Farhan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Pria itu mencari pakaiannya. Semalam ia sengaja membuka kemeja dan dalamannya. Kebiasaannya itu selalu ia lakukan saat akan tidur malam. Namun sepasang pakaian yang ia cari tidak ada di kamar Reynand.
"Di mana pakaianku?" gumamnya seraya bangkit dan mencari di segala sudut kamar sahabatnya. Bahkan ia beringsut ke kamar mandi, tapi pakaiannya tidak ada di sana. Pikirannya pun mulai melayang, mengingat di mana ia meletakkannya semalam. Kedua matanya sontak terbuka lebar saat ia mengingat sesuatu. "Astaga! Ruang tengah!"
Masih bertelanjang dada, Farhan bergegas keluar kamar. Langkahnya tergopoh-gopoh. Ia khawatir ibu kandung Reynand menemukan pakaiannya.
Benar saja! Pandangannya sontak membulat saat melihat wanita tua angkuh itu menghentikan langkah di depannya dengan mulut menganga sangat terkejut. Otot matanya seakan mengejang dan tidak akan kembali normal dalam waktu lama.
Reynand yang sama-sama berada di tempat itu tampak serba salah. Pandangannya sontak tertuju pada kemeja dan kaus dalam berwarna putih milik Farhan yang terletak di atas sofa miliknya. Dengan gerakan kilat ia mengambil kedua benda itu dan menyembunyikannya di balik punggung.
"Re-Rey .... A-ada apa ini?" tanya Aina lirih seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Masih melotot, perlahan wanita itu mengarahkan pandangannya ke arah sang putra. Matanya kemudian memicing ke arah lengan Reynand yang menyembunyikan sesuatu di punggungnya.
Wanita itu menghampiri sang putra. Secepat kilat menarik tangannya. Aina hampir terkena serangan jantung tatkala melihat sebuah kemeja dan kaus dalam milik Farhan berada dalam genggaman tangan Reynand.
"Astaga! Astaga!" Aina memegang dadanya yang terasa sesak secara tiba-tiba. Tubuhnya melemas lalu melangkah mundur dan terduduk di atas sofa.
Seketika Reynand menghampiri sang Mama. Napas Aina mulai memburu tidak teratur. Penyakit asma yang sudah bertahun-tahun dideritanya tiba-tiba saja kambuh.
"Mama! Mama!" pekik Reynand begitu panik.
Farhan yang masih berdiri di sana langsung mengambil ponselnya. Ia menelepon Nayra—sang adik yang juga berprofesi sebagai dokter untuk segera datang.
Reynand meraih tas tangan Aina, merogoh isinya. Pria itu mencari obat inhaler yang biasa dibawa Aina ke manapun ia pergi. Sedetik kemudian ia menemukan benda itu. Segera, Reynand mengocoknya dan memberikannya kepada Aina.
Wanita tua itu kemudian menarik dan mengembuskan napas panjangnya sebelum akhirnya benda itu akhirnya berhasil menyelamatkan nyawanya.
"Far, tolong ambilkan air!" pinta Reynand kepada Farhan. Sosok pria tegap itu mengangguk lalu pergi ke dapur.
Aina menoleh dingin kepada sang putra. Bibirnya mencebik kesal menatap pria itu. Pikiran negatif langsung memenuhi otaknya. Berbagai asumsi mengenai putranya sendiri tidak mampu ia sanggah lagi.
"Kau dan Farhan .... Mama tidak menyangka memiliki hubungan seperti ini. Astaga! Dosa apa yang Mama miliki." Aina menepuk-nepuk dadanya beberapa kali.
"Mama salah paham," sanggah Reynand.
"Salah paham bagaimana? Dengan mata dan kepala mama sendiri, Mama melihat Farhan bertelanjang dada keluar dari kamarmu, Rey." Aina menggelengkan kepalanya kecewa.
"Tapi, Ma—" Belum sempat pria itu melanjutkan kalimatnya, Farhan tiba-tiba datang ke ruangan itu. Meletakkan segelas air putih di atas meja.
"Minum dulu, Tante," ucapnya.
Lirikan tajam Aina sontak mengarah kepadanya. Dadanya terlihat naik turun menahan amarah. Bibirnya masih mencebik kesal menatap pria itu. Sesaat kemudian mengarahkan pandangannya lagi kepada sang putra.
"Rey, Mama tahu kalau kau patah hati. Mama tahu kalau kau menolak Kayla karena tidak suka kepadanya, tapi tolonglah jangan memilih seorang pria untuk mendampingimu," katanya lagi.
Farhan mengerjapkan matanya beberapa kali. Tadinya ia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Namun setelah mendengar perkataan Aina, pria itu tersentak kaget. Wanita itu menganggapnya memiliki hubungan khusus dengan sang putra.
"Tu-tunggu, Tante!" serunya tiba-tiba hingga pandangan ibu dan anak itu mengarah kepadanya. "Saya rasa, Tante salah paham," katanya lagi.
"Diam kau! Saya tidak minta pendapatmu. Saya sedang berbicara dengan Reynand," marah wanita itu yang langsung membentak Farhan dengan suara keras.
Farhan menelan ludahnya. Ia tidak berani melanjutkan perkataannya. Sinar mata Aina seakan ingin membakarnya hidup-hidup.
"Far, sebaiknya kau pulang saja," pinta Reynand.
"Tapi, Rey ...."
"Tidak apa-apa." Reynand mengangguk cepat. Ia memberikan pakaian Farhan, menyuruhnya untuk segera meninggalkan mereka.
Farhan yang tidak menjawab apapun, meraih pakaiannya. Segera, ia berjalan hendak pergi dari tempat itu.
"Tunggu!" teriak Aina yang langsung menghentikan langkah Farhan. Aina seketika berdiri meraih tas tangannya. "Sepertinya, Mama yang harus pergi dari sini. Silakan kalian habiskan waktu berharga kalian berdua. Tadinya ada suatu hal yang ingin Mama sampaikan, tapi karena situasinya seperti ini, nanti kita akan bicarakan lagi, Rey."
"Mama, jangan pergi! Biar Farhan yang pergi. Bukankah Mama ingin berbicara denganku?" Reynand berusaha mencegah mamanya keluar apartemen, tapi Aina yang masih merasa kesal tidak peduli sama sekali.
"Mama akan menunggumu di rumah Ayahmu dan Tante Meri. Jangan sampai tidak datang. Dan jangan membawa pria itu jika kau tidak ingin Mama tidak mati mendadak di sana," ujarnya seraya memakai sepatunya.
"Aku antar, Ma," sahut Reynand.
"Tidak! Pak Zaki masih menunggu di mobil," timpal wanita itu. Ia menekan handel pintu apartemen hendak pergi dari sana. Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti melihat seorang wanita anggun berdiri di depan pintu.
Wanita anggun itu menyunggingkan senyuman manis untuk Aina. Namun wanita itu hanya terdiam, memperhatikan dengan pandangan dinginnya dalam hitungan detik. Kemudin tanpa basa-basi berjalan pergi meninggalkan unit apartemen sang putra.
Reynand yang serba salah menatap wanita itu sebentar. "Kau masuk saja dulu, Nay," katanya.
"Iya, Rey," sahut Nayara. Adik dari Farhan yang sempat ditelepon oleh sang kakak agar segera datang memeriksa kondisi ibu kandung Reynand.
Reynand melangkah cepat menyusul Aina yang berjalan di depannya. Bahkan ia menerjang lift yang hendak menutup saat sang Mama sudah masuk lebih dulu dan akhirnya pria tampan itu berhasil berada satu lift dengan Aina, hanya berdua saja.
"Ma, aku masih normal. Mama salah paham," ucapnya pelan.
Aina tidak menjawab. Ia melipat kedua tangannya di dada. Membuang wajahnya ke arah lain. Ia tidak ingin melihat wajah Reynand yang sedikit memelas itu.
"Mama tidak percaya," sahut Aina akhirnya membuka mulutnya.
"Mama harus percaya kepadaku." Reynand membalas perkataan sang Mama.
Aina mendengus kemudian terkekeh pelan. "Jadi begini kelakuanmu selama tinggal terpisah dengan Mama? Kau hidup dengan sangat bebas. Setelah enam bulan lalu berhasil tidur dengan tunangan adikmu di apartemen itu, kini kau mabuk-mabukan dan tidur dengan Farhan? Ck! Dia pria, Rey. Buka matamu! Pergaulanmu sungguh sangat meresahkan, Mama. Memakai alasan patah hati agar tidak menikah dengan wanita dan malah memilih Farhan sebagai pasanganmu," tutur Aina yang hanya bisa membuat Reynand bergeming.