Chapter 5 - Gadis Yang Aneh

***

Alendra memakai jaketnya. "Kita pulang naik motor. Apa kau tidak keberatan?" tanya Alendra pada senja.

Senja menggeleng.

"Baiklah. Ayo," seru Alendra menyuruh Senja naik keatas motor besarnya.

Alendra melirik Senja yang kini sudah duduk di belakangnya. Namun pandangan Senja yang entah mengarah kemana. Membuat Alendra terkekeh pelan.

"Apa kau gugup?" tanya Alendra.

"Siapa juga yang gugup. Dasar kepedean," kesal Senja.

"Buktinya kau sedari tadi diam," goda Alendra.

"Aku hanya malas berbicara denganmu," sarkas Senja.

"Ya ya ya. Terserah kau saja. Buruan pegangan," ucap Alendra sembari memakai helm-nya.

"Jangan modus. Buruan jalan,"

"Hey! Siapa bilang aku Modus? Aku hanya ingin memastikan, jika penumpangku aman," ucap Alendra.

"Alesan," sarkas Senja.

"Terserah kau saja," ucap Alendra mulai menghidupkan motornya.

Trek!

Greep!

Alendra dengan sengaja langsung menacap gas motornya. Membuat Senja memeluknya.

"Apa kau tidak bisa membawa motor?" kesal Senja yang hampir terjatuh.

"Aku kan sudah menyuruhmu pegangan. Jadi bukan salahmu jika kau terjatuh," ucap Alendra.

"Setidaknya jangan mengejutkan 'ku," ucap Senja masih kesal. Namun tangannya masih setia memeluk pinggang Alendra.

"Terserah kau saja. Yang penting kita selamat," ucap Alendra sembari tersenyum kemenangan.

"Selamat bapakmu. Hampir jatuh masih bilang yang penting selamat," celoteh Senja.

"Baru hampirkan? Belum jatuh? Ya udah sih jangan marah-marah," kekeh Alendra.

Alendra terus menjalankan motornya hinngga mereka tiba di sebuah danau yanga sangat indah.

Alendra mengehentikan motornya di bawah pepohonan besar. Lalu mengajak Senja turun.

"Kenapa kita kemari?" bingung Senja.

"Sudah. Ayo ikut." Alendra menarik tangan Senja untuk duduk di pinggir danau.

"Aku tau. Kau sangat butuh ketenangan. Makanya aku membawamu kemari," ucap Alendra.

"Sok tau," ketus Senja.

"Kau bisa mencurahkan masalahmu di sini,"

"Aku tidak punya masalah yang harus aku curahkan," elak Senja.

Alendra menatap Senja dengan lekat. Wajah cantik itu bisa menipu banyak orang. Namun matanya seakan memaksa untuk di pahami.

"Lagi pula. Masalahku sangat sulit untuk di jelaskan dengan sebuah kalimat. Sangat rumit untuk di jelaskan seperti apa rasanya," lanjut Senja.

Alendra terus menatap wajah Senja. Membuat gadis yang di tatap mulai terganggu.

"Jangan menatapku seperti itu. Kau membuatku ingin membunuhmu," ucap Senja dan berhasil membuat Alendra tertawa.

"Ya ya ya. Aku jadi takut padamu," ledek Alendra dan memutar pandangan menatap danau.

"Apa kita bisa tetap di sini sampai sore?" tanya Senja.

"Tentu. Tapi apa kau tidak lapar?" Alendra balik bertanya.

Senja memutar pandangan ke arah Alendra. "Apa kau lapar?" Senja pun ikut bertanya.

"Sedikit," ucap Alendra.

"Kalau begitu ayo kita makan," ajak Senja.

"Tapi. Kau kan ingin di sini," ucap Alendra.

"Akan sangat merepotkan jika kau mati di sini," ucap Senja dan berdiri mendahului Alendra. Sedangkan Alendra hanya tertawa dengan tingkah Senja.

"Kadang kasar. Kadang tegas. Kadang lemah. Kadang baik. Bahkan kadang jahat," gumam Alendra menatap Senja yang berjalan kearah motornya.

***

Di dalam ruangan Osis. Masih banyak anggota osis yang belum pulang, di karnakan masih banyak hal yang harus mereka bahas.

"Ka!" panggil seorang gadis cantik pada Arka yang tengah sibuk dengan bukunya.

"Dara!" lirih Arka kala menatap gadis yang memanggilnya.

"Ada apa?" lanjut Arka.

"Apa kau tau Senja di mana? Ponsel-nya tidak aktif. Aku takut terjadi sesuatu padanya." lirih Dara.

"Senja pulang bersama kapten basket dari kelas sebelah," jawab Arka.

"Siapa?" tanya Dara penasaran.

"Aku kurang tahu siapa namanya. Tapi sepertinya dia dekat dengan Senja," tutur Arka.

"Apa kau bisa menyusul mereka? Aku takut terjadi sesuatu pada Senja," panik Dara.

"Hey! Jangan panik begitu. Lagi pula Senja pasti bisa jaga diri. Nanti aku akan menelponnya. Kau pulanglah, biar Senja jadi urusanku," ucap Arka.

"Tap-"

"Ra!—" Arka memegang tangan Dara, "—Senja pasti baik-baik saja. Aku akan menjaganya," ucap Arka.

"Makasih." Dara tersenyum.

"Aku kira kau menyukaiku. Ternyata aku salah," gumam seseorang yang menatap keduanya. Lalu ia pergi begitu saja.

"Kalau begitu aku ingin menemui seseorang sebelum pulang. Dah," ucal Dara dan pergi meninggalkan Arka.

"Hati-hati,"

Dara berjalan menuju sebuah aula yang ada di sekolah itu, dengan menenteng sebotol air mineral.

Dara tersenyum kala mendapati seorang pria tampan, dengan seraga Taekwondo duduk di sebuah kursi yang ada di aula itu.

"Untukmu," ucap Dara sembari menyodorkan air minum itu.

Pria itu menatap Dara datar. Ia kemudian berdiri. Pandangannya masih tak terbacakan.

"Tolong jangan beri aku harapan dan rasa nyaman, jika niatmu hanya sekedar berteman," lirihnya lalu berjalan melewati Dara.

"Bara!" panggil Dara. Sontak pria yang di panggil pun menghentikan langkahnya.

"Jangan terlalu baik padaku, karena aku tidak bisa menjamin hatiku untuk tidak menaruh rasa padamu," lanjutnya tanpa menoleh, lalu pergi meninggalkan Dara.

"Ada apa dengannya?" gumam Dara bingung.

Bara Delfano Pradipta. Salah satu mahasiswa yang merupakan ketua club Taekwondo. Bara juga salah satu teman terdekat Dara. Namun tanpa Dara sadari perasaan Bara berubah seiring waktu mereka bersama.

****

Hari sudah semakin sore. Sinar mentari mulai berubah jingga. Burung-burung mulai berterbangan untuk kembali kesarangnya. Lagit biru mulai berubah gelap.

"Kapan kau mau pulang?" tanya Alendra pada Senja yang masih menayap matahari yang mulai terbenam.

"Sampai ia pulang," lirih Senja tanpa menolen ke arah Alendra.

"Mungkin akan sangat menyenangkan jika menjadi matahari. Bisa datang dan pergi tanpa membawa beban," lirih Senja.

"Tidak seperti bulan. Yang bersinar sepanjang malam tapi kesepian," lanjut Senja.

"Kau salah," timpal Alendra, dan membuat Senja menatap bingung ke arahnya.

"Terbit dan terbenamnya matahari memang di nantikan, namun di tengah-tengahnya hari banyak yang mengeluh atas panasnya matahari. Berbeda dengan bulan. Meski sinarnya redup, namun ia mampu menenangkan hati siapa saja yang menatapnya," ucap Alendra.

Senja menatap Alendra dengan sejuta tanya.

"Jangan menilai sesuatu dari kelihatannya, tapi kenali sesuatu itu, baru kau beri penilaianmu," lanjut Alendra.

"Kau puitis juga," ucap Senja.

"Aku tidak puitis. Aku hanya melihat itu darimu," ucap Alendra.

"Maksudmu?" bingung Senja.

"Aku tahu kau punya sisi indah layaknya sinar senja di balik sikap kasar dan pendiammu," ucap Alendra

"Sudah, ayo kita pulang," ucap Senja yang langsung berdiri.

"Kenapa terburu-buru?" tanya Alendra.

"Banyak tanya. Mau nganteria apa tidak sih?" kesal Senja.

"Iya iya. Ayo kita pulang," ajak Alendra segera.

Alendra pun menaiki motornya dan di ikuti Senja.

"Apa kau tidak mau pegangan?" goda Alendra.

"Jangan jari masalah lagi. Buruan jalan, sebelum aku berubah pikiran," kesal Senja.

Alendra hanya meng'iyakan. Karna percuma saja. Jika dia terus memaksa. Senja akan tetap menolak.