Mobil yang dikendarai oleh Reynand terus melaju dengan kecepatan kencang. Sheryl menggenggam kuat sabuk pengamannya. Kedua matanya, memejam begitu takut. Ia tidak mengerti dengan apa yang hendak dilakukan oleh Reynand.
Sambil memejamkan matanya, ia berteriak, "Rey, kau sudah gila, ya!"
Tidak ada kalimat terlontar dari bibir Reynand. Dia terus melajukan mobilnya. Tiba-tiba pria itu membanting setirnya ke kiri jalan dan menginjak rem dengan kuat hingga tubuh Sheryl terguncang ke depan. Karena tarikan sabuk pengaman, rasa sakit pada bagian depan tubuhnya seketika dirasakan wanita itu.
Mobil itu berhenti di pinggir jalanan yang sepi. Tidak tampak satu pun kendaraan yang melintas. Reynand menatap lurus ke depan. Dadanya terlihat naik turun, menarik dan mengembuskan napas tidak teratur. Sementara wanita di sampingnya melebarkan bola mata terkejut, lalu membuka sabuk pengamannya. Cepat-cepat wanita itu menoleh kepada Reynand.
"Dasar gila!"
Kedua tangan Sheryl terangkat bebas, seketika memukuli lengan Reynand dengan kuat. Ia sangat geram dengan apa yang dilakukan pria itu. Namun, Reynand tidak merespon tindakannya. Dia hanya terdiam dengan kedua tangan yang masih mencengkeram setirnya.
Reynand memutar setengah tubuhnya memutar sembilan puluh derajat memegangi kedua pergelangan tangan Sheryl. Ia menghentikan pukulan Sheryl. Pria itu menatap sang wanita dengan kening yang berkerut dan wajah yang sedikit sendu.
"Aku ...."
Reynand menjeda kalimatnya. Gantian, wanita itu yang mengerutkan keningnya, membalas tatapan pria tampan itu dengan helaan napas yang menggebu seakan saling berkejaran. Sheryl menunggu mantan calon suaminya itu berbicara.
"Aku masih mencintaimu," lanjut pria itu lugas.
Sheryl terdiam tidak menjawab. Ia butuh waktu untuk menyusun kalimatnya.
"Aku tidak dapat melupakanmu, Sher." Reynand kembali mengungkapkan apa yang sejak tadi terbesit dalam hatinya. Sejauh apapun ia pergi dan melangkah untuk menghindar, ia baru sadar kalau Sheryl tetap mampu mengalihkan dunianya.
"Rey, aku tahu kalau aku telah menyakiti hatimu. Sinar matamu tidak akan pernah bisa membohongi hal itu. Namun, kau yang paling tahu kalau dirimu sendiri yang telah membatalkan pernikahan kita dan malah membiarkanku mengejar Baruna. Seharusnya, kau menerimanya. Kita tidak mungkin lagi ...."
Sheryl menghentikan ucapannya tatkala wajah Reynand mendekat, tidak mengizinkan bibir mungilnya melanjutkan perkataannya lagi. Dua pasang bibir itu menyatu saling bertemu. Reynand tidak dapat menahannya lagi. Dia menarik tubuh wanita itu mendekat hingga ciuman itu tidak dapat terelakkan.
Deru napas terasa begitu hangat dirasakan keduanya. Ketika mereka saling menyambut dan memberikan rasa lain yang membuncah dalam dada. Wanita itu tidak mampu bertahan. Ia memang tidak kuat menahan serangan demi serangan Reynand untuk beberapa saat, sampai akhirnya Sheryl tersadar. Ia sontak mendorong tubuh tegap itu menjauh darinya.
"Rey! Kita tidak seharusnya melakukan hal ini! Aku sudah menikah dengan Baruna—adikmu!" teriaknya begitu emosi. Wanita itu teringat akan Baruna dan sontak merasa sangat bersalah.
"Lalu bagaimana? Bagaimana caranya aku bisa menahan ini semua? Ajarkan aku untuk bersikap tanpa melukai hati saudaraku!" Reynand balas berteriak. Dia tahu kalau tindakannya barusan adalah kesalahan, tapi ia tidak bisa menolak hasratnya saat itu.
Brak!
Tidak sampai tiga detik setelah mengatakan hal itu, mobil Reynand berguncang hebat. Tubuh keduanya pun hampir tersungkur ke depan. Keduanya sontak menoleh ke belakang. Sebuah mobil SUV hitam menabrak mobil Reynand dari belakang dengan kuat.
Reynand mengembuskan napas kasar. Ia terlihat sangat geram seketika. Bagaimana tidak? Jalan itu sangat sepi dan mobilnya sedang berhenti di tepi jalan. Bisa-bisanya mobilnya ditabrak dari belakang.
Sheryl hanya diam dengan pandangan masih terkunci pada mobil SUV itu. Kalimat yang akan ia katakan untuk menyahut pertanyaan Reynand seketika buyar begitu saja.
Tubuh Reynand kembali berguncang tatkala ia bersiap membuka pintu mobilnya. Mobil SUV itu menabrakkan bumper depannya lagi ke bumper belakang sedan putihnya.
"Astaga! Apa dia tidak punya mata, huh?!" kesal pria itu bergegas membuka pintu mobilnya, meninggalkan wanita yang ia cintai di dalam sedannya.
Reynand berjalan ke belakang. Ia mengetuk kaca jendela SUV hitam itu dengan tidak sabar beberapa kali. Sedetik kemudian, kaca jendela itu bergerak turun. Tampak seorang wanita berusia dua puluh lima tahun duduk di kursi kemudi dengan seorang pria sebaya Reynand di samping kursi kemudi. Keduanya menatap pria yang berdiri di luar mobil dengan pandangan terkejut.
"Keluar kalian!" perintah bos Pradipta Corp itu.
Wanita itu memalingkan wajahnya menoleh ke arah pria di sampingnya. "Kakak, bagaimana ini? Ayo keluar!" Air muka wanita itu memelas.
"Kau harus bertanggung jawab, Zi," sahut pria yang dipanggil kakak itu sembari bersendekap.
Wanita itu membuka pintu mobilnya. Reynand mundur beberapa langkah. Seketika wanita itu berdiri di depan Reynand. Menatapnya dengan pandangan memelas.
"Om, maafkan saya," katanya. Wanita muda itu langsung merundukkan setengah tubuhnya di depan Reynand.
"Maaf? Om?" Kening Reynand berkerut dipanggil "Om". Ia sangat keberatan, sedangkan ia sendiri belum memiliki satu orang pun keponakan. "Haish! Jika kata maaf berlaku, penjara tidak akan sepenuh sekarang. Apa kau tidak bisa mengemudi, huh?" sindir Reynand seraya berkacak pinggang.
"Berapa kerugiannya? Saya akan menggantinya," tambah wanita itu yang menyadari kalau pria di hadapannya sedang sangat marah.
Reynand melirik ke arah mobil SUV yang dikendarai wanita itu. Mobil tua usang yang sangat jelek. Pria itu mengangkat sebelah alisnya, memandang remeh kemampuan ekonomi sang wanita. Reynand langsung bisa menyimpulkan kalau wanita yang berdiri di depannya tidak akan mampu mengganti biaya reparasi mobil mewahnya.
Reynand menyentuh hidungnya lalu terkekeh pelan. "Kau tidak akan sanggup! Biaya reparasi mobil saya sangat mahal sedangkan kau sepertinya tidak akan mampu melakukannya."
"Jangan remehkan saya! Berapa? Berapa biaya reparasinya, huh?!" tukasnya kesal. Matanya menyala menatap pria di depannya.
Reynand mendengus lalu menyeringai. Pria itu menoleh ke arah mobilnya, teringat Sheryl yang masih ada di dalam. Ia sebenarnya malas berdebat dan hanya ingin meminta biaya penggantian reparasi mobil. Namun melihat penampilan wanita sederhana itu, ia jadi tidak tega.
"Melihat penampilanmu, kau tidak akan mampu mengganti kerusakannya. Saya tidak akan memaksa kau untuk menggantinya," sahut Reynand lalu membalik badannya hendak pergi.
Wanita itu melihat Reynand pergi begitu saja. Ia lalu menoleh ke arah sang kakak yang hanya mengangkat sebelah alis tanda meremehkan dirinya yang tidak bisa menyelesaikan masalah.
Menahan amarah, wanita itu menyusul langkah Reynand. Tangannya sontak terulur menepuk bahu Reynand dari belakang. Seketika, pria itu memutar tubuh, kembali berkacak pinggang.
"Apa lagi? Saya sedang terburu-buru," ujar Reynand malas.
"Karena saya salah, saya tetap harus bertanggung jawab. Paling tidak, saya harus tahu ke mana saya bisa menghubungi Anda dan membicarakan hal ini," sahut wanita yang dipanggil dengan sebutan "Zi" itu.
Reynand menghela napas panjang. Tanpa banyak berkata, pria itu merogoh jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam dompet.
"Kau bisa menghubungi saya di nomor itu," sahut Reynand menutup pembicaraan. Setelah mengatakannya, ia pun masuk ke mobilnya, dan pergi melajukan kendaraannya meninggalkan tempat itu.