Chereads / Second Life, Second Love / Chapter 13 - Mimpi Sang Kupu-kupu*

Chapter 13 - Mimpi Sang Kupu-kupu*

12. MIMPI SANG KUPU-KUPU

Kekaisaran Li - Istana Li Yin

Seperti malam-malam biasanya, Weiheng dan Wenhua membagi tugas. Bagi mereka, semua malam sama saja kecuali satu malam di musim dingin yang begitu panas membakar.

Wenhua dan Weiheng berjalan berlawanan arah. Mereka berpisah di koridor aula istana untuk melakukan rutinitas mereka sebagai kesatria pribadi kaisar Li. Wenhua akan pergi berpatroli di luar, sedangkan Weiheng akan berjaga di dalam istana, terutama disekitar kamar kaisar Li Xi.

Chunyin bersandar di salah satu tiang pavilium kecil yang berada di halaman belakang kamarnya. Ia memperhatikan langit malam berbeda dengan Jiang Yi dan An Jia Li. Ia memandang ke arah langit yang berhias banyak bintang juga bulan purnama. Ada banyak hal yang dapat ia fikirkan, seperti kenapa ia tidak dapat menggunakan kekuatannya di danau giok?, atau kenapa ada dua karakter tambahan yang hadir dalam kisahnya.

Chunyin berfikir dan bertanya, apakah ini benar-benar dunia novel yang jalan ceritanya ia buat?. apakah dirinya benar-benar bereinkarnasi di dunia novel buatannya?. jika benar, itu berarti ia seharusnya sudah tau jika ending dari Xiang Lian kekasihnya itu akan bersama dengan siapa. Tentu saja bukan dengannya yang kini sebagai kaisar villain dalam novelnya. Tapi jika dirinya benar-benar berada di dunia novel, mungkin ia memiliki kesempatan untuk merevisi ceritanya dan merubah isi novel. Agak naif memang, tapi bagaimanapun, Chunyin masih mencintai Xiang Lian. Dia ingin hidup bersama dengan kekasihnya. Meski itu berarti ia harus merebut Xiang Lian dari dirinya sendiri.

Chunyin tertawa kecil, "konyol" ucapnya. Ia benar-benar tidak tau lagi harus berkata apa tentang hasil buah fikirannya sendiri itu.

Chunyin mengulurkan tangannya ke arah bulan, "kesatria bulan perak" gumamnya. Chunyin memikirkan tentang julukan kaisar Li itu. Julukan itu memang benar-benar ada dan bukan karangannya saat menulis novel. Fikiran Chunyin kembli ke masa lalu. Ia berfikir rasional dan jujur. Jika dibandingkan dengan dirinya, sosok Li Xi memanglah lebih cocok untuk Xiang Lian. Tapi disisi lain ia juga tidak ingin mengakui hal itu. Selamanya, ia tidak akan suka jika Xiang-er nya itu bersama dengan Li Xi.

Chunyin termenung lagi. Kali ini ia menatap tangannya sendiri dan berkata dengan pasrah, "aku adalah Li Xi sekarang dan diriku disana pasti juga akan berfikir sama. Dia tidak akan suka jika aku bersama dengan Xiang-er ..." fikir Chunyin yang masih bersaing dengan dirinya sendiri, meski kenyataannya ia bersaing dengan Jiang Yi.

Selain itu, masih ada hal yang mengganjal fikirannya. Tentang alasan Li Xi di masa lalu yang membunuh Xiang Lian. Chunyin tau jika Li Xi juga menyukai Xiang-er nya, tapi kenapa Li Xi bisa sampai membunuh Xiang Lian hanya karena Xiang Lian tidak menerima perasaannya?.

Jika difikir-fikir, Li Xi sebenarnya mirip dengan Fengyin jika itu menyangkut Xiang Lian.

"Seharusnya ia tidak mungkin tega membunuh Xiang-er" fikir Chunyin. Mengingat posisinya saat ini sebagai Li Xi. Chunyin menilai jika seharusnya Li Xi yang dulu juga pasti akan bersikap seperti dirinya saat ini. Meski tidak dapat bersama, setidaknya ia pasti berfikir jika 'yang penting Xiang Lian bahagia.'

Semakin dalam memikirkannya, Chunyin kembali diserang rasa sakit di kepalanya. Ada sesuatu yang mengganjal di perasaannya yang tidak dapat ia deskripsikan seperti hatinya mengetahui jawaban dari pertanyaannya namun jawaban itu tidak dapat sampai ke otaknya sehingga Chunyin tidak dapat berfikir tentang jawaban yang seharusnya ia tau. Ada sesuatu yang memblokir ingatannya.

Keringat dingin meluncur dengan deras, tak peduli sesakit apa kepalanya. Chunyin berusaha untuk membuka jalan yang diblokir.

Sekilas bayangan akhirnya dapat melewati celah yang telah terbuka sedikit. Ingatan dalam musim dingin melintas di kepala Chunyin seperti sebuah trailer film yang berputar singkat dan cepat.

Chunyin melihat pemandangan salju tebal yang menutupi sebuah hamparan padang bunga. Meskipun hanya sebuah ingatan. Chunyin menggigil. Keringat dinginnya semakin menyebar di sekujur tubuhnya, baju dalamnya bahkan telah basah seperti ia baru saja selesai dari berlatih bela diri dengan bermandikan keringat. Chunyin dapat merasakan angin musim dingin menerpa tubuhnya.

Hembusan nafasnya semakin memburu. Seluruh tubuhnya menggigi kedinginan namun Chunyin juga bereaksi seperti tengah berada di sekeliling api. Udara musim panas menjadi tipis di sekelilingnya sehingga Chunyin tak dapat bernafas dengan baik. Dirinya seperti tengah mengalami gejala kecemasan yang tengah kambuh.

Chyunyin merosot perlahan. Pegangannya di tiang kayu tempatnya bersandar tadi mulai melemah sampai akhirnya Chunyin terduduk dengan lemas. Memori siang tadi ikut berputar. Chunyin merasakan hal yang sama saat ia tenggelam di danau giok.

"Xiang-er ..." lirih Chunyin. Ia mengingat dengan jelas suara Xiang Lian yang berbicara padanya di danau giok. Xiang Lian benar-benar berbicara padanya di dalam air saat itu dengan wajah sedih.

Chunyin masih berusaha mengingat ingatannya yang terblokir. Kata-kata Xiang Lian di danau giok saat itu seharusnya masih memiliki kelanjutannya. Alasan dirinya meminta maaf padanya.

"Maafkan aku ... Yi-ge, aku janji tidak akan melupakanmu- ..."

Semakin keras Chunyin berusaha mengingatnya, semakin melemah pula kesadarannya sehingga ia tidak dapat meneruskan memaksa kepalanya untuk mengingat kata-kata Xiang Lian sehingga kata-kata itu berakhir menjadi hanya seperti gerakan bibir yang tengah bergumam padanya tanpa ada suara, dan Chunyin pun tidak sadar setelahnya. Ia ikut tenggelam ke alam bawah sadarnya. Meski ia tidak dapat mengetahui kelanjutan kata-kata Xiang Lian, tapi Chunyin mendapatkan sebuah mimpi yang cukup membuatnya merasakan kehangatan.

Salju-salju mencair, bunga-bunga bermekaran. Musim dingin telah berlalu dan musim semi telah datang membawa keindahan dan kehangatannya.

"Pemandangan ini ..."

Chunyin memperhatikan sekitarnya, sejauh mata memandang ia hanya melihat hamparan berwarna hijau dan putih yng mendominasi. Chunyin ingat pemandangan ini. Pemandangan yang mirip dengan pemandangan dalam ingatannya meski sedikit berbeda karena sebelumnya yang ia lihat adalah hamparan putih salju yang menutupi seluruh padang bunga tempatnya berdiri saat ini. Tepat berada di bawah sebuah pohon sakura yang lebat, Chunyin dapat melihat pemandangan bagus dari tempatnya berdiri

Chunyin memperhatikan padang bunga dengan hening. Perasaannya cukup damai sampai ia melihat rambatan bunga yang tumbuh di dekatnya berdiri. Sebuah tanaman bunga peony berwarna putih tumbuh dengan indah.

Chunyin menatap bunga peony berwarna putih itu dengan cukup lama. Ada banyak gejolak perasaan yang ia rasakan namun ia hanya membiarkan gejolak itu bergolak, seolah dirinya tengah menunggu rebusan yang ia masak matang.

Sayup-sayup angin yang berhembus membawa sebuah suara samar yang Chunyin rindukan. Bersamaan dengan matahari yang bersinar semakin terang, seseorang muncul di hadapan Chunyin dan memakaikannya rangkaian bunga yang sudah dirangkai membantuk bulatan mahkota bunga.

Sampai diwaktu itu, Chunyin bagai terlepas dari raganya. Ia kini hanya dapat melihat pemandangan dua orang di hamparan bukit bunga yang luas dengan perasaan bahagia sebelum akhirnya semua bunga tiba-tiba menjadi layu, langit menjadi mendung dan kilat menyambar.

Pemandangan di depan Chunyin seketika berubah menjadi sebuah medan perang yang mengerikan. Perasaan bahagianya kini telah berubah drastis menjadi kesedihan dan kemarahan. Chunyin berwajah pucat. Ia melihat kebawah kakinya lalu terjatuh dalam genangan darah yang mengalir dari mayat-mayat prajurit yang ada disana.

Perasaannya berkecambuk. Ia merangkak di antara gelimpangan mayat menuju ke suatu tempat, namun saat ia hendak sampai kakinya terasa membatu. Ia tak dapat bergerak maju lagi. Hatinya menahannya. Dirinya bagai tidak diizinkan untuk melangkah lebih jauh lagi.

Chunyin mengambil pedang yang tergeletak lalu seseorang telah menebasnya dan Chunyin pun terbangun dari tidurnya. Hal terakhir yang ia lihat sebelum terbangun adalah sebuah kupu-kupu yang akhirnya terjatuh di atas bunga. Meski tak dapat lagi terbang setidaknya ia masih dapat tertidur di atas bunga dan bermimpi indah.

"Yang Mulia?"

"Yang Mulia, apakah anda sakit?" tanya sebuah suara yang masih samar di telinga Chunyin karena di telinganya hanya ada suara Xiang Lian. Ingin rasanya ia kembali tidur dan mendengar suara sosok wanita di padang bunga itu lagi.

Dengan sedikit linglung, Chunyin akhirnya sadar jika Weiheng sejak tadi menunggu jawaban darinya dengan raut wajah khawatir.

"Yang Mulia, anda tadi pingsan. Apakah anda sakit?, apa aku harus memanggil tabib istana?" ucap Weiheng yang sejujurnya ia baru saja akan menemui tabib, namun saat baru ingin keluar dari pintu Chunyin mengigau dan beberapa saat kemudian sadar sehingga Weiheng mengurungkan niatnya. Weiheng sendiri tau jelas jika Li Xi selalu merahasiakan jika dirinya sakit hanya karena ia tidak ingin mau memakan obat dari tabib yang pahit. Maka dari itu, Weiheng harus berfikir beberapa kali untuk memanggil tabib jika Li Xi tidak terluka parah seperti tertusuk pedang atau apapun itu yang mengancam nyawanya.

"Yang Mulia, apakah anda menguji racun baru lagi?" ucap Weiheng karena ia tak kunjung mendapat jawaban jadi ia hanya dapat menebak-nebak apa yang menyebabkan tuannya itu jatuh pingsan. Walau ia tak yakin karena Li Xi selalu menguji racun di ruangan khususnya. Jadi tidak mungkin Li Xi pingsan diluar ruangan untuk menguji racun buatannya.

Hanya sedikit orang yang tau jika kaisar Li Xi tumbuh bersama dengan racun. Tubuhnya telah kebal terhadap banyak racun mematikan meskipun ia tetap mendapatkan efek sampingnya seperti mual dan demam yang parah.

"Aku baik-baik saja, hanya lelah sedikit ..." ucap Chunyin.

"Baiklah. Aku akan keluar, dan anda bisa memanggil saya jika memerlukan sesuatu" jelas Weiheng. Ia pun segera keluar karena tidak ingin mengganggu tuannya yang entah kenapa sepertinya memiliki perasaan yang cukup buruk sejak mereka pergi dari danau giok. Walau Weiheng dapat melihat sedikit kebahagiaan diwajah tuannya itu saat ia memberikan sesuatu kepada seorang gadis pelayan.

"Yang diberikan Yang Mulia kepada gadis pelayan itu, bukankah sebuah tusuk rambut?" setelah mengingat hal itu, Weiheng terdiam sejenak sebelum akhirnya ia membuka mulutnya lebar-lebar tanpa mengeluarkan sepatah katapun saking terkejutnya.

Weiheng berteriak dalam hatinya dengan penuh ketidakpercayaan "Yang Mulia ... Yang Mulia ... me-melamar gadis itu?!."