Chereads / SANG PENGGODA CINTA / Chapter 23 - Penawaran Menarik

Chapter 23 - Penawaran Menarik

Reynand mengangguk pelan. Ia mengakui semua yang dikatakan Baruna adalah fakta yang sempat dirasakannya. Dulu pun Baruna pernah mengalami kecelakaan dan ia harus menggantikan Baruna untuk sementara waktu dalam pekerjaannya.

"Tapi aku senang bisa membantu Ayah di perusahaannya," timpal Reynand.

Baruna yang mendengar sahutan Reynand meraih botol mineral di atas meja, lalu meminumnya sedikit. "Asyraf Corp adalah perusahaanmu juga, Rey. Kau memiki saham juga di sana. Bagaimanapun kau adalah anak kandung dari Anton Wirawan Asyraf."

"Ya. Kau benar, Bar." Reynand mendengus pelan lalu menarik setengah senyumnya. Ia ikut meminum cairan bening penghilang dahaga itu.

"Mengenai rencana merger itu, aku setuju dengan ibumu. Tidak ada salahnya, bukan? Kita semua sudah menjadi satu keluarga. Toh, akan lebih praktis bila dua perusahaan itu berada dalam satu manajemen. Kau akan mudah membagi konsentrasi dalam mengawasi dan mengatur dua perusahaan sekaligus," ujar Baruna tiba-tiba. Ia menatap tajam kepada Reynand.

"Sepertinya pembicaraan ini terlalu dini untuk dibicarakan sekarang, Bar. Mamaku pasti sedang bertindak semaunya tanpa mengatakan rencana merger kepada Nenek," timpal Reynand yang tidak setuju akan rencana penyatuan dua perusahaan keluarga tersebut.

Baruna hanya mengangkat bahu, lalu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia berkata, "Mudah-mudahan kau berkata demikian bukan karena Sheryl, Rey. Aku percaya kau sudah melupakan perasaanmu terhadapnya."

Perkataan Baruna membuat Reynand terdiam. Hanya menatap nanap saudara tirinya. "Maksudmu?"

Ditatap seperti itu, Baruna makin melebarkan bola matanya. "Ya, aku hanya takut ketidaksetujuanmu hanyalah sebuah alasan saja."

"Aku tidak mencampuri urusan bisnis dengan urusan pribadi, Bar," timpal Reynand begitu tenang, tapi pada kenyataannya ia sedang berbohong. Pria itu memang hanya ingin menghindar dari sosok Sheryl.

"Aku kira kau masih mengharapkan istriku," ujar Baruna menatap dalam mata Reynand. Mencari sedikit kejujuran di sana.

"Ti-tidak, Bar. Itu semua sudah berlalu." Reynand menggeleng rikuh. "Aku sudah melupakan istrimu, Bodoh!"

"Baguslah. Aku tidak akan diam saja jika kau masih berusaha merebutnya dariku seperti dulu. She is mine now."

"I know," pungkas Reynand seraya memasukan makanannya ke dalam mulut. Ia tidak ingin membicarakannya lebih lanjut.

Kedua kakak beradik itu melanjutkan makan siang mereka hingga semua menu yang dihidangkan di meja habis tak bersisa dan kini hanya rasa penuh yang perut mereka rasakan. Keadaan itu membuat keduanya mengusap-usap perut mereka yang sedikit membuncit.

"Jangan lupa datang ke acara ulang tahun Asyraf Corp dua minggu lagi, Rey," ucap Baruna tiba-tiba.

"Ulang tahun?" Reynand melirik jam tangannya. Melihat tanggal yang tertera, lalu kembali menatap Baruna. "Ah, ya. Aku benar-benar lupa. Aku akan cek jadwalku dan meluangkan waktu untuk datang," sahutnya.

"Bawa pasanganmu! Perkenalkan dia kepadaku dan Sheryl."

Reynand terkekeh pelan. "Bukankah kalian sudah mengenalnya? Aku selalu membawa Kayla ke acara manapun."

"Oh ayolah, Rey .... I know, she is not your type. Kau hanya membawanya untuk menghilangkan status lajangmu di depan semua orang, bahkan di depan para wartawan yang tidak memiliki bahan untuk berita mereka," sanggah Baruna dengan tatapam tidak percaya. Pria itu tahu seperti apa wanita pujaan hati Reynand.

"Jika Sheryl memiliki saudara kembar, aku tidak keberatan memilihnya menjadi istriku." Tiba-tiba Reynand berkata dengan senyuman meledek, kemudian tertawa sangat renyah.

Baruna yang mendengar hal itu menggelengkan kepalanya kemudian mendengus dengan nada sedikit kesal, "Gila kau, Rey!"

Reynand terbahak mendengar reaksi Baruna. Dia segera mengibaskan tangannya. "Tidak. Aku hanya bercanda," ucapnya padahal setiap orang yang melihat air muka saat itu pasti akan menganggap Reynand serius.

****

Malam harinya ....

Kanzia berada dalam kamarnya. Wanita itu mengambil handuk kecil yang ia gantungkan di sebuah gantungan pakaian. Ia mengusap-usap rambutnya yang basah. Kanzia memang baru saja selesai mandi setelah seperti biasa Gathan mengantarnya sampai rumah.

Dokter wanita itu mengambil ponselnya lalu mengembuskan napasnya yang sedikit berat. "Mengapa pria itu tidak balas meneleponku?" gumamnya, padahal Gathan sudah mengatakan kalau pria itu kaya raya dan tidak akan meminta ganti rugi. Hanya Kanzia sendiri yang berharap untuk mengganti kerusakan mobil karena ia tidak suka pria itu meremehkannya jika di kemudian hari mereka bertemu lagi. Entah mengapa firasatnya tidak enak saat bertemu dengan pria yang ia panggil "om" itu.

Kanzia mulai menghubunginya kembali. Nada sambung itu terdengar beberapa kali, tapi hanya layanan voicemail yang menjawabnya, "Maaf, saya sedang sibuk. Jika berkenan, silakan tinggalkan pesan dan hubungi saya lagi."

"Saya adalah wanita yang tempo hari menabrak mobil Anda. Jadi, berapa total biaya reparasinya? Saya akan mengganti seluruh biaya reparasinya. Mohon untuk balas menghubungi saya, Bapak Reynand Alex Pradipta," ucap Kanzia sambil memandang kartu nama di tangannya. Sesaat kemudian wanita itu menutup panggilannya.

Kanzia yang masih mengenakan handuk kimono bergegas menggantinya dengan piyama. Wanita itu lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit yang bertaburan beberapa tempelan bintang berwarna-warni. Ia sengaja menempelkannya saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah kontrakan itu.

"Sudah tujuh tahun berlalu," gumamnya mengingat masa-masa awal ia datang dan bermukim di Jakarta. Hanya sendiri, walau kadang ke empat kakaknya datang bergantian, termasuk sang Ayah yang seringkali ia hindari.

Kanzia menghela napas panjang. Hari pertamanya sebagai dokter di rumah sakit sangat melelahkan dan ia ingin cepat-cepat beristirahat malam ini.

Kling!

Notifikasi pesan chat masuk pada ponselnya terdengar. Kanzia meraba-raba permukaan kasurnya, mencari ponsel yang ia letakkan sembarangan. Pesan chat dari David—kakak laki-laki ke duanya.

[Aku di depan rumah kontrakanmu, Zi.]

Kanzia membelalak, sontak menegakkan tubuhnya. Ia sangat terkejut. "Kakak?!"

Wanita berambut hitam legam itu bergegas meraih kardigan coklatnya dari gantungan dan memakainya dengan teburu-buru. Sosok David sudah berdiri di depan pintu menenteng sebuah bungkusan makanan di tangannya.

"Kakak?" Kening wanita itu mengerut menatap David—Kakaknya yang memiliki sebuah bisnis rumah produksi film berkualitas di Jakarta.

"Zi, apa kau sudah makan?"

"Sudah, Kak. Ada apa malam-malam datang ke sini?" Kanzia balas bertanya.

"Temani Kakak makan," timpal David.

Tidak lama, keduanya sudah berada di ruang makan. Kanzia mengatur makanan yang dibawa David. Ia menuangkan kuah susu sup daging ke dalam mangkuk dan membawanya ke meja makan.

"Wangi," komentar David mencium aroma sup tersebut. Matanya memejam menikmati aroma sup itu.

"Awas kolesterol! Bulan lalu, kolesterol Kakak berada di atas normal," sahut Kanzia mencebik sang Kakak. Sebagai adik yang berprofesi sebagai dokter, ia merasa wajib mengingatkan David.

David memutar matanya mengikuti gerakan Kanzia yang sontak duduk di sampingnya. Ia hanya tersenyum kecil, lalu menimpali perkataan sang adik, "Jika kau terus memikirkan penyakit, kau tidak bisa menikmati hidup, Zi."

"Kata siapa aku tidak menikmati hidup?" Kembali wanita itu mencibir kepada David.

"Mengamati kau sekolah saja sudah membuatku pusing dan mual. Tujuh tahun, Zi ... kau baru benar-benar menjadi dokter. Ckckck." David menggeleng pelan. "Sayangnya, kau belum menghasilkan apa-apa."

Kanzia yang mendengar perkataan David seketika memanas. "Jika Kakak hanya ingin mengejekku, lebih baik pergi dari sini!" Kanzia seketika berdiri mengulurkan tangannya, menunjuk ke arah pintu keluar.

"Duh, mengapa kau sangat sensitif sekali, sih, Zi? PMS, ya? Kakak ini datang karena tahu kau sedang kesulitan keuangan."

"Pasti Kak Gathan yang berbicara kepadamu," tebaknya.

David terkekeh sesaat, lalu menimpali Kanzia, "Menurutmu siapa lagi, huh? Di antara kami, empat orang Kakakmu ini, dia yang paling banyak memiliki waktu untuk mengawasi putri bungsu Berlin, bukan?"

"Haish! Kak Gathan! Dasar ember!" pekik Kanzia kesal.

David kembali terbahak, lalu di sela-sela tawanya ia mengalihkan pembicaraan. "Ngomong-ngomong, waktu sewa rumah ini akan habis ya, Zi?"

"Ya, Kak."

"Bagaimana kalau kau menempati apartemen Kakak?" David tiba-tiba memberikan penawaran yang menarik.