Chereads / SANG PENGGODA CINTA / Chapter 17 - Aku Memilih Untuk Berdamai

Chapter 17 - Aku Memilih Untuk Berdamai

Reynand mempercepat langkahnya. Berjalan menuju pintu utama apartemennya. Wisnu yang menyadari kehadiran Reynand sontak mengangkat wajahnya. Dia lalu melambai.

"Rey!" panggilnya.

Reynand tidak menjawab. Rasa lelah menguasainya beranjak malam hari ini. Ia merasa gangguan lain datang ke apartemennya. Tatapan dingin Reynand tercipta begitu saja melihat Wisnu yang hanya mesem di depannya. Pasalnya Wisnu datang ke apartemen tanpa memberitahunya.

"Mengapa tidak mengabariku jika akan datang?" tanyanya dingin sembari menekan sandi kunci apartemennya.

Pintu itu pun langsung terbuka. Wisnu tidak langsung menjawab pertanyaan Reynand. Dia malah mengekor langkah sahabatnya masuk dan beringsut merebahkan diri di atas sofa panjang empuk ruang tamu.

Reynand hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Wisnu. "Enaknya yang menjadi tamuku sejak kemarin hingga hari ini. Untungnya aku tidak memiliki samurai tajam untuk membunuhmu," sindirnya dengan kedua belah tangan berkacak pinggang.

Mendengar sindiran itu, Wisnu sontak menegakkan tubuhnya dan duduk dengan tatapan kosong kepada sang bos Pradipta.

"Sepertinya mood kau sedang tidak bagus, Pak bos?" sahutnya.

Reynand menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya. Dia ikut duduk di samping Wisnu. "Langsung saja. Tidak usah berbelit-belit. Ada kepentingan apa kau datang ke sini tanpa pemberitahuan?"

"Pinjam uang Rey," jawab Wisnu tanpa basa-basi.

Kening Reynand sontak mengerut mendengar permintaan Wisnu. Pria itu tidak pernah sekalipun meminjam sesuatu darinya, tapi baru kali ini ia mendengar Wisnu ingin meminjam uang darinya.

"Pinjam uang? Untuk apa?"

"Istriku tanpa sepengetahuanku meminjam banyak uang dari Bank untuk memenuhi permainan saham dan modal gaya hidup sosialitanya. Surat-surat penting kami ia jaminkan semuanya di bank. Ia tidak bisa membayar cicilannya dan baru mengakuinya kepadaku. Haish! Sial sekali! Kau tahu kalau aku tidak memiliki banyak uang untuk itu," ungkap Wisnu terlihat sedih.

Wisnu bercerita dengan air muka sedih. Mengakui sang istri yang bersikap seperti itu juga cukup menjadi aib baginya. Sudah lama mereka sering bertengkar masalah keuangan. Padahal Wisnu selalu memenuhi kebutuhannya, tapi gaya hidup sang istri tidak pernah berubah karena ia memang lahir di keluarga kaya raya. Namun, belum lama ini perusahaan keluarganya bangkrut. Keluarganya dan Wisnu tidak bisa lagi membantu sang istri memenuhi seluruh gaya hidup sosialitanya.

"Berapa yang ingin kau pinjam dariku?"

"Tiga ratus milyar, Rey." Jawaban Wisnu sontak membuat Reynand menarik wajahnya terdiam.

"Gila. Kau pikir aku bank berjalan, huh? Benar-benar!" Reynand menarik napas panjang lalu menggeleng pelan.

"Ya. Aku sudah membayar setengahnya. Tabunganku sudah habis. Sisa hutangnya masih sebanyak itu. Kalau tidak, mereka akan mengambil semuanya," lanjut Wisnu lagi.

Reynand tampak berpikir. Ia teringat memiliki hutang budi kepada Wisnu. Pria itu adalah sahabat sekaligus ahli IT yang sangat terkenal. Wisnu pernah membantunya melacak keberadaan Sheryl saat diculik oleh pria sialan bernama Satya. Dan saat itu Wisnu sama sekali tidak mendapatkan apa-apa selain ucapan terima kasih darinya.

Apa ini adalah kesempatanku untuk membalas budi? batinnya.

"Nu, jumlah tabunganku tidak cukup. Hari ini aku belum bisa membantumu. Besok aku akan minta persetujuan ibuku untuk meminjam uang perusahaan," jawab Reynand.

"Rey, apa ibumu akan menyetujuinya?" Wisnu memandang pesimis.

"Akan kuusahakan. Kau berdoa saja, kawan." Reynand menepuk bahu sahabatnya, mencoba menenangkan.

Mata Wisnu terlihat berair menatap Reynand. Sedetik kemudian dia turun dari sofa, lalu berlutut di depan Reynand. Pria itu menangis.

"Rey! Terima kasih! Terima kasih atas bantuanmu. Sungguh! Aku benar-benar tertolong memiliki sahabat sepertimu, Rey!" katanya begitu terharu. Pria itu sontak menarik lutut Reynand dan tersedu memeluknya.

"Haish! Wisnu! Bangun!" seru Reynand tidak suka. Dia memeluk punggung Wisnu agar dapat bangkit dan duduk kembali ke sofanya.

Wisnu menyeka air matanya. "Sebenarnya aku malu mengatakan ini semua, Rey. Tapi aku tidak tahu harus ke mana. Tidak ada seorang pun yang bisa kuminta bantuannya. Hanya kau, Rey ... hanya kau ...." Pria itu kembali tersedu. Reynand yang tidak tega menepuk-nepuk bahu Wisnu. Tanpa banyak berkata, Wisnu langsung memeluknya.

"Sudahlah. Aku pun memiliki hutang budi kepadamu. Aku janji akan mencarikan dana pinjaman secepatnya." Reynand meronta, tapi Wisnu makin menariknya dalam pelukan.

"Rey .... Terima kasih banyak." Wisnu kembali menyeka air matanya.

"Lepaskan, Nu!" ucap Reynand.

Wisnu sontak melepaskan pelukannya. "So-sorry, Rey. Aku sangat terharu."

"Huft!" Reynand menghela napas panjang. "Aku mandi dulu," katanya lagi.

"Kalau begitu, aku pulang ya, Rey," sahut pria itu menyunggingkan senyumnya.

"Ya sudah. Besok kukabari."

Wisnu hanya mengangguk. Ia kemudian bangkit dari duduknya, menghampiri Reynand. "Aku tidak tahu apa yang terjadi kepadamu hari ini, tapi aku yakin kalau kau sedang tertekan. Ini pasti gara-gara wanita itu. Kau harus cepat move on darinya, Rey."

Reynand menghela napas panjang. Menatap dalam wajah culun Wisnu. "Aku rasa kau benar, Nu. Aku harus melupakannya. Dia sudah bahagia dengan pilihannya," sahut Reynand menarik segaris senyuman getir.

Entah mengapa ucapan Wisnu kali ini berhasil membuatnya menyerah setelah ia berkali-kali tidak memedulikan tiap nasihat yang datang kepadanya selama ini. Reynand bertekad untuk secepatnya melupakan wanita yang masih mengisi hatinya.

"Aku tahu kau bisa melakukannya. Masih banyak wanita cantik yang mau denganmu." Wisnu balas menepuk bahu Reynand.

Reynand tidak menyahut. Wisnu membalik tubuhnya, beranjak pergi dari kediaman Reynand. Bujangan tampan itu kini sendiri lagi di dalam apartemennya yang luas. Reynand pun bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Setengah jam kemudian, pria itu sudah keluar dari kamar mandi. Terlihat duduk di meja kerjanya, memandangi layar laptop. Julian mengirimkan beberapa file pekerjaan hari ini.

Kling!

Suara notifikasi pesan chat masuk. Dia meraih ponselnya. Terlihat nama Kayla di sana.

[Aku sudah di rumah dan saat ini sedang duduk memandang bulan purnama dari balkon kamarku. Apa kau melakukan hal yang sama?]

Reynand mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia bahkan tidak tahu kalau bulan purnama datang di malam ini. Pria itu beranjak dari duduknya. Berjalan menuju balkon apartemen. Ia melakukan hal yang sama dengan Kayla.

Bulan penuh itu menampakkan sinarnya yang luar biasa. Ia tidak pernah memperhatikannya selama ini. Kepalanya setengah mendongak, memandang ke arah benda langit itu. Sedikit kedamaian mulai merasuk dalam dirinya.

Reynand membalas pesan Kayla.

[Ya. Aku baru tahu, Kay. Terima kasih sudah mengingatkan. Bulan purnama sangat indah. Selama ini, mungkin aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan hatiku sendiri. Aku memutuskan untuk berdamai.]

Pesan chat itu berbalas.

[Tadi saat aku pertama kali melihat bulan purnama ini, aku langsung teringat denganmu. Pasti sulit melihat mereka sangat bahagia. Tapi aku senang akhirnya kau memutuskan hal yang benar. Semoga kau konsisten dengan perkataanmu.]

Reynand hanya membaca balasan itu. Dia tidak membalas pesan Kayla. Dia mengaminkan harapan wanita itu dalam hatinya.

Reynand menghembuskan napas panjang beberapa kali. Mengambil sebatang rokok dari dalam bungkusnya, lalu mulai mengisapnya sambil menikmati cahaya bulan yang menenangkan.