LUISA!
Hari ini sesuai apa yang ku katakan pada Stella. Kalo aku akan kedatangan keluarga Nathan dirumah. Namun, rencana itu di ubah menjadi pertemuan penting. Makanya diadakan disalah satu hotel bintang lima Jakarta Pusat!
Janji makan malam yang diubah menjadi pertemuan penting antara dua keluarga, yang tidak lain adalah pertemuan untuk membahas kelanjutan hubunganku dan Nathan.
Berhubung Nathan sudah cukup mapan untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius, hal itu tentu di dukung oleh kedua belah pihak baik keluarga besar Nathan maupun keluarga besarku.
Nathan memang baru berusia 25 tahun, dan untuk ukuran Pria dia baru menginjak dewasa masih berada difase pengenalan, namun bicara soal pola pikir dan kerjaan ia sudah lebih dari cukup di katakan dewasa.
Selain ia sudah menyeleseaikan Studi Strata satunya di salah satu Universitas Malaysia, ia juga sedang menyusun proposal untuk beasiswa Strata duanya di University College London-Inggris.
Dan soal Kerjaan, ia adalah salah satu Pemegang saham Nomor dua terbesar di Perusahaan.
Untuk masalah masa depan jangan diragukan, ia sudah lebih dari sekedar bisa menghidupi Istri dan dua anak.
Keinginan terbesar kedua orangtua Nathan adalah sebelum Nathan keluar Negeri untuk melanjutkan study S2-nya, Mereka ingin Nathan sudah memiliki Istri. Agar disana Nathan ada yang menemani.
Namun, Aku tidak bisa jika harus menerima lamaran secepat itu.
YAH I mean, mungkin tunangan dulu itu akan lebih masuk akal, bukannya langsung menikah!
Aku bahkan belum menyelesaikan Sekolah Menengah Atasku, lalu bagaimana jadinya jika aku menikah ??
Aku masih ingin merasakan bangku kuliah bersama Stella dan Niken. Lagipula bukankah lebih baik Jika Nathan memiliki Istri yang juga mempunyai gelar?
Jika Nathan Ingin menjadi seseorang dengan nama yang besar maka aku juga ingin untuk melakukan hal yang sama. Paling tidak tunggu aku sampai selesai Strata satu (S1). Biar kami bisa hampir mendekati kata sejajar nantinya.
Dan saat ini di ruang meeting (restoran hotel), setelah menyelesaikan makan malam kami semua berkumpul, ada keluarga besarku dan juga Keluarga Besar Nathan.
Seperti yang ku bilang sebelumnya, permintaan atau lebih tepatnya rencana lamaran itu sudah ada dalam pembahasan sejak tadi ketika dinner.
Aku hanya diam mendengarkan para orangtua membahasnya. Begitu juga dengan Nathan, ia sepertinya sudah tahu maksud dari pertemuan malam ini.
Aku meninggalkan mereka semua yang masih asyik dengan pembahasan tentang rencana pernikahan. Yang ku tidak mengerti kenapa mereka semua membicarakannya tanpa bertanya lebih dluh pendapatku. Aku setuju atau tidak?!
Aku sekarang duduk disalah satu kursi santai kolam renang, tadi aku sengaja membawa sebotol Minuman Kaleng dari kulkas mini room--untuk sekedar menemaniku.
Ku rebahkan tubuhku dikursi itu sembari menikmati minumanku dan juga pemandangan diatas Langit--tidak ada bulan malam Ini, hanya ada beberapa bintang yang berkilau diatas sana. Cuaca memang sedang mendung, bahkan mungkin sebentar lagi akan hujan seperti dua malam sebelum-sebelumnya.
Aku baru saja memejamkan mataku, dan dalam keheningan aku mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat kearahku. Aku enggan membuka mata sebab aku tahu pasti suara langkah kaki siapa yang menghampiriku itu. Sampai akhirnya ia bersuara.
"Kamu bosan ?" tanyanya padaku dengan hembusan nafas berderuh ku dengar diujung kalimatnya.
Aku tidak menjawab pertanyaannya--aku malah semakin ingin larut dalam diamku.
"Kamu minum?" tanyanya lagi, Mungkin ia sudah melihat kaleng minuman di atas meja, pikirku.
"Sekaleng saja" jawabku masih memejamkan mata.
"Kamu membenciku?" aku tidak mengerti maksud pertanyaannya barusan--aku perlahan membuka mataku--ku lihatnya diKursi sebelahku. Ia duduk memandang ke arah kolam renang. Namun ku tahu jelas tatapannya kosong. Ia sebenarnya tidak sedang menyaksikan air didalam kolam renang itu. Entah pikirannya melanglang buana kemana.
Aku beranjak dari tidurku. Aku duduk dipinggiran kursi. Aku mengikuti arah pandangannya. Meskipun aku benar melihat air dan juga melihat sebuah lilin menyala disana.
"Kamu tahu aku ingin melanjutkan studiku, kan?" Kali ini ia bertanya dengan memandangiku.
"Aku tahu itu" jawabku sembari balas memandanginya.
"Bukankah tiga tahun lama jika aku harus pergi meninggalkanmu sendiri disini?" ia berpindah ke tempat dudukku.
"Aku gak apa, sebelumnya juga aku menunggumu" aku melihat matanya yang mulai memerah.
"Bagaimana Jika akhirnya kamu memilih untuk berhenti menunggu?"
"Kenapa kamu memikirkan itu?"
"Sekarang saja aku dan kamu seperti orang Asing, bagaimana nanti jika kita terpisah jarak dan waktu?"
Aku mendengus, kini Ia bukan lagi sebagai Nathan yg super percaya diri---kini tersisa tatapan takut darinya.
INSECURE lebih tepatnya!
"Dimana letak salahnya Nat??" Aku menggeleng tak mengerti maksudnya.
"Ok, kalo lamaranmu kemarin sudah membuatku tersenyum seperti orang gila. But itu karena perempuan siapa yg tak bahagia jika dilamar?" lanjutku.
Nathan menatapku semakin dalam sementara aku mengalihkan pandangan sembari bangkit meninggalkan kursi membelakanginya. Membiarkan Ia dengan keresahannya hanya menatap pundakku.
"Tapi lamaran bukan berarti kita langsung menikah, aku ingin hubungan yang normal, dua Tahun pacaran, lalu Tunangan, dan biarkan aku selesaikan studiku hingga aku hampir sejajar denganmu. Paling tidak aku mencapai strata satu, selanjutnya aku akan mengikuti maumu. Kita menikah!" Tandasku.
Tak lagi ada suara Nathan yang menyahutiku. Aku berbalik dan tak menemukan dia di kursi.
Entah Dia kemana?
Mungkin sedang terpuruk dengan keputusanku atau sedang berusaha merajuk pada orangtuaku, agar memaksaku menerima Pernikahan itu!
Aku mengabaikannya. Biarkan saja dia. Aku juga punya pilihan hidup sendiri. Bukan karena aku begitu tergila-gila padanya lalu aku harus menyetujui segalanya.
Aku juga ingin seperti yg lain. STELA dan NIKEN pun pasti sama . Mereka pasti akan mendukung keputusanku.
Mereka tak akan membiarkan aku menikah begitu saja tanpa melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
Walau aku dan Niken memang tidak mempunyai IQ sehebat Stella. Tapi kami tetap ingin Sekolah lebih tinggi.
Ada cita-cita yang Ingin kami gapai. Kami raih sebelum menjadi istri Seseorang.
Aku rasa keputusanku ini tepat. Meski membuatku hancur. Aku yakin akan ku temukan jawabannya.
Malam itu berakhir dengan kesedihan. NATHAN menghilang sementara aku tetap menyendiri di bawah langit tanpa atap. Tubuhku terguyur derasnya hujan.
Seperti perkiraan cuaca yang tadi ku lihat di Layar Ponselku. Akhirnya malam ini pun sama. HUJAN LEBAT.
Aku kedinginan. Merajuk dalam hati. Ingin rasanya Stella dan Niken menemaniku malam itu.
Namun entah kenapa aku tak kunjung menghubungi keduanya.
Apa karena aku butuh waktu sendiri??
ENTAHLAH.....
Malam itu pun berakhir dengan sendirinya.
Aku terbangun dengan pakaian yang utuh. Pakaian yang semalam menemaniku hujan-hujan nan.
Mataku sembab, sesembab-sembabnya. Aku tak tahu lagi apa yang aku rasakan.
Otakku hanya memikirkan dimana Nathan saat ini???
Apa yg sudah ku lakukan padanya??
Kenapa aku setega itu padanya???
Apa kah kami benar-benar berakhir setelah malam itu berakhir?
Aku bangkit dari tempat tidur. Berjalan keluar kamar--mencari siapa pum yang ada diluar. Namun, nihil tidak satu pun terlihat. Lagi aku berjalan memeriksa satu persatu kamar.
Namun, tetap sama tidak satu pun ku temukan.
Hotel yang semalam ramai oleh keluarga ku dan keluarga Nathan, kini begitu sunyi!
Apa yang terjadi???
Apa yang hilang dari ingatanku?
Bukan kah aku hanya berdebat dengan Nathan di taman belakang, hanya itu saja . Lalu kenapa semua orang tak terlihat...?
Aku terjatuh, terduduk lemas di lantai ruang tengah seorang diri. Aku menangis sejadinya.
"Dimana Ayah dan Ibu??"
"Dimana juga bang Regar???"
"Kenapa semuanya ikut hilang bersama Nathan??"
"Apa yang sebenarnya sudah terjadi?"
"Ada apa denganku?"
"Aku hanya minta waktu sebelum kami harus menikah! "
"Aku tidak minta untuk mengakhiri hubunganku dengan Nathan!"
"Tidak , sungguh itu tidak benar! Aku sangat mencintai Nathan. Lalu bagaimana mungkin aku akan memutuskan hubungan kami!"
"Itu benar-benar tidak masuk akal."
"Tolong. Siapapun yang mendengarku. Bantu aku."
"Kembalikan Nathan padaku."
"Sungguh yang terjadi itu bukan mauku. Aku sedang tak sadarkan diri aku sedang mabuk...."
Aku semakin lemas, tak bisa lagi bersuara. Ada sentuhan lembut dipundakku. Aku menengok secepat kilat. Berharap tangan itu milik Nathan.
"Bang" ucapku.
Dan ternyata tangan itu milik bang Regar
Bang Regar membimbingku ikut berdiri. Ia mengelus lembut pucuk rambutku.
"Nathan sudah berangkat ke London pagi tadi!" Ucapnya lalu menarik kuat tubuhku kedalam pelukannya.
Pelukan bang Regar begitu hangat. Ia tahu apa yang baru Ia sampaikan padaku adalah berita buruk. Maka sebisa mungkin ia berusaha menenangkan ku.
Aku tak membalas perkataan bang Regar. Hanya membiarkan tubuhku melemah dipelukannya.
Rasanya tenagaku tak lagi ada.
Bahkan untuk bilang aku tak ingin Nathan pergi aku tak bisa.
Aku hanya meminta pada bang Regar mengantarkan ku ke kamar.
Setelah itu aku meminta waktu sendiri. Dan bang Regar pun beranjak meninggalkan ku.
Seribu tanya di benakku. Membuatku tak sanggup jika harus terus meringkuk di kasur seorang diri.
Aku ingin mencari setidaknya ada satu jawaban dari banyaknya pertanyaanku yang bisa Nathan jawab.
Aku bangkit berjalan menuju parkiran mobil, mencari-cari mobil milikku, aku masih menemukannya ditempat parkir semalam. Yang untungnya tidak dibawa pulang oleh mamy. Lalu dengan cepat aku mengendarai mobilku dengan kecepatan tinggi.
Aku ingin segera menemui Nathan.
30 menit aku tiba di kediaman Nathan. Namun gerbang rumahnya tertutup rapat.
Tak ada tanda-tanda penghuni rumah ada di dalam.
Dan seperti benar. NATHAN sudah tak lagi ada. dia sudah pergi meninggalkanku.
Lalu dengan air mata yang terus membanjiri wajahku, aku kembali ke mobil. Menginjak pedal gas kuat--melaju--ingin menemui Stella!