Reynand bergeming dengan napas tertahan. Ia tidak percaya Aina menampar ia untuk yang pertama kali dalam hidupnya. Pipinya terasa panas sesaat. Namun pria itu tidak sanggup menyentuhnya. Sementara, sang Mama yang berdiri di depannya masih menatap gemetar kepadanya.
"Aku pergi dulu."
Tanpa banyak berkata-kata lagi, Reynand melangkahkan kakinya menuju pintu utama ruangan. Ia meninggalkan Aina yang masih berdiri dengan mata yang mengarah pada punggung tegap Reynand
"Rey!" Suara Farhan terdengar memanggil. Namun, Reynand masih termangu. Pikirannya masih melayang pada kejadian beberapa saat yang lalu.
Farhan mengambil botol air mineral dari atas meja. Ia menuangkan sedikit pada telapak tangan, lalu menyipratkan air bening itu ke wajah Reynand.
Reynand mengerjap, tersadar akan dirinya yang masih berada di Orion cafe. Pandangannya sontak berkelebat. Sosok Farhan masih duduk di depannya.
"Haish! Apa, sih?!" gerutunya yang langsung mengambil sapu tangan dari balik jas berwarna biru navy yang ia pakai.
"Kau melamun!" sahut Farhan protes.
Reynand mengembuskan napas kasar. Diangkatnya secangkir espreso dari atas meja. Ia menyesap sedikit cairan hitam itu. Seketika matanya terbuka kembali pada kenyataan pertemuannya dengan Farhan.
"Sorry. Sampai mana tadi?" Reynand bertanya, tampak bingung sendiri.
"Sial! Aku sudah lelah bercerita tapi kau tidak mendengarkan," sesal Farhan lalu ikut meminum espreso miliknya.
"Jangan begitu, Far. Maaf, tadi ada yang sedang kupikirkan," sahut Reynand seraya meletakkan cangkir espreso-nya.
Farhan berdecak kesal, tapi ia terlihat pasrah. Temannya saat ini hanya Reynand. Pria itu terlalu sibuk untuk bergaul dengan yang lainnya. Secepat kilat, ia mengubah air mukanya menjadi mood kembali.
"Aku senang sekali karena tadi bisa mengantar wanita yang kusukai ke tempat kerjanya," ujarnya.
"Lalu?"
"Ya, sudah," sahut Farhan singkat.
"Begitu saja?" tanya Reynand dengan nada datar.
"He-em." Farhan mengangguk.
"Jadi kau mengajakku bertemu hanya ingin bercerita seperti itu?" Alis tebal Reynand hampir menyatu. Sorot matanya begitu tajam menatap. Ia ingin berteriak dan marah-marah karena demi bertemu pria di depannya ini, Reynand harus bertengkar dengan ibu kandungnya sendiri.
"Apa lagi?" Bola mata Farhan memutar ke atas, lalu berusaha mengingat sesuatu yang bisa ia ceritakan.
Lama Reynand menunggu kalimat lanjutan Farhan, tapi pria itu tidak juga berbicara dan malah meneguk espreso miliknya sampai habis.
"Kau bilang kau jatuh cinta pada pandangan pertama kepada wanita itu, tapi sampai sekarang hubungan kalian belum juga ada kemajuan? Gila!" Reynand menggeleng pelan. Ia benar-benar muak.
"Pelan-pelanlah, Rey ... nanti juga ada," sahut Farhan.
"Kau tahu, zaman sekarang kalau tidak cepat bergerak, wanitamu keburu diambil orang lain."
"Tidak. Jangan samakan dia dengan Sheryl-mu yang mudah jatuh cinta dengan pria manapun. Wanita yang kusukai tidak seperti itu. Dia sangat fokus. Bahkan tidak ada satu pria pun yang datang ke rumah kontrakan itu selain keempat kakak dan ayahnya," jelas Farhan tidak mau kalah.
"Hei! Mengapa jadi membahas Sheryl, sih?" Reynand mulai kesal. Tekadnya untuk melupakan seakan hanya sebuah kata. Faktanya, ia tidak akan pernah bisa jauh dari wanita yang sudah menyakiti hatinya.
Farhan menelan ludah melihat air muka Reynand yang kesal. Wajah itu makin terlihat galak. Bahkan bulu-bulu halus yang tumbuh tidak teratur pada sekitar dagu dan kumisnya membuat tatapan matanya makin menyeramkan seperti om-om yang sedang marah karena menjelek-jelekkan simpanannya.
"Kau tahu, Rey. Saat ini, pasti hanya ibumu yang mengatakan dirimu tampan. Nyatanya, kau sangat jelek. Wajahmu tidak terawat seperti dulu. Patah hati boleh saja, tapi mengurus diri itu wajib hukumnya!" Farhan menghentakkan ujung telunjuknya pada meja. Menekankan kalau ia benar-benar tidak suka dengan penampilan pria di hadapannya.
Perkataan Farhan membuat air muka Reynand berubah. Ia lantas meraba bulu-bulu halus yang hinggap di wajahnya. Harus diakui, ia memang jadi jarang mengurus penampilannya sejak mengalami patah hati. Pantas saja jika wanita yang ia temui tempo hari memanggil dirinya dengan sebutan "Om". Pasti ia terlihat sudah tua.
Reynand menghela napas pelan. Air mukanya kembali tenang. Pria itu menyeruput espresonya sedikit. "Jadi, kapan kau akan mengatakan perasaanmu kepadanya?"
"Nanti kalau dia sudah memberikan sinyal positif. Aku tidak mau ditolak," jawab Farhan seraya mengangkat sepotong roti dengan garpunya lalu menelannya.
"Oh ...." Reynand manggut-manggut.
"Kau sendiri, bagaimana, Rey? Apa tidak ada wanita yang kau sukai di kantor? Apa ibumu tidak menjodohkanmu lagi?"
Reynand menggeleng pelan. Sebenarnya ia sangat malas membicarakan hal itu. Pandangannya tertuju pada espreso dalam cangkir.
"Rasanya aku tidak ingin menikah," gumamnya.
"Apa, Rey?!" Mata Farhan membelalak. Gumaman direktur Pradipta itu terdengar samar tapi cukup mengejutkannya.
Reynand mengangkat wajahnya menatap Farhan. Dengan senyum yang manis, ia menyanggahnya, "Ah, tidak apa-apa," katanya lalu terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia mengalihkan pembicaraan, "hei, apa kau punya dua ratus lima puluh miliar?"
Mendengar pertanyaan Reynand Farhan menarik wajahnya. Menegakkan posisi duduknya yang sebelumnya condong ke depan. Pandangannya melebar menatap sang sahabat.
"Dua ratus lima puluh miliar? Untuk apa?"
"Membantu Wisnu. Dia sedang mengalami kesulitan keuangan," jawab Reynand.
Farhan sontak melipat tangannya di dada. Air mukanya berubah sinis. "Huh! Pasti ini gara-gara istrinya!"
Bibir Farhan mengerucut. Ia memperlihatkan kekesalannya. Ketiga pria itu memang bersahabat. Sayangnya, Farhan tidak menyukai sikap istri Wisnu yang suka menghambur-hamburkan uang sang suami untuk hal yang tidak penting.
"Sssttt! Jangan kencang-kencang!" Reynand menempelkan telunjuknya di bibir. "Sebenarnya dia pinjam tiga ratus, tapi aku hanya memiliki lima puluh saja."
"Lima puluh juga banyak, Rey. Dia pikir kau tambang emasnya! Walau kita bertiga bersahabat, aku yang paling tahu dirimu." Farhan menyeringai menatap lurus wajah Reynand. "Jabatanmu memang tinggi, tapi kau belum memiliki kebebasan finansial karena posisi ibu dan nenekmu di perusahaan."
Reynand menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. "Tidak usah diperjelas—"
Perkataan Reynand terhenti. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia mengambil ponselnya dari balik jas dan melihat nomor wanita yang menabraknya kembali menelepon.
"Siapa?" Farhan menaikkan sebelah alisnya.
"Tidak penting," katanya seraya mengangkat bahu dan memasukkan kembali ponselnya ke balik jas.
"Angkatlah! Siapa tahu penting," ucap Farhan sedikit terganggu dengan bunyi nada panggilan Reynand.
"Tidak ingin. Kau tahu sendiri kalau aku tidak suka mengangkat telepon dari nomor yang tidak kukenal," sahut Reynand yang membiarkan bunyi panggilan masuk itu terus terdengar sampai habis. Ia tidak menjawab sama sekali ataupun balas meneleponnya.
Suasana kembali hening. Reynand bangkit berdiri, "Jika sudah tidak ada yang dibicarakan, aku ingin kembali ke kantor."
"Kau belum menghabiskan croissant-mu!" tukas Farhan menunjuk setengah croissant Reynand di atas piring.
"Aku sudah kenyang, Far. Sebentar lagi ada meeting," tolak Reynand seraya melihat arlojinya, lalu melanjutkan perkataannya, "kau bisa meneleponku jika hanya ingin bercerita seperti tadi. Lama-lama ibuku bisa jadi gila jika aku ketahuan menemuimu terus-terusan. Tadi saja, kami sempat bertengkar saat aku meninggalkan ruangan hanya untuk bertemu denganmu."
Farhan mengangguk, lalu berkata, "Astaga, Rey! Aku benar-benar jadi tidak enak dengan Tante Aina. Secepatnya, kita harus menjelaskan semua kesalahpahaman ini, Rey. Aku tidak ingin dicap sebagai gay olehnya. Bisa-bisa, tidak ada yang mau menikah denganku."
"Kau pikir aku mau, huh!" sahut Reynand bernada kesal.