Chereads / Married With My Arrogant Friend / Chapter 41 - Nasihat Baba Faro

Chapter 41 - Nasihat Baba Faro

Selamat membaca

¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶

Keesokan harinya …

Kediamanan Wardhana

Tin! Tin! Tin!

Dua anggota keluarga Wardhana yaitu Faro dan Queeneira bersama-sama keluar, saat mendengar suara klakson mobil di pagi hari saat mereka sedang menjalani sarapan bersama.

Di depan mereka saat ini sudah terparkir sebuah mobil merah, milik Queeneira tentu saja, yang di antar oleh petugas bengkel suruhan Gavriel, lengkap dengan seseorang yang terlihat asing berdiri di samping mobil merah tersebut.

"Selamat pagi. Dengan Nona Queeneira?" sapa dan tanya si pengantar mobil, yang dijawab dengan segera oleh Queeneira selaku orang yang bersangkutan.

"Saya."

"Silakan kuncinya, mobilnya sudah siap untuk di gunakan," kata si pengantar ramah, dengan tangan mengulurkan kunci mobil ke arah Queeneira.

"Terima kasih," ucap Queeneira menerima kunci dan kembali berdiri disisi sang Baba, yang tersenyum menggoda ke arahnya.

"Baba kenapa?" lanjut Queeneira bertanya bingung.

Faro menggeleng, kemudian berdehem masih melihat ke arah putrinya yang semakin bingung namun kemudian mengangkat bahu, pura-pura tidak tahu arah tujuan deheman sang Baba.

"Tidak apa-apa," ucap Faro cuek, kemudian melihat ke arah si pengantar mobil.

"Biayanya, masukan di tagihan Kantor Hukum Wardhana, bisa, kan?" lanjut Faro bertanya.

"Tidak Tuan, Tuan Gavriel bilang jika ini akan menjadi tanggungannya," jelas si pengantar masih dengan senyum ramah, menuai anggukan kepala mengerti dari Faro namun berbeda dengan Queeneira yang menolak.

"Tidak bisa, biar saya yang membayar. Kamu jangan terima pembayaran itu, kembalikan segera," protes Queeneira dengan hati kesal.

"Kenapa dia selalu seenaknya," batin Queeneira kesal.

"Maaf Nona, tidak bisa karena Tuan yang memerintahkannya, kami tidak bisa mengikuti permintaan Nona," timpal si pengantar menjelaskan dengan hati-hati.

"Loh! Kok git-

"Queene, Baba tidak mengajarkanmu untuk seperti itu," sela Faro cepat, kemudian tersenyum mengerti ke arah si pengantar mobil.

"Sampaikan terima kasih kami kepada Gavriel, maaf sudah menahan anda lama di sini," lanjut Faro dengan nada ramah.

"Sama-sama, Tuan. Kalau begitu saya permisi," sahut si pengantar kemudian menaiki mobil lainnya dan meninggalkan kediaman Wardhana segera.

Setelahnya, Faro pun melihat ke arah Queeneira yang masih menampilkan ekspresi sebal, membuatnya menebak jika ada kejadian yang tidak di ketahuinya, yang terjadi di antara Queene anaknya dengan Gavriel anak dari sahabat songongnya.

"Jadi … Sebenarnya ada apa? Sehingga Baba melihat, jika kalian saat ini seperti dua kutub magnet yang berbeda arah. Saling menarik tapi sayangnya berdiri disisi yang berlawanan?" tanya Faro menatap Queeneira menuntut.

Deg!

Queeneira yang tadinya merenggut sebal seketika tersentak kaget, saat akhirnya sang Baba menyadari rasa sebalnya kepada Gavriel.

Dalam hati Queeneira bertanya, bagaimana bisa sang Baba cepat peka dengan perubahan yang ada padanya, padahal ia sudah berusaha menutupi segala macam yang ia rasakan.

Keterdiaman Queeneira membuat Faro menghela napas, ia pun menepuk kepala Queeneira sayang saat merasa jika saat ini anaknya belum mau terbuka.

"Queeneira, terkadang yang sudah pergi lalu kembali, namun dia pergi lagi itu belum tentu akan kembali lagi setelahnya. Jadi, sebelum dia benar-benar pergi meninggalkan kamu, coba kamu pahami dulu kenapa dan mengapa dia dulu seperti itu kepadamu. Baru, jika sudah jelas dan menurutmu alasan itu tidak bisa di maafkan, silakan berbuat sesuai apa kata hatimu, hati yang menurutmu sudah tersakiti," gumam Faro masih dengan tangan menepuk kepala Queeneira sayang, kemudian meninggalkan Queeneira yang terdiam dengan jantung berdetak nyeri.

"Aku … Aku juga tidak ingin seperti ini," lirih Queeneira. Tangannya menggengam kunci mobilnya dengan erat, kemudian setitik Kristal menetes namun dengan cepat di hapusnya kasar.

Sementara Queeneira dengan jantung yang berdenyut nyeri, Gavriel yang saat ini sedang berdiri di balkon kamarnya di temani secangkir latte di tengan, melihat matahari dengan headset yang sudah terpasang apik di

telinganya.

Saat ini ia sedang menerima panggilan dari Aksa, yang mengatakan jika mobil milik Queeneira yang semalam dijahili anak buahnya sudah sampai di kediamanan Wardhana dengan selamat.

"Hn. Aku mengerti, pukul berapa jadwalku di mulai?" tanya Gavriel sambil sesekali menyeruput latte buatan mesin yang rasanya kurang enak.

Pagi seperti ini seharusnya dibuatin latte sama Queeneira, pasti lebih enak, batin Gavriel dengan keinganan indahnya.

~"Pukul sepuluh nanti, Mas sudah mulai jalan ke tempat proyek baru dengan Tuan Ginson."

"Hn, baiklah. Aku akan langsung kesana, aku tidak mampir ke kantor," jelas Gavriel yang kebetulan ada kepentingan lainnya.

"Baik.���

"Hn, aku tutup panggilannya."

"Baik."

Tut!

Setelah mematikan panggilan dari Aksa, Gavriel kembali melihat matahari pagi di atas sana kemudian tersenyum kecil.

Mataharinya sangat hangat, aku harap kita bisa menikmati sinar matahari bersama lagi, seperti saat dulu saat kita masih bisa menikmati hari tanpa beban di pundak, juga jurang tak kasat mata dengan nama kesalahan masa lalu, batin Gavriel kemudian kembali masuk ke dalam dengan panggilan berbeda lainnya.

"Hn, sudah di pasang CCTV-nya? "

~"Sudah, Bos."

"Pantau 24 jam, jangan lengah dan CCTV di hotel juga gedung perkantoran Wijaya sudah semua di tambah?" tanya Gavriel, mencuci gelas bekas ia minum latte dengan meletakkannya di mesin pencuci otomatis.

~"Kecuali dalam toilet, sudah semua, Bos."

"Bagus, aku tutup panggilannya."

Tut!

Mengambil gelas yang sudah bersih dan meletakknya di laci tempat semula, Gavriel kembali ke dalam kamarnya untuk memakai pakaian kantornya, karena saat ini ia hanya memakai boxer tanpa atasan dengan handuk yang menggantung di lehernya.

Satu lagi persamaan dengan Dirga, ini membuktikan jika buah yang jatuh memang tidak jauh dari pohonnya.

Gavriel hanya berani bertolpless ria jika sedang di apartemennya dan hanya sedang sendiri. Beda lagi jika ada orang lain kecuali yang sudah tahu tentang keadaan punggungnya, ia tidak berani memperlihatkan punggungnya kepada keluarganya, karena di pastikan akan ada banyak pertanyaan jika mereka semua melihat lukisan menyedihkan di punggunya saat ini.

Kemeja putih polos melekat sempurna di tubuh kekarnya, ia mengancing satu per satu kancing kemejanya menyisakan bagian teratas dan setelahnya ke bagian lainnya, untuk mengambil jam tangan yang berjajar rapih di laci khususnya.

Setelahnya, ia pun kembali berdiri di depan cermin setinggi tubuhnya, untuk melihat penampilannya sambil mengancing bagian lengan kemejanya.

"Hm … Kemeja putih memang membuat penampilan rapih," gumamnya saat melihat pakaian yang di pakainya.

"Oke, sebaiknya aku segera berangkat ke lapangan," putusnya, kemudian memakai jas hitamnya sambil berjalan keluar meninggalkan walkin closet. Ia mengambil kebutuhan kantornya dan pastinya handphone, juga dompet benda wajib yang ia selipkan di saku celana serta jasnya.

Di tempat lainnya, tepatnya di sebuah mewah lainnya.

Terlihat sekumpulan orang yang tidak di kenali, sedang membicarakan masalah salah satu anggotanya yang berhasil kabur dari penjara Jepang dan saat ini sedang bersembunyi diri di sini.

Mereka adalah kumpulan pengusaha, dengan segala kekuasaan yang di miliki masing-masing, namun sayang mereka juga kumpulan pengusaha yang tidak puas dengan apa yang di miliki masing-masing saat ini.

Mereka berkumpul untuk membahas sesuatu yang belum bisa di jelaskan, tapi yang pasti tujuannya jelas jika kumpulan orang-orang ini memiliki niat yang sama.

"Kita harus mengetahui kelemahannya, baru kemudian kita hancurkan bersama," kata salah satu dari mereka, menuai anggukan dari yang lainnya. Namun tidak lama terdengar sahutan, yang mengatakan jika dia tahu apa

yang harus di lakukan.

"Kalian tenang saja, aku sedang menyelidikinya, iya kan, keponakanku," ujarnya kemudian bertanya kepada seseorag yang duduk menyendiri di pojokan.

"Tentu saja, paman," sahutnya dan disambut dengan tawa dari lainnya.

"Aku pastikan jika kamu akan merasakan penderitaan yang aku alami, Gavriel," batin seseorang dengan niat jahat.

W&M Boutique And Photo Studio

Queeniera sampai di kantornya sekaligus butiknya pukul delapan tepat, ia masuk dengan langkah santai dan membalas sapaan pegawainya seperti biasa. Kemudian memasuki lift dan menekan tombol di mana lantai ruangannya berada.

Selama di dalam lift bahkan sebenarnya dari saat di perjalanan tadi, Queeneira memikirkan perkataan sang Baba yang menasehatinya untuk mencari tahu tentang alasan , alih-alih kesal tidak jelas kepada Gavriel.

Sebenarnya di balik rasa kesal dan benci di dalam hatinya, tersembunyi rasa ingin memiliki sosok Gavriel di dalam kehidupannya.

Ia akui jika ia memang masih dan sangat menginginkan Gavriel, tapi ada sebagian dalam dirinya yang tidak menginginkan, seakan ada sekat tak kasat mata yang membuatnya seperti merasa, jika Gavriel memiliki rahasia yang tidak ingin seorang pun tahu termasuk dirinya.

Entah itu apa, tapi yang pasti ini lah yang masih menjadi pertimbangan hatinya untuk menerima Gavriel lagi.

"Apa memang harus memberikan dia kesempatan, lalu bertanya sebenarnya alasannya apa sampai dia sama sekali tidak punya waktu untukku saat dulu di sana," batin Queeneira merenung.

Ting!

Pintu lift pun terbuka, Queeneira yang sedang melamun pun berjalan hendak keluar dari dalam lift. Namun na'as saat ia melangkahkan kakinya maju ke depan, seorang petugas kebersihan dengan troly berisi alat-alat kebersihan juga ikut masuk tergesa. Sehingga Queeneira yang melamun pun harus menerima nasib, saat lengannya terkena benturan yang lumayan keras.

Brukh!

Ouch!

Queeneira memekik saat merasakan nyeri pada lengannya, akibat tabrakan dengan seseorang petugas kebersihan di depannya, petugas kebersihan yang terlihat asing di matanya.

"Siapa? Pegawai baru kah, tapi kenapa aku tidak tahu," batin Queeneira melihat petugas di depannya, disertai dengan ringisan pelan.

"Maaf Nona, maafkan saya," kata si petugas kebersihan dengan badan membungkuk.

"Tidak apa-apa, lain kali kalau bawa alat kebersihan hati-hati," ucap Queeneira menasehati, sambil mengusap lengannya yang masih merasakan nyeri.

"Sepertinya terkena alat kebersihan," batin Queeneira menebak.

"Baik, Nona," sahut si petugas masih dengan menunduk.

Kemudian Queeneira pun kembali melangkah keluar dari lift dan meninggalkan si petugas yang masih menunduk, hingga pintu lift tertutup barulah si petugas kebersihan ini berdiri tegak, lengkap dengan senyum miring terpasang apik di wajahnya.

"Cantik, nanti kita bertemu lagi," gumamnya dengan seringai aneh.

Bersambung.