukan hak aku untuk melarangnya. Tapi kan, tapi kan aku di sini menunggunya kembali. Kenapa dia justru menghianatiku."
Astaga!
Queeneira sepertinya terlalu banyak berspekulasi dengan apa yang sudah di dengarnya dari mulut Gavriel, sehingga perkataan Gavriel yang main-main pun menjadi suatu pemikiran yang membuatnya riwet sendiri di pagi hari.
"Gavriel sialan, aku menunggu kamu disini dan kamu di sana ena-anaan sama wanita lain. Unbelievable," gumam Queeneira dengan gigi bergemeletuk, marah. Bahkan kakinya kini sibuk menendang sprei yang bentuknya sudah tidak karuan.
Tunggu sebentar.
Sepertinya ada yang salah dengan apa yang terjadi terhadap Queeneira.
Kenapa Queeneira seakan benci jika ada Gavriel, tapi kalau tidak ada, seakan Queeneira tidak terima jika Gavriel di dekati oleh wanita lainnya?
Ada apa ini sebenarnya?
Entah, hanya Queeneira yang tahu.
Setelahnya Queeneira pun memutuskan untuk mengakhiri kegiatan tidak jelasnya. Ia bangkit dari tiduran tidak bermanfaatnya dan berjalan ke arah kamar mandi, membersihkan dan mempersiapkan diri sebelum pergi ke kantornya.
Sekitar satu jam kemudian ia pun sudah siap dengan baju kerjanya, kemeja bahan sifon di padu dengan blazer yang panjangnya hampir sama dengan rok sebagai bawahannya yang di pakainya.
Keluar dari kamarnya, Queeneira tidak mendapati Andine yang sepertinya sudah lebih dulu berangkat kerja. Lagian memang hari sudah terlalu siang dan ia yakin jika Andine sedang menggerutu di ruangannya sana.
Mengangkat bahunya acuh, Queeneira berjalan santai ke arah pintu keluar dan selanjunya melanjutkan perjalananya, menuju basement tempatnya memarkirkan mobil.
Skip
Sesampainya di pelataran parkir gedung butik dan kantornya, Queeneira memasuki kantor dengan langkah santai, sambil menebar senyum ramah seperti biasa dan sesekali membalas sapan yang dilayangkan untuknya.
"Selamat pagi. Bu Queeneira!"
"Selamat pagi, semua!"
Di depan pintu ruangannya, terlihat doni dan Andine yang berdiri dan melihatnya dengan senyum lebar, membuatnya mengernyit gagal paham dengan senyuman keduanya.
"Ada apa?" tanya Queeneira tanpa basa-basi, saat ia sudah sampai di hadapan keduanya dan kemudian membuka pintu ruangannya, diikuti oleh keduanya yang mengekor di belakangnya.
"Queene, kita ada kabar baik," ucap Doni dengan nada antusias, membuat Queeneira berhenti dan bebalik melihat Doni dengan alis terangkat.
"Kabar baik?" beo Queeneira memastikan, menuai anggukan kepala dari Doni juga Andine yang ikut mendukung, mengiyakan.
"Iya!"
"Apa?"
"Kamu masih ingat dengan Tuan Bara, pemilik toko jam tangan dan asesoris, yang semalam berkenalan dengan kita?" tanya Doni alih-alih menjawab dengan benar pertanyaan Queeneira.
"Iya, kenapa?"
"Lalu tuan Deni Putra Kusuma, yang semalam berkenalan dengan kita dan Gavriel? Apa kamu masih ingat?" lanjut Doni masih dengan antusia saat mengingat tadi malam ia bisa berdekatan dengan sosok idola di kalangan seprofesinya.
Queeneira merotasi bola matanya saat mendengar nama Gavriel dari lisan Doni.
"Kenapa nama itu di sebut lagi sih," batin Queeneira kesal.
"Iya, kenapa sih emangnya?" tanya Queeneira sebal, melangkahkan kembali kakinya menuju kursi kerjanya dan duduk dengan segera.
"Kamu tahu-
"Tidak. Makanya Doni, to the point aja lah, jangan banyak bertbasa-basi, apalagi sampe nyebut-nyebut namanya," potong Queeneira sebal, lalu melanjutkannya dalam hati.
"Ck, oke-oke … Jadi maksudnya itu, kedua orang ini menghubungi aku untuk melakukan pertemuan dan membahas kerja sama kita, bagaimana? Keren kan, ini bahkan baru 12 jam berlalu dari acara pesta. Tapi kita sudah dapat klien baru 2, deabak," jelas Doni panjang-lebar, nada yang digunakannya benar-benar antusias apalagi ia saat malam itu tidak perlu susah payah dan hasilnya lumayan untuk permulaaan.
"Hah! Yang benar kamu?" tanya Queeneira dengan ekspresi tidak percaya.
"Iya, Quee!" balas Doni dan Andine cepat.
"Lalu, kapan mereka minta pertemuan kerja sama?" tanya Queeneira ikut senang, melupakan tadi malam jika ia sudah marah-marah dengan orang yang membantunya.
"Secepatnya."
"Kalau begitu kamu atur jadwalnya."
"Oke!"
"Bagus! Pak Ferdy juga sudah atur jadwal meeting ulang, kalau bisa jangan tabrakan agar kita bisa sama-sama mendengar keinginan klien kita," papar Queeneira, yang di angguki oleh kedua bawahannya.
���Siap!"
Tidak lama saat Doni dan Andine hendak meninggalkan ruangan Queeneira, seorang karyawan lainnya yang bekerja di bawah kendali Doni terlihat berdiri di pintu masuk yang sengaja tidak di tutup setelah mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok!
Ketiganya pun menoleh dengan Queeneira yang mempersilakan masuk.
"Masuk, ada apa?" tanya Queeneira cepat.
"Kami menerima telepon dari Tuan Heri, pemilik toko pakaian brand Cleincalvis meminta janji temu untuk kerja sama. Beliau menunggu konfirmasi."
"Baik, cek dan masukan dalam list kalau ada yang seperti ini lagi. Saya yang akan ambil alih setelahnya," timpal Doni, kemudian seseorang yang melapor itu pun meningglkan ruangan Queeneira, dengan Doni yang menatap Queeneira semakin semangat.
"Dengar kan! Baiklah, gadis-gadis, aku banyak pekerjaan. Sebaiknya aku segera menyiapkan timku dan tim perancang, semangat!" seru Doni kemudian meninggalkan ruangan Queeneira dengan langkah lebar, menyisakan Andine dan Queeneira yang saling lihat.
"Apa?" tanya Queeneira risih dilihat oleh Andine sedemikan rupa.
"Kamu harus datang dan temui oppa Gavriel, Quee. Lalu ajak dia menikah sebelum ada wanita gatal yang mendekati dia, sumpah dia adalah laki-laki hot yang tidak boleh disia-sia kan, Queeneira Wardhana. Oh! Atau kita tukar wajah, biar aku saja yang mendekati oppa dan bermain dengannya," ucap Andine sembarangan, membuat wajah Queeneira memerah antara malu dan marah.
Kemudian dengan tidak keprimanusiaan, Queeneira yang kesal pun melempar sebuah buku namun Andine yang menyadarinya segera berkelit, lalu kabur meninggalakan Queeneira yang menyumpah serapahinya, sedangkan ia tergelak saat melihat wajah merah temannya tadi.
"Andine kembali kamu, aku akan carikan kamu laki-laki untuk membungkam mulut kamvretmu itu!"
"Tidak mau! Aku maunya dengan oppa Gavriel!"
"Apa!"
Ha-ha-ha!
Tawa andine adalah hal yang terakhir di dengar Queeneira, yang saat ini sedang melipat wajahnya kesal.
"Reseh banget Andine, seenaknya bilang aku harus mendatangi dan mengajaknya menikah. Apaan tuh, kalau mau dia yang datang dan mengajakku menika- eh! Tidak-tidak, hentikan, siapa juga yang mau menikah dengannya, ah! Sialan, Gavriel kamvret!"
Bersambung.