"Maafkan Mamaku," ujar Reynand kepada Sheryl saat kedua orang ibu itu pergi dari hadapan mereka. Pria itu kembali duduk di atas kursinya. Begitupun Sheryl yang ikut duduk kembali di samping Reynand.
"Ya. Aku tidak apa-apa. Aku tahu bagaimana Mamamu." Sheryl mengangguk seraya tersenyum tipis.
Reynand mengembuskan napas pelan. Ia terdiam sesaat. Pikirannya terganggu oleh alasan mengapa Sheryl tadi membelanya. Tanpa ragu ia pun bertanya, "Mengapa kamu membelaku, Sher?"
"Aku tidak membelamu, Rey. Semua yang kukatakan adalah fakta. Walau hanya sebentar menjadi sekretarismu, aku tahu bagaimana kamu sangat bekerja keras memajukan Pradipta Corp." Sheryl menjawab diplomatis. Ia tidak ingin dianggap membela Reynand secara khusus.
Reynand menarik sebelah sudut bibirnya. Senyum setengahnya terukir di hadapan Sheryl. Mungkin hanya ia yang merasa ge-er atas sikap Sheryl. Nyatanya wanita itu tidak benar-benar membelanya.
Apa yang kau harapkan, Rey? Batin Reynand mulai menyalahi semua yang ia pikirkan.
Keduanya kembali terdiam seperti dua orang yang kehilangan topik pembicaraan. Sheryl yang merasa serba salah di samping Reynand pun tiba-tiba bangkit berdiri sambil menatap layar ponselnya.
"Rey, jika tidak ada hal yang ingin kau sampaikan lagi, aku mohon diri. Indira dan Daniel baru saja tiba dan mereka ingin aku menyambutnya di halaman depan," ujarnya tiba-tiba bangkit dari duduknya.
Reynand yang masih duduk di posisinya hanya mengangguk dan mempersilakan wanita itu untuk pergi menemui adiknya dan sang suami. Sheryl pun bergegas pergi.
Reynand mengedarkan pandangan ke sekeliling. Melihat para petugas EO sudah tidak disibukkan oleh kegiatan mereka dan bergantikan sosok Baruna, Meri, dan Aina yang duduk melingkar pada sebuah meja bundar. Pria itu mengangkat gelasnya. Meminum segelas orange jus dingin untuk menghilangkan dahaga.
***
Aina berjalan mendekati Baruna yang baru saja duduk setelah mengawasi pekerja EO itu menyelesaikan pekerjaannya. Baruna mengangkat wajah menatap Aina sejenak. Sedikit kaget melihat ibu kandung Reynand dan ibu kandungnya. Ia pun buru-buru berdiri dan menyalami keduanya.
"Tante, apa kabar? Sudah lama?" tanyanya seraya menyunggingkan senyumnya.
"Baik. Baru saja datang. Bagaimana kabar pengantin baru? Sepertinya kau tidak merasa lelah sama sekali. Baru tiba di Indonesia lalu berinisiatif membantu para pekerja EO ini," sahutnya lalu duduk di meja itu bersama Meri.
"Ah, tidak. Aku hanya mengawasi saja, Tante." Baruna merendah, tidak suka pujian Aina.
"Tantemu benar, Nak. Kau bahkan belum beristirahat. Sheryl juga sama saja. Apa kalian tidak lelah?"
"Bohong kalau kami tidak lelah, tapi disambut seperti ini membuat lelah kami menghilang begitu saja." Baruna menjawabnya dengan tenang.
"Ah, Bunda jadi merasa bersalah membuat acara ini untuk kalian," timpal Meri menyesal.
Baruna menggelengkan kepalanya dengan senyum yang selalu menghiasi wajah tampannya. "Sudahlah. Ini acara sekali seumur hidup. Aku sangat bersyukur memiliki keluarga seperti kalian. Apalagi saat tahu kalau aku memiliki Tante seperti Tante Aina dan abang seperti Reynand. Kalian yang terbaik."
Mendengar pernyataan Baruna, Aina tersipu. Wanita angkuh itu menyunggingkan senyum kecil di wajahnya. Meri memandang anak semata wayangnya dengan pandangan berkaca-kaca. Ia pun merasa bersyukur memiliki anak yang sangat bijaksana.
Reynand merasa sangat bosan. Ia bangkit dari duduknya, melihat ke sekeliling. Sang Mama dan Tante Meri tampak nyaman mengobrol dengan Baruna. Sesekali mereka tertawa mendengar pria itu berbicara. Reynand yang merasa tidak berguna di tempat itu, mengembuskan napas berat. "Lama sekali acaranya dimulai. Aku sangat mengantuk. Apa aku pulang saja, ya? Tapi kalau aku pulang, Mama akan memaki-makiku lagi. Tidur di dalam sajalah," gumamnya tiba-tiba membuat keputusan.
Reynand beringsut meninggalkan tempat itu. Ia berpikir untuk membaringkan tubuhnya sebentar. Entah mengapa rasa kantuk tidak juga menghilang padahal ia sudah tidur lebih lama dari biasanya.
Tanpa sengaja Reynand berpapasan dengan sang Ayah—Anton. Pria itu mendekat, memeluk sembari menepuk punggung putra pertamanya.
"Rey, putra Ayah. Selamat datang!" katanya lalu melepaskan pelukan itu. Menatap tenang wajah Reynand. Namun sebelah tangannya masih bersandar pada bahunya yang lebar.
"Iya, Ayah. Aku datang," sahut pria datar seraya menyunggingkan senyum kecil.
Tanpa ragu, Anton merangkul Reynand. Mengajaknya ke ruang keluarga. Keduanya lalu duduk saling menatap lurus ke depan.
"Ayah senang kau masih mau datang ke rumah ini. Patah hati boleh saja, tapi Ayah adalah Ayah kandungmu. Tidak sepantasnya kau menghindari Ayah juga. Kita hanya sesekali bertemu di kantor, itu pun hanya saat meeting penting. Bukankah keterlaluan?"
Reynand terdiam beberapa saat, kemudian menjawab, "Ayah, maafkan aku bila membuat Ayah sedikit kecewa."
Jawaban Reynand terkesan tidak ingin membahas masalah itu lebih lanjut, tapi Anton seakan tidak peduli. Pria itu menghela napas panjang.
"Ikhlaskan hatimu. Biarkan Baruna bahagia dengan Sheryl. Di dunia ini masih banyak wanita yang akan tergila-gila kepadamu. Atau kau malah ingin Ayah mencarikan jodoh untukmu?" Kerutan kening pria tua itu makin terlihat saat mengernyit.
Reynand menarik setengah senyumnya. "Ini adalah alasan yang membuatku malas untuk datang ke rumah ini. Aku sudah menduganya. Ayah dan Mama sama saja. Kalian selalu membahas masalah ini. Mengasihaniku yang belum juga menikah."
Pria itu bangkit dari duduknya. Menatap tajam wajah sang Ayah. Rasa kantuk yang tadinya menyerang pun hilang seketika.
"Rey, bukan itu maksud Ayah. Ayah hanya–"
"Ayah menertawakanku, 'kan? Ayah menertawakan nasibku karena tidak berbakti seperti Baruna yang selalu menurut apa kata Ayah!" Reynand memotong perkataan Anton. Napasnya terengah menahan marah. Ia mengutarakan seluruh isi hatinya yang merasa sering dibanding-bandingkan oleh sang Ayah.
Kening tua itu kembali mengernyit. Namun tidak mampu berkata lebih lanjut. "Rey ...."
Reynand tidak peduli. Pria itu bergegas membalik badannya pergi dari hadapan sang Ayah. Langkahnya terhenti kala melihat Daniel, Indira, dan Sheryl yang berjalan melintas di depannya.
"Kak Rey mau ke mana?" tanya Indira.
"Iya, Rey. Kau mau pergi ke mana?" tambah Daniel.
"Pulang, Niel, Dir. Aku tidak memiliki kepentingan lagi di rumah ini," katanya langsung pergi dari hadapan kedua wanita itu.
Indira dan Daniel saling pandang, mengangkat bahu bingung. Mereka hanya bisa melihat sosok pria tegap itu pergi.
"Kalian duluan saja. Aku akan berbicara dengan Rey," katanya yang langsung menyusul langkah Reynand.
"Rey! Rey!" panggilnya, tapi pria itu tidak juga menoleh ke belakang. Namun ketika langkahnya sudah sampai hingga teras kediaman Asyraf, Reynand menghentikan langkah, lalu membalik badannya.
Sheryl membelalakkan mata. Terkejut dengan langkah Reynand yang terhenti tiba-tiba itu. Tanpa banyak berkata, ia menarik lengan Sheryl. Memaksa wanita itu masuk ke dalam mobil miliknya.
"Rey, apa yang kau lakukan?!" serunya setengah berteriak.
Reynand tidak menjawab seruan itu. Ia malah merekatkan sabuk pengaman pada kursi Sheryl. Tidak lama, mobil sedan putihnya pun melaju kencang keluar dari gerbang kediaman keluarga Asyraf.
"Rey, kita akan ke mana?!" tanya Sheryl sekali lagi, begitu panik.