Selamat membaca
{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{
WIJAYA Tbk
Di koridor perusahaan yang di pimpin oleh anak tertua Dirga Wijaya, terlihat Gavriel yang sedang berjalan dengan tangan memegang kertas laporan yang diberikan oleh Aksa.
Saat ini ia ada di koridor dengan banyak pegawai lalu lalang di sekitanya, yang akan menunduk atau juga menyapanya ramah, dengan ia yang balas dengan kepala mengangguk singkat.
Saat ini ia sedang berjalan dengan Aksa yang bersisihan di sampingnya, sesekali menjelaskan tentang tempat yang akan mereka datangi. Rencananya ia dan Aksa akan mengunjungi proyek yang baru akan di bangunnya, proyek kerja sama dengan pemerintah senilai ratusan milyar.
Di depannya sudah terparkir mobil beserta supir yang siap mengantarnya ke lokasi, ia pun dengan segera masuk ke dalam duduk di bagian belakang mobil, sedangka Aksa duduk di depan di samping sopir.
Kemudian mobil pun meluncur dengan kecepatan sedang. Gavriel sesekali akan memeriksa handphone yang ada di tangannya kananya, sedangkan sebelah kiri memegang kertas yang dari tadi sedang di pegangnya.
Di layar handphone tertera pesan laporan dari anak buahnya yang ia tugaskan menjaga adiknya, jika tidak ada yang mencurigakan dengan adiknya dan juga seorang laki-laki yang tadi malam memperkenakan diri dengan
nama Devan.
Ia bisa menghembuskan napasnya sedikit lega, tapi itu tidak serta merta membuatnya percaya begitu saja, pengalamannya beberapa tahun lalu yang sungguh mengerikan menjadikannya over reaction jika sudah berhubungan dengan hal yang berhungan dengan keselamatan seperti ini.
Kegelisahan yang di alami oleh Gavriel yang melihat dari kaca spion kecil bisa dirasakan oleh Aksa, seseorang yang saat itu tahu kejadian mengerikan apa yang dialami Gavriel saat itu.
Bahkan ia masih mengingat dengan jelas, saat punggung lebar yang dulunya bersih kini ternoda dengan bekas luka melintang dan juga tembakan senjata api.
Hanya segelintir orang yang tahu termasuk dirinya, yang saat itu tidak bisa apa-apa ketika Gavriel selamat dan di rawat selama satu bulan di rumah sakit tanpa kabar. Yang ia lakuan saat itu hanya diam saat sang Bos menghubunginya untuk tidak memberitahu sang Daddy, apalagi sampai seluruh keluarganya tahu.
Ia memang mencari, namun tidak serta merta menghubungi Bos besar ayahnya untuk melaporkan kejadian hilangnya Gavriel saat itu.
Gavriel memasukan lagi handphonenya ke dalam saku jas yang dipakainya, kemudian melihat ke arah depan, tepatnya ke arah Aksa dan memanggilnya sehingga Aksa yang sedang melamun tersentak kecil.
"Aksa."
"Ah! Iya, Bos?" sahut Aksa cepat, menolehkan wajahnya ke arah belakang dan melihat Gavriel yang juga menatapnya datar.
"Apa berkas untuk perusahaan Ginson sudah di kirim?"
"Sudah, Bos. Tuan Alex juga sudah menerimanya," jawab Aksa dengan jelas, dengan Gavriel yang mengangguk mengerti.
"Hn. Lalu, apakah apartemen yang aku bilang itu sudah bisa di huni?"
"Sudah, sesuai dengan perintah."
"Hn, malam ini Alen yang akan lebih dulu menempatinya. Kamu jemput dan antar dia sampai tempat, bisa kan, Aksa," kata Gavriel kali ini ia meminta, bukan memerintah seperti biasa. Sehingga Aksa yang mendengarnya tanpa sadar mengangguk cepat, bahkan Aksa juga memanggil Gavriel dengan sebutan mas.
"Bisa, Mas- eh!"
Gavriel terkekeh kecil dengan kepala menggeleng saat mendengar pekikan kaget dari Aksa, kemudian mendengkus dan balas pekikan Aksa dengan candaannya.
"Santai, Aksa. Aku nggak akan gigit kamu, hanya karena kamu panggil aku Mas."
"Iya, Bos."
Sore hari datang dengan cepat, Gavriel baru saja pulang dari kunjungan ke tempat lainnya setelah ia selesai dengan lokasi proyek yang baru tahap pengecekan lokasi.
Sebelum pulang ke apartemen ia kembali ke gedung perusahaannya untuk mengerjakan sesuatu alias lembur, karena waktunya hari ini banyak habis di lapangan, akibatnya pekerjaan yang berhubungan dengan baca-membaca
terbengkalai.
Ia memasuki ruangannya, kemudian menjentikan jarinya sehingga kini ruangan itu terang benderang.
Menduduki kursi kekuasannya dengan segera, Gavriel menyempatkan diri membuka handphone terlebih dahulu untuk mengecek notif yang ia pasang mode senyap.
Ada beberapa notifikasi, namun yang lebih dulu ia buka adalah pesan dari sang Mommy yang menanyakan apakah ia sudah makan atau belum, itu juga sudah lewat dari empat jam yang lalu.
Astaga! Ia lebih dari parah dibandingkan sang Daddy yang masih sempat barang sedetik untuk melihat notif handphonenya. Sedangkan dirinya, pesan dari Mommy kesayangannya pun ia absen. Lalu, bagaimana jika Queeneira yang menghubunginya,
"Sebaiknya aku ubah mode senyapnya, akan sangat di sayangkan jika dia yang menghubungiku tapi tidak aku ketahui notifnya."
Dengan segera ia mengubah pengaturan dan menelpon balik sang Mommy, sehingga kini suara lembut wanita cinta matinya terdengar di telinganya. Senyum tampan meski tipis terlukis, ketika mendengar rentetan pertanyaaan
tentang kegiatannya saat ini.
Obrolan dengan sang Mommy tidak membuatnya melupakan pekerjaannya, dengan headset terpasang indah di telinga kanannya, Gavriel membuka sandi user perangkat komputernya kemudian memeriksanya satu per satu, hingga panggilan selesai saat terdengar suara sang Daddy memasuki indra pendengarannya di seberang sana.
"Daddy sudah pulang, berarti ini sudah pukul berapa," tanya Gavriel dalam hati, kemudian melihat pergelangan tangannya dan menemukan jika waktu sudah menunjuk pukul 6 sore.
"Sudah petang, sebaiknya aku bergegas," lanjutnya masih dalam hati.
"Baiklah Momm, aku harus menyelesaikan pekerjaanku," kata Gavriel bermaksud menyudahinya.
~"OK, kamu jangan lupa makan malam yang benar dan istirahat, sayang."
"Hn, tentu Momm," jawab Gavriel kemudian mengakhiri panggilanya dan memijat pelan pangkal hidungnya, meredakan rasa letih di kedua matanya.
Kemudian setelah dirasa cukup, ia melanjutkan pekerjaannya tidak sampai sepuluh menit handphonenya bordering lagi, kali ini hanya sebuah pesan dengan nama Aksa yang memberitahu jika Alen sudah berada di apartemen
baru, sedangkan Alex masih menetap di kamar hotel keluarganya.
"Okay, selesai," gumam Gavriel saat merasa pekerjaannya sudah semuanya ia kerjakan.
Ia pun memutuskan untuk pulang ke apartemennya, sebelum bertolak ke Bar tempat sepupunya bekerja membawa Alex dan Alen untuk menikmati malam harinya yang masih kelabu.
Malamnya akan berwarna kalau ditemani oleh wanita yang sama sekali tidak menerima membalas panggilan darinya.
"Menyebalkan," gumamnya sambil mengendarai mobilnya dengan perasaan lelah.
Skip
Keesokan harinya …
W&M Boutique And Photo Studio
Pagi ini suasana kantor milik Queeneira ada yang berbeda, saat semuanya sibuk dengan kerja sama yang tiba-tiba saja membeludak datangnya.
Di ruangan dengan tiga orang yang sedang berdebat untuk mengahadiri meeting satu per satu atau masing-masing menghandle satu meeting.
Bukannya Queeneira tidak bisa, tapi ia lebih sering meeting dengan membawa Doni dan Andine turut serta, dari pada sendiri-sendiri dan juga akan cepat dapat solusi jika mereka mengerjakannya bersaman.
Tapi saat ini keadaan yang membuatnya harus memecah tim dan menghadiri meeting dengan membawa masing-masing rekan. Jika saja klien tidak meminta waktu yang bersamaan, mungkin itu lebih mudah untuk ia menyusun jadwal meetingnya.
"Baiklah, sudah di putuskan jika aku hari ini akan menemui Pak Ferdy, Doni Pak Deni dan Andine Pak Bara. Oke, tim juga sudah siap yah. Kalau gitu kalian bisa bekerja," jelas Queeneira menuai anggukan kepala mengerti dari keduanya dan meninggalkan ruangan untuk mengerjakan bagian tugasnya.
Ia sendiri akan melakukan meeting dengan pak Ferdy di ruang meeting gedung kantornya sendiri dan lagi hanya penandatangan berkas kontrak baru, sedangkan konsep sudah beres dari awal.
"Hum … Semoga semuanya terkendali," gumamnya meminta.
Kemudian terdengar telepon yang bordering, ia pun segera menerimanya dan menjawab panggilan tersebut, di seberang sana terdengar suara petugas informasi yang membneritahu jika kliennya sudah sampai.
"Hum, saya mengerti. Kamu antar ke ruang meeting, saya segera ke sana."
Meletakan kembali gagang telepon ke tempat semula, Queeneira bersiap dengan membawa map berisi perjanjian baru, saat perjanjian lama sudah tidak berlaku lagi.
Dengan langkah percaya diri, Queeneira memasuki ruang meeting di mana sudah menunggu pak Ferdy juga dua orang, juga bawahannya yang meggantikan Doni juga Andine hari ini.
"Selamat siang, Nona Wardhana," sapa Ferdy ramah, tidak seperti kemarin sempat genit dengan Queeneira.
Sudah tahu dengan jelas posisinya, anggap lah kemarin ia khilaf.
"Selamat siang, Pak Ferdy. Senang bisa bertemu lagi," sapa balik Queeneira dengan ekspresi senang dan lega, setidaknya orang di depannya tidak benar-benar hancur seperti yang di bayangkan.
"Terima kasih, sudah menerima kembali ajakan kerja sama kami."
Setelah bersalaman dengan Queeneira yang mempersilakan untuk duduk, mereka pun membicarakan kembali ketentuan, konsep juga menandatangani surat kerja sama.
Di tengah-tengah obrolan keduanya, Queeneira yang merasa penasaran dengan bangkitnya kembali perusahaan Ferdy pun bertanya kepada Ferdy, tanpa menutupi raut wajah penasarannya.
"Itu, Pak Ferdy. Boleh saya bertanya," kata Queeneira, membuat Ferdy yang merasa jika pertanyaan Queeneira penting pun segara mengangguk singkat.
"Iya, apa itu?"
"Itu … Sebenarnya, bagaimana ceritanya perusahaan Bapak bisa collaps dan tiba-tiba bisa bangkit lagi hanya dalam kurun waktu sangat singkat seperti itu?"
Ferdy yang mendengarnya tersenyum sedih di antara rasa syukurnya, padahal ia sudah melupakan namun karena yang betanya adalah wanita yang di sinyalir memiliki hubungan dengan Bosnya yang sekarang, mau tidak mau
ia pun menjawabnya dengan jelas.
"Oh! Itu, sebenarnya …"
Ferdy pun menjelaskan alasan dengan singkat, namun cukup membuat Queenira yang mendengarnya menarik kesimpulan. Jika ini sebenarnya bukan sepenuhnya salah Gavriel, namun tetap saja menurutnya Gavriel terlalu sombong dengan mempermainkan orang tidak bersalah seperti Ferdy. Tapi langsung terdiam, saat Ferdy mengatakan kalimat terakhirnya.
"Jadi seperti itu, Nona. Maaf, jika dulu hampir saja kami mengajak kerja sama dengan taruhan," tutur Ferdy mengakhiri ceritanya.
"Tidak, anda tidak salah. Ini sumua sudah kehendak Tuhan," jawab Queeneira kembali memikirkan apa yang sudah ia simpulkan tadi.
"Oke aku akui Gavriel tidak salah, itu saja dan kapan-kapan kalau aku ingat aku akan minta maaf," batin Queeneira tetap keras.
Setelah selesai dengan pertemuan, Ferdy pun meninggalkan perusahaan dengan Queeneira yang mengantar hingga depan. Kali ini ia sempat melihat kanan-kiri, mencari seseorang yang siapa tahu saja tiba-tiba datang ke
kantornya.
Namun sampai Ferdy meninggalkan kantornya ternyata tidak ada tanda-tanda kedatangannya, membuatnya diam-diam menghela napas kecewa saat ia ingat jika Gavriel sama sekali tidak pernah menghubunginya.
Tunggu!
Seketika ia memukul pelan kepalanya, saat pikiran aneh merasuki otak cantiknya.
"Astaga! Apa yang aku pikirkan, siapa juga yang ingin dia ke sini atau menghubungiku, hih, ada-ada saja," batin Queeneira kemudian meninggalkan lobby dan kembali ke ruangannya.
Sampai saat ini Queeneira tidak sadar, jika nomor asing yang menghubunginya adalah Gavriel, lagi pula nomor Gavriel pun ia masukkan kedalam daftar block kontak karena menghubunginya tengah malam dengan durasi 4 jam tanpa di ketahuinya.
Nah … Ini alasannya nomor Gavriel tidak bisa masuk di panggilan kontak nomor Queeneira, karena Queeneira memasukan nomornya di block kontak.
Queeneira yang meninggalkan lobby tidak sadar, jika dari kejauhan dirinya di lihat oleh seseorang dari balik kaca mobil. Seseorang itu hanya menatapnya dengan dingin, kemudian meninggalkan tepi jalan tempat ia menunggu hingga menghabiskan waktu siangnya.
Bersambung.