Chereads / Triangle! ( Trio Cynical Women) / Chapter 4 - Cancel dinner

Chapter 4 - Cancel dinner

STELLA!

Sejam yang lalu setelah Galih akhirnya mengalah, meninggalkan aku dirumah bersama Niken dan Lulu.

Suasana kamarku kini hening, hanya ada suara angin bertiup keluar masuk dari jendela kamarku. Niken yang sibuk berbicara dengan sesorang by phone di balkon, dan Lulu yang sibuk baca artikel beauty of the day. Sementara aku masih dengan perasaan jengkel. Mencoba menenangkan jantung ku yang sempat ingin meledak.

"Udah ketemu apa yang lo mau di sekolah doi Stell?" tanya Niken yang tiba-tiba, membuatku tercengang dengan dia yang sudah rebahan disebelahku.

Aku menarik nafas lalu menghembuskannya kuat. Aku berpikir sejenak sebelum menjawab Niken "Belom Nik!" ucapku.

"Ehh gue kepo dong stell." timpal Lulu sembari mendorong badannya dengan kedua sikunya agar mendekat ke sebelahku dan Niken.

Aku memicingkan mata melirik Lulu dengan halis sebelah terangkat "What's That ?" tanyaku menatapnya serius, mengisyaratkan rasa penasaran.

"Lo sama Galih gimana sih ?" Lulu lebih mandekatkan diri padaku, dengan posisi badan telungkup dan menopang dagunya dengan kedua tangan menatapku serius menunggu jawaban atas pertanyaannya.

Gak ada jawaban apapun yang diterima Lulu dariku atas pertanyaannya. Aku hanya memejamkan mata dan Niken malah menambah dingin situasi dengan hembusan napasnya yang lebih dahsyat seolah sedang membuang beribu beban yang mengoyak hatinya.

Finally, Lulu memilih memposisikan kembali badannya normal, membiarkan kedua matanya menatap langit-langit kamarku, yang biru dalam balutan cahaya beberapa bintang yang sengaja aku desain seolah sedang berada dibawah langit dalam alam bebas.

Sempurna, kami bertiga larut dalam keheningan. Sampai akhirnya Lulu pamit ingin ke dapur mengambil softdrink.

"Fredericha Stella Kill.." panggil Niken tiba-tiba.

Aku tercengang mendengar sebutan itu. Seketika mataku sudah melek dengan bulatan total bak bulan sedang purnama terang.

'My complite name.' batinku.

Aku menoleh tepat sebelah kanan dan disitu tersisa Niken---aku tatap dalam kedua mata gadis disebelah aku---memperjelas maksud dari sapaannya barusan.

"Why Niken Anjani sitohang.?" jawabku. Sengaja, aku balas sapaan dia dengan nama lengkapnya pula, biar dia rasakan hal sama sepertiku. Sontak saja dia tersenyum getir.

"I hv one, eh two eh three, question for you" Ujar Niken terbata-bata.

Aku menertawainya "Apaan sih, one two or three. Perjelas Gaje" sindirku.

"Sejak kapan si cewek sinis disebut Gaje. Enak aja!" ucapnya protes.

Aku menambah lebar bibirku, beberapa centi membentuk sebuah senyum ejekan untuk Niken ."lusih!" kataku.

Niken menyeringai "Gue Niken bukan Lusi ! Lusi mah mantannya si cunguk Gabriel." sangkalnya.

Aku bergidik, merasa aneh dengan pernyataan Niken "Hih apaan sih pakek salah alur ke Mr. Gabriel Lo itu." cecalku.

Niken terkekeh, dan aku mendorong bahunya keras ''Sakit woy'' ucapnya meringis dan aku kembali menertawainya.

"Serius Stellaaaaa.." ucap Niken kembali menatapku serius---terlihat dari mimik wajahnya saat ini yang seperti sedang menjawab soal fisika Pak Sulaeman---Super tegang.

Aku menghela napas pendek "Ok. Lets ask !!" ucapku kemudian mencoba menenangkan batin sebelum mendengar pertanyaan dari Niken.

"Emmm.... Lo, Emm gimana yah gue ngomongnya." ucapnya terbata-bata.

Bahkan Matanya berkedip-kedip, dan aku tahu Ia sedang ingin membenarkan pikirannya yang kalut.

Aku menepuk pelan pundaknya "Lo gak usah mikir ngomong gimana, To the point aja, Lo mau Nanya apa ke gue. Simple kan." Ucapku meyakinkannya.

Niken berdehem singkat "Ok. Bismillah.. Gimana sebenarnya perasaan lo, saat mengetahui nyokap bokap lo akhirnya memilih divorce?"

Niken sudah melayangkan pertanyaannya dengan satu kalimat panjang yang dia ucapkan dalam satu helaian napas like seorang pria hendak mengucap ijabqabul dalam pernikahan. Sontak saja aku tercengang.

"Waktu itu gue pikir kalo mungkin ada baiknya jantung gue mendadak stop. Gak usah bekerja lagi."

Begitulah akhirnya aku menjawab Niken!

Niken mengelus lembut pundakku "Sakit banget yah Stell??" tanyanya dengan dahi berkerut. aku tahu Niken pasti sangat hati-hati menanyakan itu.

Aku juga bisa menebak. Niken pasti membutuhkan beberapa hari untuk berani menanyakan hal itu.

Niken tahu, itu adalah luka buatku!

Seketika air mataku tumpah membasahi pipi tanpa aba- aba "More than apapun Nik" ucapku terisak.

Niken menatapku ibah "Sorry yah gue bukan maksud pengen ngungkit masalalu cuman gue pengen aja Lo berbagi. Talking to us everything Stell. We are bestfriend, right ??"katanya.

Kalimat Niken membuat aku tersentuh. Yah bagaimana mungkin aku tetep menjaga rahasia ini! Padahal aku punya Niken dan Lulu yang selalu berbagi segala hal padaku.

"Sebulan lalu, Sebelum akhirnya lo kembali sekolah. Gue sama Lulu selalu nge check ke rumah. Sekedar mencari tahu apa yang terjadi, tapi nihil. Kita gak dapet apapun. ART lo pun dipecat semuanya. Kita bingung harus nanya ke siapa. Uncle hondsome gak pernah ada dirumah, kalo nyokap dan lo---" Niken berhenti sejenak entah menimang apa?

"Kita tau emang lo berangkat ke Melbourne mendadak." lanjutnya.

"Sorry gue bener-bener kalut saat itu. Gue dipaksa nyokap ikut dia, sampai gak bisa pamit ke kalian. Gue bahkan gak dikasih izin megang handphone soalnya nyokap takut gue hubungin bokap." aku memberi penjelasan pada Niken dengan suara yang mulai serak.

"Stell. . " sapaan Niken selalu membuatku merinding---terlalu halus---menyentuh tepat ke lubuk hatiku paling dalam.

"Apa yang terjadi dengan mereka, your parents?" Tanya Niken lagi namun kali ini aku tahu Niken menanyakannya dengan penuh kehati-hatian---takut aku teringat kembali rasa sakit itu.

"I dunno Nik. All about them , scaring me. I think more good if they are Kill me." Jawabku penuh emosi.

Niken tak ingin aku larut dalam masalah sebulan lalu tentang alasan orangtua aku bercerai. Dia memelukku erat, sambil membisikkan sesuatu " Its ok Stell. Im always still here for you. Whenever."

****

LUISA!

Di kamar, Stella dan Niken saling larut dalam kesedihan sedangkan aku malah asyik dengan duniaku saat ini in the kitchen, menghamburkan beberapa snacks diatas bartender dan mengacak-acak isi kulkas mencari apalagi yang bisa aku santap.

Hingga beberapa menit kemudian---suara bell berbunyi---aku bergegas menuju ruang tamu hendak membuka pintu.

"Maklum di rumah segede ini gada satupun ART.

Glek!

Aku membuka lebar pintu, dan muncul seorang pria dari balik pintu menerobos masuk tanpa permisi, melewati begitu saja aku yang berdiri di ambang pintu.

"Eh eh eh. Stop !!!" aku mempercepat langkah menahan langkah pria yang baru saja menerobos masuk. "Mau kemana maen masuk seenaknya aja!" Cegahku.

"Icha mana icha..." pria berjaket jeans itu melirik-kanan-kiri mencari seseorang dan aku mengikuti arah pandangannya.

"Lo maling yah ??" tuduhku dengan Gaya Zuper Sinisku.

Belum sempat dijawab oleh si pria itu aku menambah celotehanku lagi.

"Lo nglirik rumah Stella cari pintu jalan buat nyolong yah.! Pakek acara salah nama pula. Gak ada yang nama Icha disinih." tuduhku seenaknya pada pria itu.

Dan pria itu tidak meresponku sama sekali Ia malah terus berlalu melewati gue "Bacott, cari sana majikan lo gue perlu. Sekarang !!!" Bentaknya.

"Emang gue pembokat. Hiks cari aja sendiri !!!" Ucapku berkacak pinggang berdiri menghalangi Pria itu.

"Bener nih gue masuk!" ancam Pria itu padaku dan terus melihat jauh kedalam rumah Stella.

"Eh eh stop. Wait here. Jangan Masuk. Stay here. Enjoy jangan macem-macem cctv ada dimana-mana." Aku melenggang meninggalkan Pria aneh itu di ruang tamu menuju lantai atas kamar Stella.

"Stell.." teriak kù sembari berlari kecil menuju kamar Stella.

"Yapp." Jawab Stella.

Suara ku membuyarkan keheningan Stella dan Niken. Dan aku melihat Stella menghapus sisa bulir air mata yang merusak makeupnya, sementara Niken membenarkan posisi duduknya.

"Noh ada tamu serem." ucapku ngos-ngosan setelah sudah berdiri disisi Stella.

Halis Stella berkerut "Huh, serem gimana LuL? " tanya Stella menatap penasaran padaku.

"Badface gitu yah LuL ?" Niken menambahkan.

"Bukan. Bukan itu ! Tapi si pria berjaket itu nyelonong masuk." terangku lagi dengan wajah panik.

"Lu gak nahan. Jangan sampe maling." Tukas Niken.

"Jelasin spesifiknya Luyysa." pinta Stella tegas.

"Lumayan tingginya---bb'nya sesuai tinggilah---Kulitnya putih blasteran keknya---matanya coklat---rambutnya dikuncir." ucapku menjelaskan dengan semangat di ambang pintu---tanpa banyak bertanya lagi Stella mengangkat malas tubuhnya. Hendak menemui pria aneh dibawah sana. Dan menyebutkan 1 kata. "Rimba !!"

"What ?" aku terkekeh merasa lucu dengan kata Rimba yang diucapkan stella.

"Urgen Lul. Yuk ." Tambah Niken sambil melenggang melewatiku yang memang sudah pernah mendengar nama Rimba sebelumnya.

"Apaansih. Woy. At least jelasin ke gue dulu. Apaan Hutan Rimba. What the mean. Hey. Nikeeeennnnnnn..." aku merasa kesel dengan kedua sahabatku itu, tidak satupun dari keduanya mau menjawab pertanyaanku.

Terpaksa aku memilih menjatuhkan tubuhku malas ke sleeping bed.

****

STELLA!

Aku menuruni tiap anak tangga sambil melihat sinis pria yang sudah duduk dikursi ruang tamu.

"Lo ngapain kesini ?" aku berkacak pinggang dihadapan Rimba.

Ohya Rimba adalah my stepbrother. Anak dari Mrs. Tania. Istri baru Bokap. Usianya sekitar 20 tahun gitu, anak kuliahan, 4 tahun diatasku. Ini untuk kedua kalinya, aku bertatap muka dengannya setelah pernikahan sebulan lalu. aku tahu dia pernah tinggal dirumah ini waktu pernikahan awal bokap sama nyokapnya. Waktu itu aku dipaksa ke Melbourne sama nyokap.

Rimba bangkit dari tempat duduknya.

"Kalo lo takut gak usah sok tinggal sendiri pakek nyuruh nyokap gue transfer gue kesini." Ucapnya.

"Maksud lo apaan ?" aku tatap flat Rimba dengan mata melotot ingin mencakar dan mengacak-acak wajah sok gantengnya itu.

"Gue kesini mau jemput Lo.!" terangnya.

Mendengarkan perkataannya, aku mencoba menajamkan kuping berharap pendengaranku salah "Kemana?" Tanyaku kembali memastikan.

"Ke Tangerang" jawabnya masih berusaha sopan dan aku tidak suka lihat tampang sok baiknya itu.

"Ke rumah, lo ?" Tanyaku lagi sengaja biar dia semakin dongkol.

Kali ini Rimba menghembuskan Napas sebal "Iya, Rumah gue!" ucapnya ketus.

"Ogah !" Dan aku menolaknya mentah-mentah.

"Jangan rewel ayok. Gue banyak jobs gak cuman ngurusin urusan gak penting lo." ucap Rimba terlihat geram.

Dan tidak perduli, aku bahkan lebih ingin terlihat garang daripadanya "I said. NO WAY !!!" bantahku lagi.

"YES WAY. " ucap Rimba lebih menuntut dan semakin membuatku setres.

Dan ditengah perdebatan ku sama Rimba tiba-tiba Niken menyikut lenganku. Tanpa sadar ternyata sejak tadi Niken sudah mengamati perdebatan aku dengan Rimba dari bawah tangga.

Aku tahu jelas arti tatapan Niken padaku. Namun, aku hanya mengedipkan mata diselingi senyum kecil memberi isyarat agar Niken tetap diam. " It's Ok" ucapku padanya.

"Ayok cepetan. Jangan Lelet!" Perintah Rimba kembali dan sepertinya , Ia benar-benar ingin ribut denganku.

"Gak !!!" teriakku dan Rimba hanya menatapku tajam.

Ding dring ding dring ding ding.

Beberapa saat kemudian terdengar suara panggilan di handphone Rimba membuat Rimba mengalihkan tatapannya.

Rimba mengorek saku dan mengeluarkan handponenya. Lalu di sodorkanya hape itu padaku "Tuh bokap lo, ngomong sendiri." ucapnya--ku raih hape itu dan melenggang ke pentry menaiki kursi bartender.

****

NIKEN!

Ruang tamu yang tadi gaduh oleh dua anak manusia beraduh argumen. Kini tenang seolah disulap.

Aku yang masih berdiri tegap. Dan Rimba dengan enteng menaikkan kakinya diatas meja. Kini kami beradu tatap. Tatapan kami dingin. Sementara di tempat lain Stella sibuk beradu keinginan dengan Pak Killey (Bokapnya).

"Gak majikan gak ART sama sama Cynical. " ucap Rimba seolah menyindir aku yang berdiri dihadapannya.

"What??? ART ? GILa.... " jelas saja aku marah diriku disamakan dengan Art oleh Rimba. "Heh. Lo ngomong apa barusan??" Bentakku pada Rimba.

"Siapa yang ngomong orang lagi nyanyi." Rimba mengangkat kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman yang dapat diartikan sebagai ejekan.

"Nyanyi lagu siapa? Justin bieber yang judulnya ARt? Mana ada.. lagu marsmello "siniskel" gak pernah ada !" aku masih saja terus mengoceh dihadapan Rimba. Sedangkan Rimba tetap acuh.

****

STELLA!

Setelah beberapa menit beradu argumen dengan bokap, aku kembali keruang tamu dan memberitahukan keputusan ke Rimba. Rimba mengangguk malas. Lalu melenggang keluar meninggalkan rumahku.

And then, aku kembali ke kamar menikmati sleeping bed dan langit-langit kamar bersama dua orang personil the Trio Cynical. Tanpa perduli perasaan Lulu yang masih kesal.