Semburat kenikmatan-Nya terpancar begitu lembut menyapa indahnya dunia pagi. Tak salah kita, umat muslim, diperintahkan untuk bersyukur atas seluruh nikmat-Nya, tak bisa kita bayangkan seberapa banyak nikmat yang Allah beri. Allah telah berpesan pada kita dalam kitab-Nya yang agung, 'Walain syakartum laazidannakum, walain kafartum inna 'adzaba la syadiid.' Berbanggalah kita sebagai umat muslim yang selalu terlimpah oleh nikmat yang tak terkira.
Aku begitu bersyukur pagi ini, satu lamaran kerjaku di terima setelah mengajukan ke beberapa perusahaan di Kota Solo. Senyumku merekah, akhirnya aku bisa terjun langsung ke dunia luar setelah dikengkang enam tahun di pesantren, dunia penuh simfoni ukhuwah islam, dunia yang takkan pernah kulupakan seluruhnya. Pengetahuan ku atas pertemanan hakiki, disanalah tempatnya, dunianya para ninja kalau kata anak kecil disekitar pondok.
Usiaku memang baru dua puluh tahun, sangat muda untuk bekerja di perkantoran, tapi bukan diriku kalau hanya diam menetap di rumah. Aku cewek bertipe aktivis, sebuah organisasi kepedulian anak panti misalnya yang sudah ku gabungi setahun yang lalu. Itupun tak terlalu menyibukkan, mungkin hanya pagi datang ke panti untuk mengajar, begitu setiap harinya. Jadi untuk menambah kesibukan, aku memilih bekerja di perusahaan umipun juga setuju. Bukankah kita hidup di dunia ini untuk mencari kesibukan? Dalam kamusku tak ada yang namanya rehat sejenak dari kebaikan.'Fastabiqul Khoirot,' itulah motto dalam keluargaku.
"Afaf, Umi mau ke rumah teman dulu ya, kamu jaga rumah, ntar kalau Alisa bangun kamu buatin susu coklat ya, jangan lupa jemput Hisyam di sekolah jam sebelas nanti habis itu suruh dia makan, kalau sudah kamu boleh bebas," Umi mengomel dari lantai bawah padaku yang masih di dalam kamar, cengingisan melihat surat terima itu. Aku hanya mengiyakan dari dalam kamar, beginilah tugasku sebagai kakak tertua, mengurus dua bocil itu.
Mengingat surat itu, aku harus memberitahu pada Ami, sahabatku, ia juga harus ikut bahagia mendengar ini karena kami akan sekantor. Ku raih ponsel di atas nakas lalu mencari nomor Ami dengan cepat, memanggil.
"Assalamualaikum Faf, ada apa?"
"Waalaikumsalam, Ami, aku punya berita bagus hari ini."
"Oh, barakallah ya."
"Amin, kamu nggak nanya apa gitu?"
"Emang apa?"
"Alhamdulillah aku diterima kerja di CV tempat kamu kerja."
Kami bersorak dalam panggilan itu. Tak terbayang senangnya kami bisa bekerja di tempat yang sama. Menurut informasi, perusahan itu baru saja rintis dua tahun lalu dan sudah memiliki perkembangan pesat dalam kualitasnya, kantor penerbitan. Di tengah percakapan terdengar suara Alisa yang mencari keberadaan Umi, ku putuskan untuk mengakhiri perbincangan dengannya.
"Dah bangun Alisa, kakak buatin susu dulu ya," gadis dua tahun itu mengangguk kecil. Dalam pelukannya ada boneka beruang pink kesayangannya, karena ia terlalu sayang pada boneka itu hingga ia melarang umi untuk mencucinya jadi terlihat buluk warnanya. Kalaupun ia ingin mencuci dengan syarat harus ke laundry depan rumah, itu pun harus menggunakan parfum yang ia pilih, ada saja tingkah lucunya.
Segelas susu coklat ku sodorkan padanya, tanpa disuruh pun bocil itu duduk di atas kursi meja makan. Deringan alarm ponselku berbunyi menandakan waktunya menjemput Hisyam di sekolah, sengaja aku pasang agar teringat. Lantas bersiap mengenakan gamis dibalut jaket jeans panjang selutut, melihat ku bersiap Alisa menatap lama.
"Ica mau itut jemput kak icam," ocehnya lucu, mulutnya masih belepotan dengan bekas susu coklat. Senyumku sambil mengangguk membolehkan, dengan sigap ia berlari ke kamarnya entah kenapa, aku menunggu di ruang tengah, ternyata anak ini mengambil jilbab dan sudah mengelap bekas susu di mulutnya, anak pintar. Lalu meluncur ke sekolah Hisyam yang berjarak tiga puluh menit.
Ramai para wali menjemput anak-anak mereka. Aku sedikit kebingungan mencari keberadaan adik laki-laki ku itu, tak mungkin pula aku masuk kasihan dengan Alisa, ia pasti tak suka keramaian. Kepalaku masih celingukan meneliti setiap siswa yang keluar dari gerbang, batang hidungnya tak muncul juga. Masih mematung di depan gerbang sembari menggendong Alisa.
"Kak icaam!" Tampaknya Alisa melihat sosok kakaknya itu, tapi aku tak melihatnya.
"Mana dek?" Jari telunjuknya mengarah pada anak laki-laki dengan ransel biru, ya itu Hisyam. Mendengar namanya di panggil, anak itu segera berbalik menatap dan menghampiriku. Kami pun pulang menuju rumah. Di perjalanan Alisa asyik mengoceh, ia berdiri di bagian depan motor. Ku biarkan saja, kadang bocil itu melantunkan ayat yang ia hafal, sebentar juga ia bernyanyi tak jelas, atau mengeja kalimat-kalimat sekeluarnya dari mulut mungilnya. Asyik mendengarkan ocehannya, tiba-tiba sebuah mobil dari tikungan hendak menabrak kami, secara otomatis rem ku tekan mendadak hingga Hisyam yang di belakangku terbentur punggungku.
"Woi kalo mau belok klakson dulu napa?" Protesku pada si pengendara. Kepalanya ia sembulkan dari jendela mobilnya, seorang laki-laki. Rupanya ia tak terima pula.
"Nggak denger apa, klakson udah panjang kayak kereta gitu masih aja nyalahin, makanya punya telinga di pakek! Udah minggir buru-buru nih, nggak ada waktu buat berantem sama cewek nggak tau diri!" Ia sudah ingin membelokkkan rodanya ke samping mencari celah untuk berlanjut perjalanan. Agaknya pernyataannya benar sebab sedari tadi aku asyik mendengar celotehan Alisa, tapi tak bisa ku biarkan saja, akan ku buat ia meminta maaf setidaknya karena mengagetkan kami. Segera ku cegah karena ia juga sudah mengataiku tak tahu diri, aku tak peduli dengan kedua adikku yang mematung di atas motor, ini juga demi keselamatan mereka dan harga diriku.
"Apa lo bilang? Nggak tau diri? Sebenarnya sadar diri dong, nggak minta maaf lagi, sono tuh yang nggak sadar diri," omelku didekat jendela mobilnya, laki-laki itu tak menatapku sama sekali, makin kesal saja aku dengannya.
"Apa? Minta maaf? Ngelutut dulu ama gue baru gue mau minta maaf?" Ngaco sekali omongannya. Parasnya saja yang keren tapi mulutnya tak keren, tak beradab.
"Heh, tampangnya aja yang keren tapi sebenarnya tak berakhlak samsek, manusia macam apa kau ini?" Kedua lenganku berlipat di depan dada, nadaku sinis.
"Macam apa? Macam setan!" Ujarnya tegas. Moncong mobilnya itu memaksaku untuk memberinya jalan, klakson ia bunyikan sangat panjang kali ini membuatku mengalah dan meminggirkan motorku sedikit. Ia melaju cepat menuju jalan raya. Aku pun melanjutkan pulang ke rumah.
"Tadi siapa kak?" Hisyam bertanya dari belakang.
"Entah kakak juga nggak tau, pokoknya kalian jangan cerita sama umi ya biar kakak sendiri aja yang cerita, ok?" Hisyam nampak mengangguk paham, aku melihatnya dari kaca spion, sedang Alisa, anak ini harus ada imbalannya untuk hal seperti ini, tentu dengan semangkuk es campur mutiara.