Chereads / My promise / Chapter 23 - chapter 22

Chapter 23 - chapter 22

Happy reading,

" Damn!! kau benar - benar gila Ritz! " seru Kenta sambil mengelengkan kepalanya frustasi.

" ... "

" Bastard julukan yang pantas untukmu! apa kesalahan gadis itu??! apakah dia berhasil menyerangmu hingga terluka?! kau punya dendam dengannya?!! " cecar Kenta emosi

" Jangan mencampuri urusanku! " sahut Ritz sambil mengerutkan keningnya tak suka.

" Persetan dengan urusanmu! " bantah Kenta sambil menghembuskan nafasnya dengan kasar.

" Bagaimana keadaannya sekarang? " tanya Ritz dengan cuek,

" Lihat saja sendiri! " jawab Kenta

" Apa gunanya aku membayarmu, jika kau tidak bisa memberitahukanku tentang keadaannya. " seru Ritz sambil menyeringai sinis,

" Shitt!! " maki Kenta.

Kenta tidak pernah bisa menebak apa yang sedang dipikirkan atau direncanakan sahabatnya itu. Ia berharap dengan adanya keberadaan Louise dirumah itu dapat membawa perubahan yang lebih baik untuk sahabatnya.

Namun Kenta tidak mengira sama sekali bahwa Ritz akan menghukum Louise karena masalah yang menurut Kenta dapat diselesaikan secara baik - baik.

" Luka sobek di punggungnya agak dalam, beberapa tempat kehilangan potongan daging, butuh waktu lama agar lukanya mengering dan luka itu akan meninggalkan bekas apabila sudah sembuh! Akan bertambah bernanah dan membusuk jika tidak dirawat dengan benar! " ucap Kenta pada akhirnya mengalah.

Mendengar penjelasan Kenta saat itu, tidak ada perubahan di wajah Ritz, ia hanya duduk diam seolah - olah ia hanya mendengar ramalan cuaca hari ini.

" Huft! Kau akan menyesalinya suatu hari nanti " gerutu Kenta dengan jengkel, ia akhirnya melangkah meninggalkan Ritz sendirian di ruang kantornya.

Brakk!!!

Terdengar nyaring suara pintu di banting oleh Kenta dengan keras. Tetapi hal itu tidak membuat Ritz terusik,

" Menyesal?!! Aku??! " bisik Ritz sambil tertawa geli,

***

Sejak kejadian itu Louise memilih berdiam diri di kamarnya, ia selalu duduk termenung di atas kasur atau memilih berdiri di beranda kamarnya menikmati angin malam.

Seperti malam ini saat angin melambai menerpa wajahnya yang pucat namun tidak mengurangi kadar kecantikannya. Beberapa anak rambut berkeliaran mengikuti arah mata angin.

Matanya meredup kehilangan cahayanya, pikirannya menerawang entah kemana. Tanpa di sadarinya bulir - bulir air mata mengalir turun tanpa di undang, hatinya terasa mati rasa.

Luka di punggungnya masih basah namun ia memaksakan diri untuk beranjak dari kasur empuknya.

" Daddy.. bawa aku.. " bisik Louise lirih.

Malam semakin larut, sinar bulan sibuk menerangi awan gelap tanpa di temani bintang - bintang. Dan Louise masih betah berada di beranda kamarnya, tidak berniat memasuki kamarnya walau suhu di luar sudah membuat tubuhnya menggigil kedinginan hingga bisa membekukan tulang.

Kemudian Louise mengalihkan pandangannya yang kosong ke arah sebuah gelas susu yang berada tidak jauh darinya. Susu yang tadi sore dibuatkan oleh bibi Iori untuknya. Ia menghampiri dan meraih gelas tersebut, menuang seluruh isinya ke dalam pot tanaman dan membenturkan gelas itu dengan wajah yang tersenyum.

Prang!!

Suaranya tidak begitu nyaring namun berhasil membuat gelas itu pecah terbelah menjadi beberapa potongan. Tangan kanannya yang putih tanpa cacat terulur mengambil sebuah potongan gelas yang paling lancip dan tajam.

Ia lekatkan potongan gelas tersebut di leher mulusnya tepat dibawah rahang sebelah kiri. Sambil tertawa samar ia menekan dengan keras berharap ia bisa menyelesaikan semua penderitaannya.

Tekanannya yang keras berhasil merobek kulit lehernya hingga darah segar mengalir. Tidak ada rintihan yang keluar dari bibir mungilnya yang ada rasa kesenangan yang tergambar jelas di wajahnya.

Darah terus mengalir deras sehingga wajahnya berubah menjadi pucat seputih kapas, tangan kanannya sudah turun kebawah menandakan tidak ada lagi kekuatan yang tersisa. Tubuhnya sudah luruh hingga terbaring di atas lantai, genangan darah sudah mulai menggenang

" Bawa aku " bisiknya, pada akhirnya kegelapan mulai menggerogoti dirinya.

***

Sementara itu di lain tempat, Ritz yang masih sibuk dengan dokumen - dokumen perusahaannya merasakan kegelisahan untuk pertama kalinya. Ia tidak tahu mengapa hatinya tidak tenang sejak mendengar perkataan Kenta tadi sore.

" Shitt!! Brengsek kau Kenta!! " maki Ritz dengan kesal,

Saat itu juga Ritz memutuskan untuk membereskan pekerjaannya yang tercecer diatas meja dan tergesa - gesa meninggalkan ruangan kerjanya. Ia berpikir untuk melanjutkan lagi keesokan harinya.

Setengah jam waktu yang ditempuh oleh Ritz hingga sampai di rumahnya. Ritz langsung membuka pintu dengan kunci rumah yang ia miliki, karena mengetahui bahwa jam segini biasanya semua pelayan sudah kembali ke mansion khusus pelayan yang berada di halaman belakang rumahnya ini.

Keheningan menyambut kepulangannya, setelah ia membuka jasnya dan melemparnya ke atas sofa yang berada di ruang tamu. Ritz langsung menuju ke sebuah ruangan yang selama ini ia hindari.

Ia langsung membuka pintu ruangan tersebut karena tidak dikunci oleh pemiliknya. Ritz mengalihkan pandangannya ke sekeliling dan berhenti di atas kasur yang masih rapi karena tidak ada pemiliknya.

Ritz memutuskan masuk untuk mencari keberadaan Louise di kamar mandi, namun hasilnya nihil, tanpa sadar kedua tangannya mengepal erat lalu ia melihat ke arah pintu yang menuju beranda dalam keadaan terbuka. Ia pun melangkah mendekati beranda tersebut.

Matanya membelalak kaget melihat pemandangan yang ada dihadapannya. Ritz langsung berlari menghampiri dan berjongkok meraih tubuh Louise yang mulai mendingin.

" Shitt!!! Louise! Louise! " desak Ritz khawatir sambil menekan kencang luka di lehernya. Ia langsung mengangkat tubuh Louise dan membawanya segera ke tempat ia memakir mobilnya.

Ritz memutuskan memangku Louise dengan satu tangan menekan luka yang berada di leher Louise, dan satu tangan lagi ia gunakan untuk memegang setir.

" Please.. Bertahanlah " gumam Ritz berusaha tidak panik berlebihan agar ia bisa konsentrasi meyetir.

Tidak ada waktu untuk memanggil pelayan atau supir saat ini, jadi ia memutuskan membawa louise sendiri ke rumah sakit milik Kenta. Dengan kecepatan tinggi ia membawa mobilnya tanpa peduli dengan rambu - rambu lalu lintas.

Sesampainya di rumah sakit, Louise langsung di bawa ke ruang UGD. Setelah itu Ritz memutuskan menghubungi Kenta sahabatnya agar dapat menolong Louise. tidak lupa ia menghubungi kepala pelayan agar membersihkan kamar Louise.

Ritz langsung duduk lemas di lantai tepat di depan pintu ruangan di mana Louise sedang ditangani, ia menundukkan kepalanya menahan rasa pusing yang melanda. Ritz belum mau kehilangan gadis itu, ia merasa bersalah, bingung dan khawatir disaat bersamaan. Saat ini Ritz tidak memperdulikan penampilannya yang acak - acakkan, dan penuh darah louise hanya satu yang saat ini ia inginkan gadis itu selamat.

Tidak lama terdengar derap langkah kaki di koridor rumah sakit, Kenta yang saat itu tergesa - gesa hanya melirik sekilas ke arah sahabatnya yang terduduk di lantai. Tanpa membuang waktu ia langsung melewatinya dan memilih segera memasuki UGD untuk menyelamatkan nyawa Louise.