Selamat membaca
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶
Kota X
Gavrile mendarat setelah berada di udara sekitar 20 menit. Ia turun di ikuti oleh Aksa dengan jejeran awak kabin pesawat yang menunduk hormat di belakangnya.
Kaki jenjangnya menuruni anak tangga satu per satu, hingga akhirnya ia menapaki aspal landasan udara yang ada di kota X. Kepalanya menoleh kanan dan kiri, melihat dengan mata menyimpit segala sesuatu yang ada di sekitarnya, memindai apapun yang bisa saja menjadi ancaman untuknya.
Aksa yang baru saja menapaki kakinya di lapangan landas segera berdiri di belakang Bosnya. Ia dengan sikap siaga mendampingi Gavriel, yang menolehkan wajahnya sejenak lalu kemudian menghadap ke arah depan kembali.
"Mobilnya sudah siap?" tanya Gavriel singkat, seraya memakai kacamata hitam dengan hidung mancung menyangganya, kemudian menyugar rambutnya dengan gerakan pelan.
"Sudah, Bos," jawab Aksa dengan lugas, kepalanya mengangguk dan mengikuti dari belakang langkah kaki Gavriel, yang terlihat tegas di sertai aura dominant yang selalu di tebarnya.
"Hn."
Di lounge bandar udara kota X sudah berdiri beberapa anak buah yang stand by menjaganya dari kejauhan, sengaja bersembunyi saat ia merasa akan terlalu mencolok jika banyak orang di sekitarnya.
Hanya Aksa dan Carnell yang ia izinkan untuk selalu mengekor di samping kiri-kanannya,selebihnya hanya akan menjaganya dari kejauhan, menjadi apapun yang pastinya kalian pun tidak akan sadar dengan keberadaannya.
Sambil berjalan, Carnell yang bertugas menjaga keselamatan Gavriel sesekali menoleh ke kanan atau kirinya, melihat dengan seksama setiap sudut bandara dengan CCTV menyebar.
Setidaknya jika ada CCTV ia bisa sedikit melegakan napasnya, dengan memerintahkan bagian IT untuk ikut memantaunya.
Aksa yang sedang berjalan dalam diam tiba-tiba tersentak kaget, saat Gavriel bertanya kepadanya mengenai kue yang tadi pagi di pesan olehnya.
"Aksa. Bagaimana dengan kue yang aku pesan untuk Momm, El dan Quee?" tanya Gavriel tanpa menoleh ke arah Aksa yang ada di sebelah kanannya.
"Seharunya sudah sampai, Bos. Pihak toko kue pun sudah memberi bukti terimanya," jawab Aksa menjelaskan dengan nada yakin.
Gavriel mengangguk mengerti dan memasuki mobil yang menjemputnya, mobil dari pihak perusahaan yang mengundangnya untuk melakukan meeting sekaligus pengecekan lokasi pembangunan nanti.
"Hn," gumam Gavriel. Tangannya merogoh saku celana, kemudian mengambil handpone dan mengubah mode pesawatnya menjadi data seluler kembali. Sehingga handphonenya dengan segera di banjiri oleh pesan masuk, maupun notifikasi media sosialnya.
Pesan yang pertama kali ia buka tentu saja dari sang Mommy, juga dari adik manjanya yang memberitahukan tentang kue yang di kirim olehnya. Namun ada yang aneh, membuatnya mengernyit saat salah satu dari ketiganya tidak mengirim pesan ucapan atau pun sekedar bertanya kepadanya.
"Apakah dia belum menerimanya, tapi Momm dan El sudah menerimanya," batinnya dengan kening mengernyit heran.
Ia melihat ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, kemudian melihat ke arah depan di mana ada sopir dan juga Aksa duduk nyaman di tempatnya.
"Berapa lama lagi kita sampai?" tanya Gavriel tanpa menunjukan kepada siapa ia bertanya. Namun, mereka yang di depannya, terutama si sopir yang di tugaskan untuk menjemputnya saat ini mengerti, jika ia lah yang di tanya oleh tamu yang akan menjadi tanggung jawabnya.
"Sekitar 30 menit, Tuan Wijaya," jawab si sopir lugas.
"Hn," gumam Gavriel, kemudian dengan segera menekan tombol panggil pada salah satu kontak penting di handphonenya.
Calling Queene …
Tut! Tut! Tut!
Gavriel menunggu dengan tidak sabar panggilannya di terima, hingga nada tunggu kesekian barulah panggilannya di terima oleh Queeneira yang hanya bergumam malas.
"Hmm."
"Quee," panggil Gavriel saat panggilannya di terima.
[Iya? Ada apa, Gavriel?]
"Huh, ada apa? Apakah jika aku menghubungimu harus ada alasannya?" sahut Gavriel dengan nada tidak suka, mulai reseh saat ia merasa Queeneira seperti tidak sungguh-sungguh menganggapinya.
Dari sini ia bisa mendengar decakan juga helaan napas, sebelum Queeneira menjawab perkataannya dengan nada ceria yang dipaksakan.
[Okay, Gavriel. Aku mendengarmu, jangan suka marah-marah seperti itu. Tidak baik untuk kulit wajah dan jantungmu.]
"Hn, aku tidak marah. Aku hanya selalu kesal, jika kamu tidak fokus denganku," kata Gavriel jujur dan ia terkekeh saat mendengar suara sewot dari Queeneira di seberang sana.
[Sama saja. Kesal dan marah itu satu jurusan,Gavriel. Lagian kamu ini seperti tidak tahu saja, jika aku sedang sibuk dengan pekerjaanku, aku tidak akan memperdulikan sesuatu di sekitarku.]
Gavriel memutar bola matanya bosan, saat mendengar rentetan kalimat dari Queeneira yang selalu bar-bar jika sedang berbincang dengannya.
"Mana Queeneiraku yang dulunya manis," batin Gavriel sebal.
"Hn, pengecualian untukku, Quee. Pokoknya jika itu aku, aku tidak mau tahu," balas Gavriel seperti biasa, selalu seenaknya dan ingin menang sendiri.
[Tidak bisa. Aku akan mengangkatnya jika aku tidak mempunyai pekerjaan penting, titik.]
"Oh! Sepertinya ada yang lupa jika ak-
[Okay, fine. Anggap aku lupa, kalau seperti ini sudah di pastikan tanpa perlu peramal. Satu minggu ke depan aku akan jatuh miskin karena mengabaikan pekerjaanku, Gavriel.]
Seketika Gavriel tergelak dengan jawab absurd yang ucapkan oleh wanita di sambungan teleponnya. Ia terpingkal-pingkal dengan pemikiran tidak sesuai kenyataan dari Queeneira, yang melanjutkan omelannya saat ia malah
tertawa.
[Gavriel! Hentikan tawamu atau aku tutup sambungannya.]
Ha-ha-ha
Di depan sana atau tepatnya disisi Aksa saat ini, juga sopir yang menjadi saksi rasa senang seorang Gavriel Wijaya. Keduanya sesekali melihat ke arah belakang melalui kaca spion kecil di atas mereka, yang saat ini memperlihatkan Gavriel dengan raut wajah lebih rileks.
Tidak ada lagi wajah kaku dan datar dari Gavriel, yang ada bibir yang kini mengeluarkan suara tawa tanpa malu-malu.
Dalam hati si sopir ia bingung dengan perubahan raut wajah tamu yang saat ini di jemputnya. Di awal pertemuan melihat sosok Wijaya di belakangnya ini, Gavriel terlihat seperti papan tulis berjalan dengan aura dingin yang sempat ia
rasakan. Namun saat ini tidak, justru raut wajah yang ia lihat lebih rileks dan terlihat berkali lipat tampan di bandingkan wajah tanpa senyumnya.
"Oke-oke, jangan di tutup dulu. Temani aku hingga aku sampai di tempat," ujar Gavriel mengalah.
Ia memperbaiki ekspresi wajahnya menjadi seperti sedia kala apalagi kalau bukan wajah datar. Namun, jika di perhatikan dan menatap tepat di kedua bola matanya, maka kalian akan melihat binar senang di sana, lebih hidup meski wajahnya sudah berganti ekspresi.
"Eoh! Sekarang raut wajahnya berubah lagi," batin si sopir takjub.
[Kamu sudah landing?]
"Hum, sudah. Dan saat ini, aku sedang menuju perusahaan tempat aku meeting nanti," jawab Gavriel menjelaskan, kali ini ia serius dengan nada suaranya sehingga ia pun mendengar balasan dari Queeneira yang sama seriusnya.
"Yokatta, ne. Kõun o, Gavriel,(Syukurlah, ya. Semoga berhasil)."
"Ne, mochiron, (Ya, tentu saja)" sahut Gavriel, kemudian mereka pun melanjutkan obrolan mereka. Sayangnya, obrolan mereka yang sudah mulai asik harus terganggu, ketika Gavriel mendengar suara Aksa yang memberitahukan jika mereka sebentar lagi akan sampai.
"Bos, kita sebentar lagi sampai," ujar Aksa memperingati dengan Gavriel yang mengangguk mengerti.
"Hn, baiklah, Quee. Sebentar lagi aku sampai, aku akan menghubungimu lagi. Jangan sampai panggilanku di abaikan, mengerti," kata Gavriel menyudahi panggilan mereka.
[Okay, aku tutup panggilannya.]
"Hum, see y, love," sahut Gavriel kemudian memasukkan kembali handphonenya setelah memastikan jika Queeneira menutup panggilannya.
"Ne. (Iya)"
Tut!
"Kalau manis seperti ini, bukan kah lebih menyenangkan," gumam Gavriel pelan dengan senyum mengembang. Namun, Aksa yang duduk di depan ternyata mendengarnya. Sehingga Aksa pun bertanya segera, membuat Gavriel pun tersentak kaget dan dengan cepat menghilangkan senyumnya.
"Bos bilang sesuatu?"
"Hn. Tidak ada," jawab Gavriel sebelum keluar saat mobil terparkir rapih di depan pintu masuk lobby sebuah perusahaan.
Blam!
Bersambung.