Chereads / Sejentik cinta suci / Chapter 4 - 4. Terkenang

Chapter 4 - 4. Terkenang

Rasa kesalku belum juga hilang, malah menjadi-jadi. Dengan laki-laki aneh itu ditambah umi memperkenalkan ku dengan anak laki-laki temannya. Aku belum siap menjalani kehidupan mandiri, sekarang aku baru belajar dengan bekerja di perusahaan itu.

"Kamu tolak nak?" Umi sepertinya masih berharap aku menerimanya, aku tetap tak mau menikah dulu.

"Iya Umi, Afaf kan baru keluar dari zona nyaman, masak masuk lagi nggak mau lah," sungutku dihadapan umi.

"Menjadi istri sholihah itu banyak tantangannya, nak. Kamu kudu siapin hati, selalu jaga pandangan dan cintamu hanya untuk suamimu. Sebaik-baik istri sholihah adalah yang dapat menjaga harta dan kehormatan suaminya, jadi kamu nggak perlu tuh yang namanya kerja, biarkan itu tanggung jawab imammu kelak. Kalaupun kamu mau, jangan pernah melampaui batas suami, nggak baik. Nih buku buat kamu, pelajari betul-betul," nasehat umi panjang itu mengundang abi untuk ikut nimbrung di ruang tamu. Buku tebal bercover keemasan, "Sesholihah Aisyah r.a."

"Ah nggak perlu cepat-cepat menikah, abi masih mau lihat anak abi sukses. Iya kan?" Senyumnya ia lemparkan padaku, mendadak umi menatap abi tampak tak suka karena ikut menyela, aku hanya tertawa kecil melihat keduanya. Alasan apa umi ingin aku segera menikah, abi pun santai saja dalam masalah ini tak terlalu mengekangku. Aku sependapat dengan abi.

Kenapa sebagai anak perempuan hal yang sensitif adalah menikah? Sudah menjadi adat turun temurun sejak zaman bahula. Karena beginilah Allah menciptakan manusia dari golongan laki-laki dan perempuan. Sudah menjadi sunnah tersendiri, karena Allah menciptakannya untuk berpasang-pasangan walau banyak juga ulama terdahulu yang tidak menikah. Sadar atau tidak itu pasti terjadi.

"Ah iya, Umi, Afaf minta maaf tadi waktu habis jemput Hisyam kami hampir tertabrak, tapi...." Seketika umi berubah mimik menjadi panik dan menatapku detail dari atas sampai bawah, abi pun tak kalah juga.

"Ya Allah, terus gimana? Kalian nggak papa kan? Alisa ikut juga? Ada yang berdarah nggak? Atau perlu ke rumah sakit?" Serang umi sekali bercakap. Aku mengangguk perihal umi menanyakan Alisa ikut serta menjeput Hisyam.

"We are fine kok mi."

"E... yang nabrak cowok atau cewek?" Abi berceletuk, lagi-lagi wajah masam umi keluar, abi pun menyadarinya.

"Cowok bi," jawabku cepat, keduanya menatapku kaget. Aku tersenyum saja melihat ekspresi mereka berdua, geli melihatnya.

"Semoga kalian berjodoh," asal saja abi berkata membuat kami berganti menatapnya kesal.

"Ya udah abi, mau pergi dulu," sambungnya hanya beralasan saja untuk menghindari amukan umi.

"Mau kemana?" Tanya umi sigap.

"Mau ke rumah mantan pacar dulu," abi tersenyum dalam sembunyi, ekspresi umi kali ini semakin, amarahnya sepertinya tak tahan lagi, aku cekikikan melihat berdua. Umi beranjak hendak mendaratkan pukulan pada abi, tapi lelaki kesayangannya itu sudah lebih dulu menjauh, jadilah mereka kejar-kejaran.

***

Pagi ini agendaku adalah wawancara. Perihal hari kemarin sudah terlupa begitu saja, umi pun juga mengalah untuk tak menjodohkan ku dengan anak temannya, semuanya pulih. Gamis peach berhias siffon dan jilbab pasmina instan biru muda menjadi outfitku kali ini. Sebelum berangkat aku memberitahu Ami.

"Ami, aku akan wawancara hari ini," kataku setelah mengucap salam padanya.

"Iya Faf, aku tahu. Triknya biar keterima, kamu harus yakin diri. Kalau sudah diterima tunjukin omonganmu dengan kinerjamu, ok? Good luck! Ya udah aku masih ada kerjaan nih, sampai ketemu di kantor. Kalau bisa menangin hatinya juga, hahaha."

"Apaan sih kamu, aku mau kerja koq bukan cari jodoh," cebikku di balik telepon.

"Iya, iya. Semoga diterima ya, bye!"

"Amiin, bye."

Moodku saat ini sedang baik. Rasa syukur pada-Nya merasuk dalam di relung hati, hamdalah lah yang terucap dari bibir ini, semoga bibir ini senantiasa basah oleh ucapan dzikir atas-Nya. Awan pagi membumbung tinggi membentuk naungan pada makhluk bumi dari serangan ganas sang mentari. Laju motorku sedikit tergesa, tak ingin terlambat karena wawancara ini berlaku hanya satu jam dari waktu undangan jadi, siapa cepat dia dapat.

Aku menghambur pada meja resepsion begitu tiba di lobi kantor. Setelah mendapat informasi dari petugas, bergegas menuju lift ke lantai empat tempat wawancara itu terlaksana, tak sempat juga memberitahu Ami bahwa aku sudah tiba. Jantungku berdetak cepat sambil menunggu pintu lift terbuka, tiga puluh menit lagi tapi pintu itu tak kunjung terbuka juga. Bibir bawah ku gigit erat karena gelisah, berpikir nanti akan sia-sia datang kesini pada akhirnya.

Ting! Tak peduli sekitar, aku langsung merangsek masuk. Begitu sempit disini, sekitar sembilan orang berada dalam lift berukuran dua meter persegi. Napasku sedikit sesak melihat lelaki di depanku begitu gemuk badannya, bingung bagaimana agar terlepas dari keadaan ini. Bau acem dari keringatnya tetiba merasuk ke hidung, sungguh tak nyaman. Masih ada dua lantai lagi, aku tak yakin akan bertahan dalam kondisi seperti ini.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundak lelaki gemuk itu menyuruhnya berpindah ke belakang, lega rasanya bisa bernapas bebas dan tak mencium bau aneh itu. Berganti laki-laki berjas abu-abu berdiri dihadapanku, sepertinya ia yang menolong tadi. Pundaknya ku tepuk lembut berniat ingin berterima kasih tapi ia sudah melangkah keluar begitu pintu lif terbuka sedang aku masih naik satu lantai lagi. Ah, nanti saja jika bertemu, pasti ia karyawan sini.

Ruangan wawancara sudah sepi, tak ada antrian di depan ruangan itu. Pikiranku tampaknya benar, sia-sia datang kesini, semuanya terlambat. Harapan untuk hidup mandiri melebur begitu saja, bayangan senang bekerja bersama Ami hilang. Duduk di depan layar sekarang hanyalah angan saja, tak menjadi nyata. Ami pasti sedih mendengar hal ini tapi aku lebih sedih, langkahku lesu menuju kursi di belakang jendela kaca raksasa yang menampakkan pemandangan jalanan ramai. Ku cari kontak Ami untuk memberitahu perihal ini, berniat meminta maaf.

"Hallo, Ami, hiks, hiks!" Tangisku padanya.

"Kau kenapa? Gimana? Diterima?"

"Su... sudah berakhir."

"Apa maksudmu? Berakhir apanya?"

"Sudah berakhir acaranya Ami. Hiks! Hiks!"

"Ya Allah, cup!cup! Ya udah kamu datang ke tempatku aja ya, di lantai dua, nanti aku tunggu di depan lift, cerita sama aku, ok?"

"Hmm...," ku tutup sambungan telepon sambil mengelap air mata yang menganak deras lalu beranjak malas menuju lift. Mood ku berubah seketika, memang pintar Allah merubah keadaan hamba-Nya tapi aku belum mengikhlaskan kejadian ini, harapan untuk bekerja disini sangat besar. Mungkin tadi aku terlalu senang membayangkan lulus dari wawancara sehingga Allah merubah semuanya. Tangisku masih sesenggukan di depan pintu lift, menunggu terbuka. Tampak seorang perempuan berlari tergopoh-gopoh ke arahku, tak peduli. Begitu pintu lift terbuka, aku masuk dan menekan nomor dua, tetiba pintu itu tertahan dengan tangan perempuan tadi, ia terengah-engah menunduk, wajah ku bingung melihatnya.

"Jangan turun dulu. Heh... heh... heh, bos memanggilmu untuk wawancara," aku? Tentu saja karena tak ada orang selainku disini. Tapi tak salah dengarkah? Ternyata masih ada kesempatan dalam harapan tapi aku perlu memastikannya bahwa itu bukan main-main.

"Benarkah?" Wanita itu mengangguk yakin, tampak wajahnya memerah kelelahan mengejarku tadi, sepertinya wanita ini bukan pembohong. Aku mengiyakan ajakkanya untuk bertemu pada bos. Langkahku mengekor menuju ruangan wawancara.

"Kenalkan, aku Pita," kenalnya sebelum memasuki ruangan.

"Afaf," jawabku singkat sambil menyimpulkan senyum.

"Nah, silahkan masuk, sudah ditunggu. Yakinkan dirimu ya, karena kamu harapan terakhirnya," tepuknya pada pundakku lalu melangkah pergi. Aku tak tahu maksudnya sebagai harapan terakhir, bos kah? Perusahaan kah? Entahlah, terpenting sekarang adalah diterima disini.

Pintu ku buka perlahan, udara dingin segera menyergap wajah, terasa sedikit kering. Seorang laki-laki menunduk di meja kerjanya sibuk meneliti berkas-berkas, tak tahu apa. Ruangan luas ini sungguh mewah, aroma peach yang manis memenuhinya, sangat nyaman. Aku teringat kejadian di lift, ia memiliki ruangan mewah dan nyaman tapi liftnya sangat aneh, apa tak ada lift khusus karyawan dan pengunjung? Andai ini milikku akan ku prioritaskan kenyamanan karyawan dan pengunjung, bukan seperti dirinya yang mementingkan ruangan pribadi.

"Duduk!" Perintahnya tanpa sekali pun memalingkan tunduknya, sesibuk itukah hingga tak ingin memandang sang tamu? Bos macam apa yang tak menyambut ramah tamu, andai aku yang jadi bos pasti akan ku dahulukan tamu dari pada pekerjaan karena dalam islam diperintahkan untuk memuliakan tamu, menjamu dengan baik bukan mengacuhannya, atau jangan-jangan ia bukan orang islam?

"Dengar tidak saya suruh du...," kali ini wajahnya terangkat, kalimatnya terhenti begitu mengetahui sang tamu. Tatapanku berhenti ketika mengetahui siapa yang sedari tadi ku maki-maki dalam hati, cowok tak berakhlak itu. Kenapa bertemu dengannya dalam situasi seperti ini? Ada rasa sesal dalam hati karena telah memakinya, betulkah ia pemilik perusahaan ini? Atau ia hanya bagian pewawancara saja, agaknya benar tapi tampangnya seperti menyangkal pikiran itu. Aku memilih melangkah keluar, sudah tak ada selera lagi untuk melakukan wawancara. Waktuku kali ini tak sia-sia untuk tak mengikuti wawancara, masih banyak kantor di kota ini yang akan menerimaku, asalkan bukan disini. Maaf Ami, batinku dalam hati.

"Tunggu! Mau kemana?" Deg! Tangan ini tetiba berhenti untuk memutar handle pintu.

"Kalau sudah masuk ruangan ini, tidak boleh keluar sebelum wawancara. Kalau tetap keluar itu berarti sudah merusak harga diri mu," apa ia menyebutku tak tahu diri lagi dengan sindiran? Dasar cowok sadis, sangat menyesal diri ini bertemu dengannya, kenapa ia tak berada di belahan bumi lain saja? Arghh! 'Astagfirullah, tenang Afaf! Tenang! Ia hanya setan penganggu saja, abaikan kata-katanya,kamu wanita yang berharga diri tinggi, ayo tunjukkan betapa berharga dirimu!' Kata hati ini membakar semangatku.

Rasa enggan untuk bekerja disini hilang berganti dengan keinginan kuat. Terkadang kata-kata merendahkan dari seseorang dapat memicu semangat untuk menjadi lebih baik lagi, sebagaimana dalam surah Al-Insyiroh, "Sungguh bersama kesulitan pasti ada kemudahan," itu menujukkan sebuah pesan pada manusia tak ada kata menyerah dalam hidup sampai Allah mencukupkan semuanya.

Badan ku berbalik menatapnya sinis, cowok itu malah tersenyum tenang wajahnya ia topang dengan kedua tangan memandangku senang, aneh. Ia mempersilahkan lagi padaku untuk duduk di kursi depan mejanya dengan isyarat mata. Tak ingin berhadapan langsung dengannya, aku memilih duduk di sofa yang berjarak jauh dari mejanya. Sepertinya cowok ini memang tak pernah berfikir, seenaknya mengambil posisi duduk dihadapanku. Biarkan, toh ini juga ruangan miliknya.

"Untuk apa datang kesini? Berlutut lalu saya meminta maaf padamu?" Benar-benar ia mengesalkan. Aku datang kesini dengan niat yang sangat tulus untuk bekerja bukan mengungkit masalah itu, sudah lupa bahkan.Tak sabar rasanya untuk menonjok wajah tak berakhlaknya, beginikah orang tuanya mendidik menjadi cowok sadis pada wanita? Decakku kesal, tak bergeming sama sekali.

"Oh, atau kau yang akan minta maaf dahulu? Sangat murah hati dirimu, andai kau menjadi milikku, sungguh indah dunia ini ada wanita yang merendahkan diri sepertimu," sindirnya ganas. Aku memperhatikan gerak-geriknya. Kancing pada rompi jas ia buka satu persatu, apa yang akan ia lakukan? Lalu melepas dan melipat di atas pangkuannya. Tampaklah kemeja bergaris yang sedikit pressbody dengan tubuh kekarnya. Selanjutnya membuka dua kancing kemeja bagian atas dan melonggarkan dasi abunya. Adegan itu sangat mengganggu imanku, berakhir slim bag milikku menjadi penutup pemandangan itu.

"Kenapa mukanya ditutup? Seramkah muka ku?" Enteng saja dirinya berkata. Seenaknya berbuat begitu di depan tamu apalagi seorang wanita, benar tak berakhlak. Hanya satu cara agar terbebas dari view seperti itu, siap-siap tanganku menggenggam erat slim bag yang sedari tadi menjadi penghalang. Detik selanjutnya tas itu sudah meluncur hebat tepat di dadanya, ia mengaduh kaget tersebab benturan besi di depan tas.

"Jadi orang tu yang sopan dikit napa? Asal buka baju di depen cewek, emang nggak ada akhlak ya. Situ islam nggak sih? Dan satu lagi, jangan seenaknya ngerendahin orang apalagi cewek. Karena perempuan itu paling anti sama laki-laki yang seenaknya merendahkan. Dan nggak ada juga cewek yang mau merendahkan diri di hadapan cowok, apalagi kayak lo. Wanita sholihah itu hanya merendah pada Rabbnya," cerocosku hebat dihadapannya. Mukanya masih menahan sakit, bisa saja senyuman terlukis di wajahnya, aneh. Mendengar ocehan sarkasku, ia kembali mengancingkan kemejanya tanpa membenahkan dasi. Tohokanku ini tentu tak mempan padanya, otaknya sedang kesumbat sesuatu.

"Apa seperti ini acara wawancaranya? Pantas saja tak ada yang ingin bekerja pada cowok tak berakhlak," sambungku dengan kedua tangan terlipat di bawah perut tak ingin memandang wajah memuakkan itu.

"Hmm... sepertinya saya harus menerimamu bekerja disini," gumannya asal tapi aku masih mendengarnya.

"Ha? Diterima? Nggak, aku nggak mau, lakukan wawancara secara adil bukan seenak jidat!" Sanggahku cepat. Ia memang bos tanpa keadilan, bagaimana bisa ia menerimaku begitu saja sedang pelamar lain perlu berhadapan dengannya untuk wawancara? Apa yang dalam pikirannya itu? Sejenak dirinya berfikir atas permintaanku lalu mengangguk paham.

"Ok, kalau itu maumu. Jawab tiga pertanyaan saya dengan cepat tanpa berfikir!"

"Ok, siapa takut!" Tantangku yang sebenarnya dalam hati takut tak bisa menjawab, tampangnya sangat berpendidikan. Ia melakukan satu tarikan nafas bersiap bertanya sedang telingaku sudah bersiap mendengar.

"Kita mulai. Pertama, dimana kamu hampir tertabrak?"

"Persimpangan samping rumah."

"Kapan?"

"Kemarin siang."

"Dengan siapa?"

"Kamu," semua pertanyaan ku jawab tanpa jeda sekalipun. Tunggu dulu! Pertanyaan macam apa itu? Ia mengungkit kejadian kemarin lagi, bodohnya aku tak menyadari hal itu. Cowok itu tersenyum puas, aku terbelalak menatapnya kesal. Mulutku sudah hampir berprotes hebat tapi ia segera bersuara tak peduli betapa kesal diri ini padanya.

"Selamat kamu diterima. Kamu bisa mulai bekerja esok hari, ingat jangan terlambat di hari pertama kerja, ok? Sekarang kamu boleh keluar," ingin sekali menabok wajah menjengkelkannya, apa itu pertanyaan wawancaranya? Kalau benar, pantas semua pelamar tak diterimanya karena semua kejadian itu tertuju padaku. Dalam hati sudah tersulut amarah yang sangat. Andai tak ada batasan lawan jenis dalam islam sudah ku serang ia habis-habisan. Tetapi disinilah hikmahnya, kita perlu menahan diri dan selalu berfikir jernih sebelum bertindak. Apalagi dalam masalah emosi yang manusia memang sulit untuk mengendalikannya terutama wanita yang sangat mudah tersulut amarahnya, the real fact.

"Kau pasti main-main denganku, lakukan dengan be...," kalimatku terhenti ketika satu tangannya dibentangkan menyuruhku keluar dari ruangan, alisnya terangkat angkuh. Huh! Secepatnya mungkin aku akan mengajukan surat resign dari CV ini. Dalam hati aku bersemoga agar tak satu lantai dengan monster itu, bisa gila dibuatnya. Tanganku mengatung meminta untuk mengembalikan slim bag yang sebagai peluru untuknya. Ia menyodorkan santai namun tetiba tas itu ditarik kembali ketika aku hendak menyambar, menggantung di atas meja.

"Assalamualaikum," sesungging senyuman tertera di wajahnya lalu menyodorkan slim bag itu. Aku menyambarnya kasar.

"Salam!" Jawabku sadis tanpa menatapnya sedetikpun lalu keluar dengan membanting pintu ruangannya dengan kasar. Langkahku cepat menuju lift, rencana untuk bertemu dengan Ami batal, hatiku sedang tak baik hari ini. Tak ingin ia ikut terlampiaskan amarahku.