Sebanyak apapun Reynand mengelak tuduhan Aina yang menganggapnya menyukai seorang pria, sebanyak itu pula Aina tidak percaya. Sepertinya sang Mama sudah kehilangan rasa percaya kepada putranya sendiri. Bahkan saat putranya berusaha untuk menyanggah tuduhan itu sekali lagi.
"Mama harus percaya kepadaku! Kami tidak melakukan apa-apa di sana. Aku masih normal," ucapnya setengah berteriak.
Aina menarik kenop pintu mobilnya. Wanita itu kemudian terdiam sejenak, menatap Reynand begitu dalam. "Pagi ini Nenekmu menelepon Mama. Memaki Mama yang tidak becus mengurusmu. Heran! Kau sudah dewasa tapi tidak juga sadar. Keluarga Pradipta menginginkan seorang penerus yang terhormat dan tidak banyak tingkah. Berita tentangmu dan Kayla semalam menjadi tajuk utama berita hari ini. Orang-orang di luar sana membicarakan kalian. Kau tidak pernah serius menjalin hubungan. Dan sekarang Mama baru tahu kalau ternyata ...." Aina tidak mampu melanjutkan perkataannya. Kedua netranya mulai berkaca-kaca.
"Ma ...." Pria itu membalas tatapan sang Mama dengan pandangan memelas.
"Jika kau masih normal, buktikanlah, Rey!" sahut Aina kemudian masuk ke dalam mobil. Wanita itu membenarkan posisi duduknya. Ia terdiam sebentar, lalu menurunkan kaca jendela mobilnya. "Jangan lupa nanti siang datang ke kediaman Ayahmu. Pergi sendiri saja!" pesannya yang takut jika pria itu nekat membawa pasangan sejenisnya dan membuat heboh di sana.
Reynand hanya mengangguk pelan. Tidak lama, mobil MPV hitam mewah itu pun melesat pergi dari pelataran parkir apartemen Reynand. Pria itu hanya menghela napas panjang seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ada perkataan Aina yang sulit ia cerna.
"Bukti?" gumamnya bingung, lalu membalik tubuh kembali menuju unit apartemennya.
***
Suara gelak tawa Nayara terdengar sangat keras saat Reynand membuka pintu apartemennya. Dokter wanita itu terbahak-bahak mendengar cerita Farhan. Tragedi miris seorang direktur Pradipta Corporation baru saja terjadi. Siapa yang akan menyangka pria itu tepergok oleh Mamanya sendiri tidur bersama dengan seorang pria di dalam satu kamar yang sama. Bertelanjang dada pula di hadapan sang Mama.
Nayara sontak menoleh ke arah pintu, melihat sosok pria tampan itu sedang berdiri dengan wajah tertekuk. Nayara buru-buru menghentikan tawanya, kemudian bangkit berdiri. Memandang kasihan ke arah Reynand.
"Kenapa berhenti? Tertawalah terus! Kalian kakak beradik sialan!" ketusnya.
Nayara menyatukan kedua rahangnya hingga mulutnya tertutup rapat. Ia merasa tidak enak hati. Wanita itu pun beranjak dari duduknya, mencegat langkah Reynand dengan berdiri di depannya.
"Minggir, Nay." Reynand menatap dingin, tapi wanita itu hanya bergeming tanpa menyahut. Reynand berkacak pinggang. Melihat jemu ke sekeliling. "Siapa yang menyuruhmu datang?"
"Kak Farhan. Dia bilang asma Tante Aina kambuh." Nayara menarik senyum tipisnya.
"Telat! Kau sudah lihat sendiri tadi kalau Mamaku baik-baik saja," sahut Reynand lalu melanjutkan langkahnya.
Nayara memutar tubuhnya menatap miris punggung Reynand yang menjauh. "Rey, kau marah kepadaku karena menertawakanmu dan telat datang ke sini?"
"Tidak!"
"Kalau begitu, berbaliklah!" pinta sang dokter wanita.
Reynand menarik napas panjang. Pria itu memutar tubuhnya menghampiri Nayara. Seketika, ia mencondongkan wajahnya mendekat. Wanita itu sontak menarik wajahnya menjauh.
"Ka-kau mau apa, Rey?" tanyanya gugup.
Pria itu tersenyum tipis, namun wajahnya menatap dingin kepada Nayara. "Bu dokter yang baik hatinya, aku sangat menghargai kedatanganmu. Namun seperti yang kau tahu, Mamaku sudah sembuh. Dan situasinya lebih dari itu saat ini. Seperti suara tawamu yang baru saja menertawakanku. Aku sungguh muak mendengarnya!" sentaknya kesal.
Mendengar kalimat itu, Nayara mengatupkan mulutnya kembali. Ia benar-benar merasa bersalah. Menganggap Reynand marah karena ia menertawakannya. Farhan yang berada di sana langsung menghampiri mereka.
"Rey, masalah tadi akan aku jelaskan kepada Tante Aina secepatnya. Aku juga tidak ingin dituding yang tidak-tidak," ucap Farhan serius.
"Tidak usah! Kau tahu sendiri bagaimana sifat Mamaku yang keras, Far. Aku akan mencari cara agar ia bisa mengubah persepsinya itu," tolak Reynand. Kepalanya hampir mendongak mengatakan. Ia masih sangat kesal dengan sosok kakak beradik yang berdiri di hadapannya.
Farhan mengembuskan napas berat. Pria itu menoleh ke arah Nayara sebentar lalu mengarahkannya lagi kepada Reynand. "Baiklah. Kalau begitu, aku dan Nay pamit dulu. Sepertinya saat ini kau sedang tidak bisa diajak berbicara. Nanti kita berbicara lagi dengan kepala dinginmu."
Farhan menarik tangan Nayara. Segera mengajak adiknya itu pergi dari sana. Nayara terdiam tidak berkomentar. Dia memandang kasihan pria tampan di depannya.
"Rey, maafkan aku jika menyakiti hatimu. Aku baru tahu dari Kak Farhan kalau kau sangat sulit berpaling dari Sheryl hingga kesalahpahaman ini bisa terjadi. Kau harus ingat kalau dia adalah istri adik tirimu. Baruna bukanlah orang jahat. Kau jangan berbuat nekat!" Nayara memperingati.
"Kau pikir aku gila, huh? Nekat bagaimana? Aku cukup tahu di mana posisiku."
Setelah mengatakan hal itu, Farhan tidak membiarkan Nayara berbicara panjang lebar lagi. Segera, ia menarik pergelangan tangan sang adik. Membawanya pergi dari apartemen jejaka itu.
Kepergian Farhan dan Nayara membuat apartemen kembali sepi. Reynand membanting tubuhnya di atas sofa. Merebahkan tubuhnya yang terasa pegal seraya terus mengembuskan napas panjang.
"Apakah aku sangat menyedihkan hingga Mama tidak percaya kepadaku dan menuduhku seperti itu?" gumamnya sedih.
Pria itu mengangkat tangannya, menutupi netranya yang memejam. Kepalanya masih sedikit pusing akibat pengaruh alkohol semalam. Tanpa sadar, pria itu terlelap.
Mungkin Reynand tidak sadar. Namun pada kenyataannya pria itu sudah tertidur selama dua jam. Ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Menandakan sebuah panggilan masuk.
Reynand membuka matanya perlahan. Ia meraih ponselnya dan menggulirkan lambang angkat tanpa melihat kembali siapa yang menelepon.
"Halo," sapanya kepada si penelepon.
"Rey, apa kau ada di apartemenmu?" Suara wanita terdengar.
Reynand yang mendengar suaranya langsung mengenal siapa wanita itu. "Ya. Ada apa, Kay?" sahutnya malas.
Baru saja pengganggu pertama pergi. Kali ini datang pengganggu ke dua. Padahal ia sangat ingin beristirahat tanpa mengingat acara pesta penyambutan Baruna dan Sheryl yang kembali ke tanah air. Walau Aina sudah mengingatkan, Reynand tetap ragu untuk datang.
"Rey, aku sedang berdiri di depan apartemenmu. Bisakah kau membukakan pintu?"
Reynand yang mendengar kalimat Kayla sontak bangkit dari rebahnya. Berjalan menuju pintu utama. Ia mengintip dari kaca lubang intip.
"Haish! Benar-benar ...," gerutunya. Pria itu memang aneh. Ia lebih suka sendirian tanpa teman di dalam apartemennya.
Ketika pintu itu dibuka, lengan Kayla terulur menyodorkan sebuah bungkusan. "Maafkan aku!" ucapnya seraya menundukkan setengah tubuhnya.
Reynand tidak menjawab, keningnya berkerut. Pria itu tidak memedulikan bungkusan yang dibawa Kayla. Ia membalik tubuhnya meninggalkan wanita itu. Kayla menyunggingkan senyumnya, kemudian mengekor masuk tanpa persetujuan Reynand.
Reynand kembali merebahkan tubuhnya di atas sofa, tapi kali ini ia beringsut ke sofa ruang tengah. Mengambil remote televisi dan menonton berita secara acak.
Kayla yang sudah terbiasa dengan apartemen Reynand berjalan ke dapur. Memindahkan sushi salmon avocado ke atas piring dari dalam bungkusan yang ia bawa. Ia sangat tahu menu kesukaan Reynand. Pria itu tidak akan menolak memakannya meski sedang marah.
Selang beberapa menit kemudian, wanita itu berdiri di ambang pintu ruang tengah. Senyumnya menghilang melihat Reynand yang tidak sengaja menonton sebuah berita entertainment di televisi.