"Kak Jimmy?" Kening Kanzia seketika mengerut.
Jimmy adalah putra tertua keluarga Berlin. Kakak pertama dari Kanzia Chalondra Mentari Berlin. Memiliki tanggung jawab besar terhadap keluarga dan bisnis keluarga Berlin. Akhir-akhir ini, ia sangat sibuk. Sering bepergian keluar negeri menggantikan tugas sang ayah yang sebentar lagi berniat untuk pensiun.
"Iya. Kau pasti merindukan Kakakmu yang itu?" lanjut Ayah Kanzia. Suaranya terdengar meyakinkan.
"Ya, aku merindukan Kak Jimmy." Pandangan Kanzia berubah murung, menatap ke arah lantai. Hanya Jimmy yang paling mengerti tentang dirinya. Sosok kakak yang bijaksana sekaligus tegas menurut Kanzia.
"Nanti malam kalian akan bertemu ...."
"Iya, Yah."
"Baiklah. Ayah akan meneruskan sarapan Ayah. Kamu jangan lupa sarapan, Nak."
"Iya, Yah. Nanti aku sarapan di rumah sakit. Ayah sebaiknya jaga kesehatan. Banyak virus jahat yang bertebaran di luar sana."
"Terima kasih sudah mengingatkan Ayah. Terima kasih juga karena sudah menerima kartu dari Ayah. Pergunakan semaumu karena itu milikmu."
Perkataan sang Ayah membuat Kanzia terdiam. Gathan pasti sudah melaporkan semua hal mengenai semua yang terjadi kepada ayahnya, termasuk peristiwa tabrakan mobil yang ia lakukan.
Kak Gathan sialan! Pasti dia juga sudah bercerita mengenai tabrakan itu! pekiknya dalam hati.
Cukup lama Kanzia terdiam dan tidak menjawab. Adam—ayah Kanzia lalu berusaha memanggil anaknya.
"Zi? Zia?!"
Mendengar panggilan Adam, pandangan Kanzia sontak mengerjap. Memutar pandangannya yang kosong ke arah meja rias yang ada di depannya.
"Mengenai tabrakan itu ... aku sungguh tidak sengaja menabraknya!" Pengakuan Kanzia meluncur begitu saja.
"Tabrakan? Kamu menabrak apa, Nak?" Nada suara Adam berubah khawatir.
Kanzia menarik wajahnya. Kedua netranya mengerjap berkali-kali, keheranan.
Mengapa Ayah malah bertanya? Jangan-jangan ayah tidak tahu? Kanzia bertanya-tanya dalam hatinya.
"Ti-tidak! Kemarin aku tidak sengaja menabrak kucing dengan sepedaku dan kucing itu tiba-tiba mati, Yah!" sanggah Kanzia terbata.
"Kucing?" Adam sontak bertanya tidak mengerti. Kanzia tidak jadi melanjutkan kalimatnya karena sesaat kemudian, ia mendengar suara tawa Adam yang begitu menggelikan. Dari suara tawanya yang lepas, Adam benar-benar tidak tahu kejadian apa yang menimpa putri bungsunya kemarin.
Sepertinya, Kak Gathan tidak memberitahu Ayah, pikir Kanzia.
"Ayah ... jangan menertawakanku seperti itu, dong!" Nada suara manja keluar dari mulut Kanzia.
"I-iya. Maaf ya, Nak. Ayah kira menabrak apa."
"Sudah ya, Yah! Aku sudah telat." Kanzia melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan.
"Ya, kamu hati-hati di jalan," sahut Adam. Setelah mengiyakan, Kanzia langsung menutup panggilannya.
Dokter wanita itu berjalan cepat menuju teras. Dia mendorong gagang pintu utama rumah. Seorang pria tampan berpakaian rapi tampak berjalan mondar-mandir di halaman rumahnya.
"Loh, Kak Han?" Kanzia tampak terkejut melihat Farhan berdiri di depannya.
Farhan menghentikan langkah. Seketika menoleh terkejut kepada Kanzia. Wanita itu mengernyit bingung, lalu mengarahkan pandangan curiga pada gerbang rumah kontrakannya yang terbuka. Padahal setiap malam Kanzia tidak pernah lupa menguncinya.
Kanzia memutar bola matanya, menatap curiga kepada Farhan. Siapa yang tidak curiga jika pria di depannya adalah si pemilik kontrakan. Dia pasti memiliki kunci cadangan dan dengan mudah bisa membuka gerbangnya.
Farhan yang paham dengan tatapan curiga Kanzia, berjalan canggung mendekat ke arah wanita itu. "Zia, maaf kalau aku masuk sembarangan. Tapi tadi pintu gerbangnya sudah terbuka saat aku lewat sini," jelas Farhan sebelum Kanzia berpikiran dan bertanya macam-macam kepadanya.
Mata lentik Kanzia mengerjap berkali-kali dengan kening yang mengernyit, berusaha mengingat sesuatu. Ia lalu teringat kalau semalam mengantar David pulang sampai depan pintu gerbang. Karena sudah sangat mengantuk, wanita itu segera masuk dan lupa mengunci pintu gerbang.
Kanzia menepuk dahinya sekali lagi. Sebuah senyum aneh tersungging di depan Farhan. "Ah, aku benar-benar lupa menguncinya setelah mengantar Kak David."
"David?"
"Iya, semalam kakakku datang dan aku lupa mengunci gerbangnya." Kanzia mengulang pengakuannya. Hampir saja ia menuduh Farhan menerobos ke dalam rumah miliknya sendiri.
"Oh ... untung saja tidak ada orang jahat yang masuk ke rumah." Farhan mengembuskan napas lega.
Kanzia hanya mengangguk masih dengan senyumnya yang dibuat-buat. Tidak lama, ia lalu melirik arlojinya. Pukul delapan kurang sepuluh menit.
"Aduh sudah jam segini," gumamnya tampak gelisah sendiri.
"Kelihatannya kau sedang terburu-buru, Zi?"
"Iya, Kak. Aku bangun kesiangan hari ini. Ngomong-ngomong, Kak Farhan ada perlu apa ke rumah?"
"Ehm, aku ingin mengantarmu pergi ke rumah sakit," jawabnya terdengar sedikit ragu karena ia tahu Kanzia sering diantar jemput sang kakak.
Seketika mata Kanzia melebar. Senyumnya pun langsung ikut merekah. Ia mengurungkannya niatnya memesan ojol.
"Kebetulan sekali! Hari ini Kakakku tidak menjemput. Ayo, Kak!" Kanzia sontak meraih tangan Farhan, menggenggamnya dengan erat. Farhan dengan pasrah mengikuti langkah terburu-buru Kanzia yang lincah hingga ke dalam mobilnya.
***
Sinar matahari pagi masih terasa menyegarkan. Senyuman Farhan yang terus mengembang seakan melukiskan suasana pagi itu. Begitu segar dipandang kala dirinya dan Reynand bertemu di Orion cafe. Namun, tidak bagi Reynand yang tampak malas melihat sahabatnya itu. Kalau bukan Kayla, lagi-lagi Farhan atau Wisnu yang menghubunginya. Dunianya sangat sempit hanya berkutat dengan tiga orang itu.
"Ada apa tiba-tiba mengajakku bertemu, Far?" tanya Reynand bingung. Tidak biasanya Farhan mengajak ia bertemu di pagi hari.
Ya! Pagi-pagi Farhan menelepon ia yang baru saja memghempaskan bokongnya di atas kursi. Pagi yang tenang tanpa meeting penting baginya. Namun malah harus ia habiskan untuk bertemu dengan kekasih disorientasi seksualnya. Setidaknya, itulah pendapat sang Mama yang langsung melabrak Reynand saat mengetahui Reynand hendak meninggalkan ruang kerja demi bertemu Farhan pagi ini.
Pikiran Reynand melayang mengingat kembali momen pertengkarannya dengan Aina di ambang pintu ruangan direktur utama Pradipta Corporation dengan Julian yang menjadi saksi pertengkarannya.
"Mau ke mana kamu keluar pagi-pagi?" Aina menatap curiga sang putra yang jarang meninggalkan ruangan pagi hari.
"Cafe seberang, bertemu Farhan," jawabnya singkat.
Kedua alis Aina hampir bertaut mendengar nama Farhan. Seketika memandang sinis Reynand. "Haish! Kamu masih berhubungan dengan si Farhan itu?"
"Ada yang salah?" Reynand balik bertanya.
"Astaga! Kamu benar-benar ingin membuat Mama stres, ya? Jangan bertemu lagi dengannya, Rey! Kamu itu keturunan keluarga Pradipta. Kamu juga tampan dan berpendidikan. Tak cocok memiliki hubungan khusus sesama jenis!" Aina mulai memarahinya lagi.
Reynand menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. "Mama, tolong percaya kepadaku. Dia sahabatku sejak SMA. Dari dulu, hubungan kami hanya sekadar bersahabat saja. Kejadian tempo hari tidak seperti yang Mama pikirkan. Aku masih normal. Kami berdua mabuk dan tidur dalam satu kamar. Itu saja! Kami tidak melakukan apa-apa, Ma," jelasnya lalu terdiam sejenak. Lekumnya naik turun, menelan ludah berkali-kali. Reynand tampak ragu melanjutkan perkataannya.
Aina memandang sang putra dengan mata bergetar, menunggu perkataan ragu yang akan meluncur pada mulut sang putra. Sementara, Julian yang sejak tadi duduk di mejanya hanya diam sembari mengarahkan pandangan pada laptop. Ia berpura-pura fokus, tidak melihat dan mendengar pertengkaran antara sang ibu dan putranya yang kerap kali terjadi di ruangan itu.
"Asal Mama tahu saja, walau aku sudah menyerah terhadap Sheryl, belum ada satu wanita pun yang bisa menggeser posisinya di hatiku sampai saat ini. Jadi, aku mohon jangan mencampuri urusan pribadiku lagi," jelas Reynand panjang lebar berusaha meyakinkan Aina. Bahkan ia terpaksa mengakui perasaannya kembali di hadapan sang Mama.
Aina yang mendengar pengakuan Reynand sontak membelalakkan mata tidak percaya. Nama Sheryl kembali terucap dari bibir sang putra. Wanita itu tiba-tiba mengangkat tangannya. Sebuah tamparan keras melayang pada wajah Reynand yang selalu ia banggakan.