Chereads / SANG PENGGODA CINTA / Chapter 8 - Kejutan

Chapter 8 - Kejutan

Kuala Lumpur, Malaysia. Keesokan harinya ....

Seorang wanita berumur sekitar tujuh puluh tahunan akhir membanting sebuah surat kabar yang terlipat menjadi empat bagian ke atas meja. Hal itu sontak membuat terkejut anak perempuannya yang sedang menyesap santai kopi hitam paginya di teras rumah. Cepat-cepat ia menaruh cangkirnya di atas meja. Kepalanya sontak mendongak ke arah ibu kandungnya yang sedang menunjukkan air muka kesal.

"Mama? Ada apa?" tanyanya heran.

"Keponakanmu membuat ulah lagi, Nov!" serunya dengan bibir mengerucut kesal. Wanita tua itu lantas duduk di samping putri bungsunya.

Wanita yang dipanggil dengan sebutan "Nov" Itu sontak mengernyit. Diambilnya surat kabar langganan Erika—sang Mama dari atas meja. Tepat pada tajuk utama berita entertaiment Indonesia, nama Reynand dan Kayla disebut-sebut.

"Reynand dan Kayla, Pasangan yang Kembali Romantis dalam Sebuah Insiden Acara Penghargaan"

Bola mata Nova tampak bergerak dari kiri ke kanan membaca isi berita tersebut. Walau mereka ada di negara tetangga, berita tentang artis Indonesia tidak pernah luput dari perhatian wartawan dalam negeri. Terlebih, Kayla saat ini adalah aktris yang sedang naik daun. Namanya mulai dikenal se-Asia Tenggara sebagai aktris yang kompeten dan berkualitas.

"Apa yang salah sih, Ma?" tanyanya bingung, kembali ia mengarahkan pandangannya kepada Erika.

"Reynand. Mama tidak tahu kalau cucu kebanggaan Mama itu kembali merajut cinta dengan Kayla. Kau tahu sendiri bagaimana kehidupan para aktor dan aktris. Mama tidak habis pikir dengan jalan pikiran kakakmu yang sempat menjodohkannya dengan Kayla. Sudah bagus mereka putus. Tapi tiba-tiba memberi kabar kalau Rey akan menikah dengan tunangan adik tirinya," tutur Erika yang sangat kesal dengan tingkah putri sulung dan anaknya itu.

"Tapi keduanya 'kan tidak jadi menikah dengan Rey, Ma," sahut Nova yang masih begitu sabar menghadapi ocehan sang Mama.

"Ya! Untung saja tidak jadi. Kalau jadi, sepertinya Aina memang sengaja ingin membuat Mama terkena serangan jantung! Kau pikir saja. Rey tidak memiliki adab jika benar-benar meniduri wanita yang sedang mabuk. Apalagi kabar menghamilinya ... itu sama sekali tidak masuk akal." Erika terus mengoceh tanpa henti. Ia menolak kenyataan dan sangat marah dengan berita yang menjerumuskan cucunya di masa lalu dan bahkan saat ini. "Kalau begini terus kapan Rey akan mendapatkan calon istri yang baik dan menikah? Mama keburu mati menunggunya menikah. Dia harus mendapatkan wanita yang sepadan dan dari keluarga baik-baik," tambah Erika.

"Mama, Rey sudah dewasa dan dia tahu apa yang dilakukannya. Menikah atau tidak, itu yang akan menjadi keputusannya. Kita harus percaya kepada Rey dan Kak Aina."

"Tapi dia satu-satunya seorang pewaris laki-laki dari keluarga Pradipta!" sanggahnya.

Mendengar sanggahan itu, Nova hanya bisa menelan ludahnya. Teringat kalau ia memiliki Mishel—seorang anak perempuan berusia tujuh belas tahun yang tidak pernah dianggap sebagai seorang pewaris oleh Erika karena tidak lahir dari sebuah ikatan pernikahan resmi. Erika sangat marah kepada Nova yang saat itu hamil di luar nikah. Nova membiarkan lelaki yang menghamilinya kabur tanpa pertanggungjawaban hingga wanita itu akhirnya membesarkan anak seorang diri. Mishel tidak berhak atas warisan dari keluarga Pradipta. Warisan itu berhenti di tangan Nova—ibu kandungnya.

"Nova, mengapa kau jadi diam? Kau tidak mendengarkan Mamamu berbicara?" Kening tua itu tambah berkerut menanyakan respon Nova.

"Aku mendengarnya, Ma. Lalu kita bisa apa sekarang? Kita tinggal jauh dari mereka."

"Telepon kakakmu! Mama ingin berbicara dengannya!" perintah Erika.

Takut mendengar ocehan yang lebih panjang lagi, Erika mencari kontak sang Kakak di ponselnya. Ia kemudian menghubungi kakak saru-satunya itu.

***

Suara bersin tanpa henti terdengar dari kamar Reynand. Pria itu menarik bed covernya, merapatkan bahan tebal itu agar menutupi seluruh permukaan tubuh. Entah mengapa ia terus bersin tanpa henti pada pagi hari yang cerah di hari cutinya.

Alunan musik terdengar cukup kencang dari ponsel yang sengaja ia letakkan di atas nakas. Namun pria itu bergeming saja, meneruskan tidurnya yang cukup nyenyak itu. Reynand hanya mengubah posisi tidurnya, setengah berguling hingga menghadap ke tengah ranjang berkelambu miliknya.

Dorongan kencang telapak tangan menyentuh dadanya. Bisikan lirih seorang pria terdengar di telinga Reynand. "Rey! Rey! Ponselmu berisik sekali. Tak bisakah kau mengangkatnya?"

"Ehm ...." Hanya gumaman yang terdengar dari mulutnya.

Bola mata Reynand bergerak dalam matanya yang terpejam. Ia terus bergumam tidak jelas dan tidak peduli dengan sentuhan telapak tangan pria itu. Namun hal itu terjadi hanya beberapa detik karena detik selanjutnya ia tersentak kaget. Reynand membuka kelopak matanya lebar-lebar dan mendapatkan kenyataan sosok Farhan berbaring di depan matanya.

"Aarrgghh!" Reynand berteriak melihat Farhan yang masih tertidur pulas itu. Ia lantas menggerakkan kedua kakinya, menendang sosok Farhan dengan kencang hingga tubuh tegap itu terjatuh ke lantai.

Suara kencang tubuh Farhan yang menyentuh lantai kamar pun terdengar. Pria itu sontak membuka mata. "Aduh!" desisnya seraya mengusap kepalanya yang sakit karena terkena benturan hebat.

Reynand tidak peduli. Dia segera menegakkan dan membalik badannya, meraih ponselnya yang berdering tanpa henti.

"Mama." Kening Reynand sontak mengernyit. Dia lantas menjawab panggilan sang Mama. "Halo, Ma."

"Astaga! Berapa lama lagi Mama harus menunggumu menjawab panggilan Mama. Kau tahu, kaki Mama sudah pegal menunggumu di depan pintu apartemen. Sejak kapan kau mengganti sandi pintumu, Rey?" Ocehnya tanpa henti.

"Sebentar, Ma!" sahut Reynand tanpa menjawab. Ia buru-buru beranjak dari ranjang dan tidak memedulikan Farhan yang memperhatikan sikapnya sejak tadi.

Namun baru melangkah sebentar, ia menoleh ke arah Farhan. "Hei, pakai bajumu! Ibuku ke sini," katanya lalu melangkah keluar kamar.

Farhan menunduk, memperhatikan tubuh bagian atas yang tidak memakai sehelai benang pun. Ia memegang kepalanya yang sakit. Pikirannya melayang pada kejadian tadi malam. Ia datang ke apartemen Reynand membicarakan Kayla lalu mereka mabuk bersama.

"Haish! Aku tidak percaya tidur di ranjang yang sama dengan bocah sialan itu. Aku pasti sudah gila naik ke ranjangnya," gumamnya yang langsung teringat bagaimana malam itu ia sangat kedinginan dan masuk ke kamar Reynand dalam keadaan mabuk dan tidur di sampingnya.

Reynand membuka pintu apartemennya. Aina berdiri dengan air muka kesal. Ia sontak mengibaskan tangannya kala hidungnya mencium bau minuman beralkohol yang menyengat menempel di tubuh sang putra.

Seketika wanita itu mengelus dadanya beberapa kali. Reynand yang belum sadar lantas menunduk dan baru tersadar akan bau alkohol di tubuhnya.

"Astaga! Rey, kau mabuk?" Mata Aina melotot di hadapan putranya. Sepasang alisnya menukik hampir bertemu karena merasa kesal.

Reynand tidak membantah. Ia menyengih salah tingkah di hadapan sang Mama. Aina yang merasa kesal menerobos tubuh tegap Reynand, memasuki apartemen sang putra. Wanita itu seperti biasa memeriksa tiap sudut ruang apartemen. Di saat itu pula, wanita itu terhenyak. Matanya membelalak melihat sosok Farhan yang baru saja keluar dari pintu kamar Reynand.