Waktu sudah beranjak malam. Kanzia masuk ke dalam rumah kontrakannya. Dia melempar jaket dan tasnya di atas sofa ruang tamu. Tanpa memedulikan kedua benda itu lagi, dia berjalan masuk ke dalam kamar. Gathan yang mengekornya mengernyitkan kening.
"Zi!" serunya.
"Nanti! Jangan ikuti aku! Aku ganti baju dulu, Kak," sahut Kanzia. Suaranya terdengar dari dalam kamar.
Peristiwa tadi sungguh membuatnya kepikiran. Tidak ada uang lagi dalam tabungannya kecuali uang untuk kehidupan sehari-harinya sampai akhir bulan ini, sedangkan ia belum memiliki gaji tetap walau besok adalah hari pertamanya praktik sebagai dokter umum di rumah sakit.
Betapa cerobohnya ia menghabiskan simpanannya selama ini hanya untuk membeli mobil SUV bekas seharga enam puluh juta. Berharap dengan memiliki kendaraan, mobilisasinya ke manapun akan terasa mudah. Namun apa daya malah membuatnya susah. Kanzia membeli dengan nafsu, tanpa ingin tahu lebih jauh kondisi sebenarnya dari sebuah mobil bekas.
Kanzia baru menyesalinya saat Gathan membantu ia membawa mobilnya ke bengkel tiga jam yang lalu akibat kecelakaan kecil menabrak sebuah mobil sebuah sedan mewah putih yang terparkir di pinggir jalan sepi. Kanzia yang tidak baru belajar menyetir itu dengan sangat ceroboh menabrakkan mobil usangnya.
Kanzia memandang sedih kartu kredit hitam yang dipegangnya. Saat pergi dari rumah tujuh tahun yang lalu, dengan keras kepala gadis itu bersumpah untuk tidak merepotkan sang Ayah selain untuk membantu memenuhi kehidupan perkuliahannya. Untuk biaya hidup sehari-hari, Kanzia mengajar dan mengambil part time kerja malam.
"Haish! Wajahku akan ditaruh mana jika ketahuan memakai kartu itu?" ujar Kanzia lalu membasuh wajahnya berkali-kali di depan wastafel. Ia terus menimbang-nimbang akan menggunakannya atau tidak. Ia sangat malu.
Tidak lama, ia pun keluar dari kamar mandi, mengganti baju kotornya dengan kaus berwarna putih dan celana jins pendek. Terlihat Gathan masih betah duduk di ruang tamu minimalis rumah kontrakannya. Kanzia beringsut duduk di depannya.
"Kakak sudah ambil minum sendiri?" tanyanya saat melihat gelas belimbing yang sudah tandas isinya berada di atas meja. Gathan sudah sangat familiar dengan rumah kontrakan kecil itu dan mengambil sendiri minumannya.
"He-em," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan pada layar ponsel.
Gadis itu mendesah pelan. Ia hanya melirik sang kakak dengan takut-takut. Gathan yang menyadari tingkah Kanzia lalu menaruh ponselnya di atas meja.
"Ada apa?" tanyanya.
"Kak, aku ingin Kakak tidak melaporkan peristiwa tadi kepada Ayah. Lalu kartu kredit Ayah akan kusimpan dulu. Entah terpakai atau tidak, tapi secepatnya akan kukembalikan," jawabnya.
"Simpan saja!" timpal Gathan meraih ponselnya kembali dari atas meja. Kembali sibuk menonton sebuah video youtube yang tertunda.
"Aku tidak bisa, Kak!" sahut Kanzia lagi, begitu keras kepala.
"Lalu minggu depan kau akan tinggal di mana, Zia? Bukankah minggu depan adalah tanggal jatuh tempo sewa tahunan rumah ini?" Gathan menaikkan sebelah alisnya.
Kanzia diam mematung, teringat sesuatu. Kata tanggal jatuh tempo sewa tahunan terngiang di telinganya. Seketika ia menelan ludah. Perkataan Gathan tidak salah sama sekali.
"Astaga! Aku melupakannya. Aku terlalu sibuk hingga tidak mengingat tanggal jatuh tempo sewa rumahku sendiri." Kanzia menepuk jidatnya. Dia menatap dalam wajah Gathan, berharap pria itu membantunya. "Kak ...," lirihnya memohon.
"Tidak! Kau bisa memakai kartu itu. Ini sudah memasuki tahun ke tujuh kau meninggalkan Ayah tanpa menengoknya sama sekali. Jadi, sudah sepantasnya kau menerima bantuan Ayah untuk kehidupan pribadimu setelah menjadi dokter!" sahut Gathan tegas. Ia sudah berjanji kepada sang Ayah untuk tidak membantu adiknya jika Kanzia masih bersikeras tidak ingin menerima kartu itu.
"Besok aku sudah mulai praktik dan aku akan mendapatkan penghasilan sendiri di akhir bulan depan," ujarnya beralasan.
"Akhir bulan masih lama," sahutan singkat Gathan membuat Kanzia terdiam. Semua yang dikatakan Gathan benar adanya.
Kanzia menghela napas panjang. "Ayolah. Ayah pasti tidak akan tahu jika Kak Gathan memberikanku uang." Kanzia makin merayu Gathan.
"Kau ingin membunuhku? Mata Ayah sangat banyak. Bahkan Ayah mengetahui jumlah harta kekayaanku, Zi. Mohon untuk tidak mempersulit," tolak Gathan.
Mendengar hal itu, sang adik bungsu perempuan satu-satunya hanya bisa merengut. Menyumpah serapah akan takdirnya yang lahir dalam keluarga Berlin. Bukan lagi memiliki kekayaan yang tidak akan habis tujuh turunan, tapi puluhan turunan jika bisa diandai-andaikan. Sangat berlebihan, tapi keluarga Berlin memang keluarga yang kaya raya sejak lama.
"Baiklah. Kalau begitu, Kakak silakan pergi dan melaporkan semua yang terjadi hari ini kepada Ayah. Aku merasa kita sudah tidak cocok," usirnya serius. "Besok tidak usah mengikutiku lagi. Cari pacar dan jangan kepo dengan kehidupanku."
"Duh, dokter Zia kalau sedang marah, seramnya ...." Gathan sontak melepaskan pandangannya dari ponsel, beralih ke wajah cantik sang adik. Ia tidak percaya Kanzia akan mengusirnya. Padahal ia mengikuti sang adik sejak lama bukan hanya atas dasar perintah ayahnya, tapi ....
Suara bel gerbang depan rumah kontrakan Kanzia terdengar. Gathan dan Kanzia sontak menoleh ke arah jendela yang terbuka gordennya. Seorang wanita anggun berdiri di depan pagar.
"Dokter Naya ...," lirih Gathan dengan hidung yang terlihat kembang kempis kegirangan.
Dengan cepat Kanzia mengalihkan pandangannya lagi kepada Gathan. Gadis itu hanya menggeleng pelan.
"Kalau suka tembak dari sekarang! Keburu diambil orang baru tahu rasa!" Kanzia mengingatkan Gathan. Ia memang tahu sang Kakak ke empatnya itu mengagumi sosok dokter anggun nan cantik itu.
Dokter Nayara adalah adik pemilik rumah kontrakan kecil miliknya. Dia sangat ramah dan sering datang ke rumah kontrakan Kanzia. Dulu saat pertama kali mengetahui Kanzia adalah mahasiswi kedokteran, Nayara sering datang membantunya dalam segala macam hal yang menyangkut kehidupan perkuliahan. Hingga akhirnya menjadi dokter pun, Nayara masih membantu Kanzia mencarikan tempat praktik untuknya di rumah sakit yang sama. Beruntung gadis itu mendapatkan pekerjaan pertamanya.
"Bagaikan taman bunga, ia lebih indah dipandang dari jauh. Akan menjadi berbeda rasanya jika kami saling mendekat," sahut Gathan tanpa melepaskan pandangannya sama sekali.
"Haish! Bilang saja Kakak gelagapan kalau dia mendekat ke sini!" ejek Kanzia yang langsung bangkit berdiri hendak pergi keluar. Sedangkan Gathan hanya tersenyum simpul mendengarnya.
Pagar besi berwarna hitam itu memang terkunci. Kanzia harus membuka gemboknya. Ia memang jarang keluar maka dari itu rumahnya terlihat sepi dan ia lebih sering menggembok gerbangnya.
Nayara menyunggingkan senyumnya. Sebelah tangannya melambaikan tangan begitu ramah. Sementara sebelah tangan lainnya menenteng sebuah rantang susun empat tingkat.
Kanzia membalas senyum dokter wanita itu, lalu membuka kunci gemboknya. "Ayo masuk! Kak Naya, ada angin apa datang ke sini?" tanyanya sedikit takjub.
"Apalagi? Temani aku makan malam. Aku memasak terlalu banyak padahal hanya sendiri di rumah. Kak Farhan terlalu sibuk di butiknya. Pasti ia akan bilang sudah makan kalau pulang ke rumah," jawab Nayara.
"Ya ampun, Kak. Tidak usah repot-repot. Aku jadi tidak enak." Kanzia menyengih, merasa tidak enak.
"Tidak apa." Nayara terlihat melirik ke sekeliling dan mendapati sepasang sepatu pantofel seorang pria di depan pintu. "Apa kau ada tamu?" tanyanya.