Rojali tersenyum puas memandang hamparan padi yang sudah mulai menguning. Ia melangkahkan kaki dan menghampiri sebuah motor antik yang terparkir tak jauh dari area persawahan untuk kembali pulang ke rumahnya. Tak ketinggalan, Ia mengenakan kembali jaket kulit dan kacamata hitamnya.Â
Tuan tanah itu terlihat segar bugar meski sudah tidak muda lagi. Ia termasuk manusia paling kaya di kota kelahirannya. Janda-janda muda, janda ditinggal mati suami, janda ditinggal minggat, janda karena cerai, dan segala macam janda dari seluruh penjuru kota yang pernah melihat Rojali tidak mungkin tidak terpikat. Mereka rela bertekuk lutut asal dinikahi oleh konglomerat tuan tanah itu.
Tak hanya berhektar-hektar sawah yang Ia miliki, perkebunan kelapa hingga pisang, perkebunan tanaman obat-obatan herbal, rempah-rempah, hingga bengkel sepeda ontel Ia miliki. Tak ada yang tak tahu bahwa Ia kaya raya. Orang-orang luar kota pun mengetahui bahwa Ia lah pemilik pabrik rokok ilegal tanpa izin pemerintah yang hingga kini dikonsumsi masyarakat karena rasanya enak, yang satu ini tidak banyak diketahui orang-orang di sekitarnya.
Di persimpangan gang menuju rumahnya Ia berpapasan dengan Yoyon, tetangga salah satu mertuanya. "Eh, Pak Dhe," ujar Yoyon bermaksud menyapa. Rojali menoleh dan menyunggingkan senyum kepada Yoyon, lalu Ia menghentikan sepeda motornya.
"Yon, ngopi-ngopi dulu yok," seru Rojali dengan gaya anak muda.
"Udah sore, Pak Dhe," sahut Yoyon.
"Lho, justru udah sore, enaknya ngopi," ujar Rojali. Keduanya pun akhirnya memutuskan duduk-duduk manis di kedai Mbok Minah yang sudah sepi pengunjung.Â
"Anaknya sudah berapa, Pak Dhe?" Tanya Yoyon setelah beberapa saat.
"Sudah, sudah berapa ya. Aku lupa, Yon," jawab Rojali sambil menerawang.
"Masa lupa sama anak sendiri, Pak Dhe," tanggap Yoyon seraya tersenyum.
"Tujuh belas mungkin, tujuh belas rakaat, hahaha," ujar Rojali sambil tertawa.
Yoyon pun ikut tertawa meski menurutnya jawaban tersebut sama sekali tidak lucu. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Rojali memiliki banyak anak yang tentu saja ketujuh belas anak tersebut bukanlah lahir dari satu rahim. Rojali gila wanita! Mungkin itu yang dikatakan oleh orang-orang. Tapi Yoyon tahu betul apa yang sebenarnya terjadi.
Pada suatu hari saat Rojali mengunjungi rumah Ratih, istri terakhir yang dinikahinya, terjadilah hal yang sangat keji. Waktu itu Ratih tidak ada di rumahnya. Rojali pun bergegas keluar dan mengetuk pintu rumah lain, rumah Wati, adik Ratih yang tak kalah cantik dari kakaknya. Tepat saat membukakan pintu rumah, Wati hanya menggunakan selembar jarik yang dikembenkan menutupi dada hingga pahanya.
Wati terkejut bukan main, Ia kira yang mengetuk pintu adalah Ibunya yang pulang dari pasar pagi. Rojali menyeringai sekilas, namun setelahnya keluarlah ucapan semanis madu dari mulutnya. "Wat, lagi nyuci? Rajin banget."
"Mbak Ratih tadi ke Rumah Sakit pagi-pagi, Azna demam," ujar Wati gelagapan. Ia bimbang antara harus lari ke dalam rumah atau membiarkan kakak iparnya masuk ke dalam sementara Ia di rumah sendirian. Namun, akhirnya Ia membiarkan Rojali duduk di ruang tamu sementara Ia melangkah ke dapur untuk membuatkan minum.Â
Hal yang tidak Wati duga dan sangat menakutkan akhirnya terjadi. Rojali menyergapnya dari belakang. Mulutnya dibungkam sapu tangan bajingan itu, tangannya tak sanggup meronta dari cengkeraman lelaki bak kesetanan tak punya adab.
Dalam hitungan menit, hancurlah sudah jiwa Wati. Ia menjadi perempuan belia korban pemerkosaan kakak iparnya sendiri. Siang malam Ia menangis tapi tiada guna. Ibunya yang sibuk banting tulang demi menghidupi Wati dan anak bungsunya, tak tahu sama sekali perihal itu. Wati pun tak berani bicara pada siapapun termasuk pada Ratih.
Semua sumpah serapah, penyesalan, perih, takut, dan hancur Ia simpan rapat-rapat dalam jiwanya yang terluka. Hanya air mata dan sedu sedan yang Ia keluarkan di belakang Ibunya. Wati tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Ibu dan Kakaknya jika nanti mereka tahu hal ini.
Tiga bulan kemudian Wati tak dapat menyembunyikan rahasianya, Ia mabuk parah karena mengidam. Orang-orang di sekitarnya mulai curiga dan bertanya-tanya. Ibunya pun merasa bagai disambar petir di siang bolong, putrinya yang tak pernah keluar rumah positif hamil. Saat Wati diminta keterangan oleh keluarga besarnya, dengan bersimbah air mata Ia menjawab, "Mas Rojali yang melakukan ini padaku."
"Sialan. Keparat Bajingan itu!" Geram Ratih. Ia marah besar pada suaminya. Ia tahu semua itu bukan salah Wati karena adiknya bukanlah perempuan nakal. Tapi Ia tetaplah perempuan yang bisa merasakan sakit hati, walau Ia kasihan pada adiknya dan marah besar pada suaminya, Ia juga marah pada situasi ini. Ia sangat benci situasi sialan ini.
"Nikahi saja Rojali, Wat," ujarnya putus asa.
"Bagaimana bisa?" Jawab Wati dengan polos, tentu saja karena usianya baru delapan belas tahun.
"Aku akan minta cerai."
Lagi-lagi Wati hanya bisa menangis mendengar keputusan Kakaknya. Sidang perceraian Ratih dan Rojali berjalan sangat lancar karena Rojali tidak pernah menghadiri sidang. Entah apa yang ada di pikiran Rojali hingga Ia melakukan hal segila itu, Yoyon tahu semuanya. Pemuda yang masih mau melajang di usia tiga puluhan tahun itu tidak heran sama sekali dengan apa yang dilakukan Rojali.
Kejadian antara Rojali, Wati, dan Ratih tersebar ke berbagai pelosok kampung. Di antara mereka ada yang berdesis menyumpahi kelakuan Rojali, ada yang mengucapkan kasihan pada Wati, ada yang menyayangkan kebodohan Ratih, ada juga yang mencaci Wati.
Ratih melahirkan tiga anak saat masih bersama Rojali, yang paling muda dinamai Azna. Ia tidak tinggal bersama Rojali karena suaminya itu memilih tinggal bersama istri pertamanya di kampung yang berbeda. Meski begitu, uang belanja untuk Ratih dan anak-anaknya tak pernah dilupakan Rojali.
Wati, sebagai seorang adik yang sadar telah menyebabkan rumah tangga kakaknya hancur berkeping-keping, tidak tahu harus berbuat apa. Rojali menikahinya secara siri karena didesak keluarga besar Wati. Ia hanya bisa pasrah telah disahkan sebagai istri Rojali yang ke tujuh. Tidak salah! Rojali telah mempersunting perempuan sebanyak tujuh kali.
"Aku dizalimi Rojali, Bajingan Tukang Pelet! Suatu hari nanti aku akan hidup bahagia dan kebusukanmu terungkap," desis Ratih.
Delta dan Desva, anak kembar Ratih yang baru masuk Sekolah Dasar tidak tahu apa yang terjadi pada Ibunya, yang mereka lihat hanya Ibunya menangis setiap malam bukannya menonton sinetron seperti biasanya.
"Mah, Mamah kenapa sih, Mah?"
"Bapakmu bajingan Del, Bapakmu bajingan!" Ratih meremas koran bekas bungkus donat di meja makan. Desva dan Delta saling memandang.
Ratih bukan tidak tahu bahwa Rojali dari dulu memang tidak beradab, tapi demi ekonomi keluarga Ia memaksakan diri untuk menerima rayuan lelaki itu. Lagi pula, Rojali pernah menggarapnya saat mereka dimabuk kepayang oleh bayang-bayang cinta.
***