"Assalamualaikum, Afaf berangkat ya mi," satu kecupan lembut dariku mendarat di punggung tangan umi lantas diikuti Hisyam. Hari ini aku yang mengantar Hisyam ke sekolah karena Abi ada dinas ke luar kota sedang Umi harus menunggu Alisa di rumah. Jadilah perjalananku bercabang.
Dalam kehidupan manusia selalu ada yang namanya datang dan pergi, tentu berlaku pada masalah. Satu masalah pergi, jangan harap takkan datang lagi, pasti akan selalu menyambangi, trust it. Lelah itu wajar, lebih tepatnya lillah kan lelahmu. Jalanan kota ini selalu ramai terutama hari Senin seperti sekarang ini, pagi-pagi sudah menyebabkan kemacetan panjang berkilo-kilo, seharusnya tadi berangkat sehabis subuh untuk menghindari keadaan ini lagi pula bisa santai. Motorku tersendat-sendat maju, melihat oto-oto raksasa berada di depan hanya satu cara untuk melewatinya, menelisip di antaranya walau sedikit mengerikan.
Perjalanan yang harusnya tiga puluh menit naik menjadi empat puluh menit lamanya, ini pun sudah berangkat satu jam lebih awal. Hati ku gusar mengingat ini hari pertama kerja dan tak ingin terlambat masuk, rasanya ingin terbang saja melewati semua yang di depan. Traffic light satu menit lagi berganti hijau, ketika angka menunjukkan akhir segera ku tancap gas melanjutkan, khawatir juga Hisyam akan terlambat mengikuti upacara.
"Belajar yang rajin ya, assalamualaikum," pamitku cepat tanpa menyambut uluran tangannya yang berniat untuk salaman, tak ada waktu untuk itu atau aku akan terlambat. Segera ku putar balik menuju kantor yang berjarak sepuluh menit dari sini. Tapi sepuluh menit menjadi sia-sia ketika jam di tangan ku sudah lewat dari jam masuk kerja. Astaghfirullah! Terlambat kan, ku kebut langsung melihat di depan ada kesempatan untuk menerobos.
Untungnya pintu gerbang tak ditutup, langsung melenggang masuk tanpa menyapa satpam. Motor ku terparkir asal lantas lari memasuki gedung mengacuhkan amarah petugas parkir perihal motor itu, tak peduli. Setelah melakukan fingerprint untuk absen kedatangan selanjutnya menaiki lift yang kosong, satu keberuntungan ku menuju lantai dua di bagian pengeditan naskah.
"Huh... huh... huh, sampai juga," engahku di depan pintu masuk. Ami yang melihatku datang langsung menghampiri dengan wajah khawatir. Aku tahu ia khawatir karena aku terlambat di hari pertama, begitu denganku yang sedari tadi detak jantungku sudah abnormal. Pikir ku tentang surat resign hilang, itu lebih baik daripada bekerja selantai dengan cowok aneh itu. Segera ku buka laptop untuk mengerjakan tugas pertama pengeditan.
"Kamu terlambat sepuluh menit lho Faf, bangun kesiangan?" Ami belum beranjak dari tempatnya sambil menontonku yang sudah memulai pekerjaan. Bangun kesiangan? Itu bukan diriku, bisa kena omel Umi seharian kalau bangun kesiangan. Ada alasan sendiri atas hal itu.
"Bukan karena bangun kesiangan Ami, tadi aku harus antar Hisyam ke sekolah dulu. Jadi bolak balik deh arahnya, lagian pagi-pagi udah macet sih, tau kan ini hari Senin?" Alibiku membenarkan sangkaannya. Aku tak bohong masalah ini.
"Tapi ini-"
"Terlambat sepuluh menit itu kesalahan yang fatal, karyawan baru sudah pemalas!" Suara barinton itu tuntas memotong omongan Ami membuat seisi ruangan menoleh kearahnya. Tak kalah terkejutnya diriku mendengar perkataanya, rasa malu segera menyebar di penjuru tubuh. Ini salah ku juga tak memberitahu bagian resepsion untuk izin, bukan, ini bukan salahku. Aku sudah berangkat lebih awal dari biasanya, lagian tak bisa diprediksi kemacetan di jalan tadi, ini sudah takdir dan aku juga sudah berusaha secepat mungkin untuk sampai. Harus ku jelaskan penyebabnya, karena semua kesalahan pasti ada sebanya.
"Maaf, tadi saya harus-"
"Saya jadi ragu atas kinerjamu nanti karena di awal sudah tak disiplin," katanya dingin lalu pergi begitu saja. What? Tak disiplin? Andai dia tahu masalahnya apa bisa memaklumi? Tak mungkin terjadi pada dirinya hal itu. Dan ragu katanya? Kalau sudah ragu diawal kenapa ia menerimaku segampang itu? Memang seharusnya aku membuat surat resign secepatnya, bisa gila aku karenanya.
Tubuhku melorot pada kursi, kesal rasanya. Bos macam apa yang seenaknya menyindir karyawan baru, bukannya diberi arahan atau semangat malah sindiran tak tahu tempat. Juga tadi ia tak memberiku waktu untuk menjelaskan penyebabnya, ah! Dasar bebal. Air mataku tetiba sudah di ujung-ujung siap untuk mengalir, ku dongakkan wajah agar tak jadi menetes, terlalu memalukan menangis hanya karena ini.
"Sabar Faf, seharusnya tadi kau jelaskan penyebabnya," suara Ami lembut sambil mengusap pundak menenangkanku. Tak dengarkah ia omonganku dipotong sadis olehnya?
"Kalaupun ku jelaskan alasannya sepanjang kereta, orang itu nggak bakal memaklumi. Otaknya sudah kesumbat, kesal!" ku usap ingus yang hampir keluar dengan tisu yang disodorkan Ami. Aku teringat sebuah nasehat, untuk apa bumi di ciptakan? Itu sebagai hukuman Adam dan Hawa karena melanggar larang Allah. Bukan berarti manusia hidup disini karena hukuman, tetapi umat ini sebagai ujian untuk keduanya. Bersebab itu lah dunia ini penuh dengan ujian, bahkan tempatnya.
Entah ini ujian yang keberapa, tepatnya yang pertama setelah aku keluar dari zona nyaman. Begini rasanya jika sudah ikut campur di dunia luar, pikiran dan hati harus sekuat baja. Mulut orang tak kan ada habisnya menilai orang lain dan kita pun tak bisa menghentikannya. Mengontrol EQ itu penting untuk menghindari stress dini, sepertiku sekarang. Ingin rasanya pulang dan menangis sepuasnya pada Umi, nyatanya aku belum siap untuk ini. Tapi harus dipaksakan mengingat umurku tak lagi belia.
"Ami, may i ask some question? Apa sikapnya juga sesadis itu pada karyawan lain?" Tetiba pikiran itu muncul. Bukan bermaksud untuk stalking, melihatnya pun aku malas. Tapi untuk membuktikan sikapnya, kalau benar aku bisa memaklumi hal itu. Akhirnya aku yang harus mengalah. Sejenak Ami berfikir atas pertanyaanku lantas menjawab.
"Kalau aku lihat sih nggak, tapi nggak tahu juga kalau sama yang lain. Bahkan aku baru tahu Kak Zainal punya sisi sadis, dan yang pertama ngerasain kamu," jelas Ami keheranan, ia sudah bekerja disini dua tahun dan cukup mengenal seluruh karyawan yang tak terlalu banyak jumlahnya. Kalau Ami saja heran, aku tambah heran. Bersebab apa orang itu sadis terhadapku? Atau karena tabrakan tempo lalu? Mobilnya lecet? Motorku saja tak menyentuh sesenti moncong mobilnya, kedua adikku yang sakit harus terpentok. I guess about it!
"Tunggu, kamu tadi manggilnya 'kak'?" Tanyaku lagi tersadar sesuatu yang ganjil.
"Iya, peraturannya agak konyol sih, tapi mau gimana lagi, harus panggil 'kak', tapi kadang yang perempuan genit sih, manggilnya 'Bang'," mereka hanya terobsesi dengan tampannya saja bukan dari hati. Aku hanya ber oh cuek. Kak? Lucu memang tapi pantas untuk usianya.
"Permisi, Mbak Afaf dipanggil Kak Zainal di ruangannya," tetiba seorang perempuan berambut sebahu datang memanggilku menghentikan perbincangan kami. Untuk apa cowok itu menyuruhku kesana? Jangan-jangan meminta penjelasan atas keterlambatanku, rasanya tak mungkin. Aku mengangguk lalu bergegas menuju ruangannya, ruangan yang sama dimana aku melakukan wawancara kemarin, di kandang singa.
"Masuk!" perintahnya setelah ku ketuk pintu, suaranya tetap dingin. Langkahku perlahan menuju hadapannya sambil menunduk menatap ujung hijabku. Dalam hati tak hentinya berdzikir meminta perlindungan, aku tahu batasan situasi seperti ini jadi sengaja ku buka pintu lebar-lebar walau tak ada orang yang berlalu lalang. Hal itu memudahkanku untuk kabur kalau sewaktu-waktu ia melakukan hal yang tak ku inginkan terjadi, naudzubillahi min dzalik!
Masih belum juga lelaki itu berbicara, sepertinya masih sibuk dengan berkasnya. Ada setitik niatan untuk meliriknya sedikit memastikan hal yang di kerjakan. Ujung mataku sedikit demi sedikit naik melihatnya berpusing ria sambil membawa bolpoin di tangan kanannya. Huh, aman. Jantungku tetap abnormal, kenapa ia tak memulai juga alasan atas panggilanku ini? Ingin menjadikanku patung penghias ruangannya? Kalau begitu sekalian saja aku di tempatkan di pojok sana, itu berarti aku akan selamanya di sampingnya, ah tidak, tidak.
Suara jarum jam sampai aku mendengarnya begitu juga desingan mesin AC saking heningnya menunggu makhluk itu berbicara. Ku tatap jam tangan, sudah lima belas menit aku berdiri disini dalam keheningan tak berfaedah, ini lebih buruk dari waktu terlambatku tadi. Aku pun bisa menyelesaikan satu naskah untuk diedit, it's very wasted my time. Baiklah, aku yang akan memulai bicara, lagi-lagi aku yang harus mengalah.
"Berapa naskah yang kamu edit?" Tanyanya bersamaan dengan kepalaku mendongak menatapnya hendak bicara. Akhirnya tengkukku bisa bebas dari rasa pegal akibat menunduk terlalu lama tapi malah bertatapan dengannya. Sejenak aku tergagap untuk menjawab.
"T... tiga," aku kembali menunduk. Apa guna ia menanyai tugasku? Ingin membantu? Heh, basi.
"Hmm, kalau begitu temani saya survei ke tempat launching siang ini," wajahnya bertompang pada kedua lengan menatapku lekat, aku tahu dari bayangan mejanya yang mengkilap. Ha? Aku? Kenapa harus aku sih? Tadi seenaknya menyindir di tempat umum sekarang mudah sekali memintaku menemaninya, dimana asistennya? Pertanyaannya tadi cuma basa-basi saja.
Dia kan sudah tahu aku divisi editing bukan sekertarisnya tentu aku tak tahu hal seperti itu, lagi pula aku karyawan baru yang masih pupuk bawang. Aku memilih bagian editor karena pernah menjadi editor di majalah pondok, itu saja.
"Kenapa saya...," aku masih ragu memanggilnya 'kak', bisa saja Ami bohong.
"Kak, panggil saya dengan itu," jawabnya cepat melihat keraguanku, Ami memang tak bohong.
"Kenapa kamu? Ini sebagai hukuman keterlambatanmu, juga karena asisten saya cuti untuk pernikahannya. Jadi bersiap setelah makan siang, saya nggak mau kamu mengeluh lapar di tengah jalan, menyusahkan. Pastikan makan dulu sebelum berangkat," pede sekali, siapa juga yang mau makan berdua dengan cowok aneh yang ada aku disuruhnya membayar makan. Aku keluar ruangannya setelah mengiyakan ajakan itu, toh ini juga hukuman ku, memang ada ya hukuman seperti ini di hukum perkantoran kecuali memang orang itu istimewa di matanya.
Kali ini amarahku mereda walau mendapat hukuman aneh seperti itu, aku bisa menerimanya. Mungkin sepulang kerja aku harus tensi darah setelah bertemu dengan orang itu, selalu menyulut emosi. Tak tahu apa kalau emosi wanita itu sangat labil, pantas sikapnya sadis ia saja tak paham tentang emosi wanita. Lift berdenting menandakan sampai di lantai dua, di depan pintu sosok yang ku kenal muncul, perempuan yang mengejarku sewaktu wawancara kemarin.
"Lho, Afaf kan? Kamu diterima disini atau...," sapanya hendak masuk lift.
"Oh, mbak Pita ya? Alhamdulillah, aku diterima disini," jawabku cepat sebelum ia mengatakan hal lain yang tak ingin ku dengar, pasti ada hubungannya dengan pemilik kantor ini. Wanita itu selalu baik dan beradab tapi hanya satu yang disayangkan, dirinya belum berhijab walau dengan setelan serba panjang, bukankah rambut penting juga untuk disembunyikan?
"Alhamdulillah, aku duluan ya mau meeting sama bos," anggukku cepat ketika dirinya sudah masuk ke dalam kotak berkatrol itu. Ia tak memanggilnya kak, ah, apa pedulinya. Sebaiknya ku selesaikan tugas editing, waktuku sudah terkuras banyak karena pertemuan aneh dengannya. 'Astaghfirullah! Sudah jam sebelas, sebentar lagi rehat siang,' lagi-lagi aku menyalahkan pria itu.
***
"Balik yuk," ajak Ami setelah kami selesai makan siang di kafe terdekat. Tersisa dua gelas jus alpukat yang tinggal segerombolan es batu. Ludes juga sebagai dessertnya.
"Nggak, kamu duluan aja, aku masih ada sesuatu,"
"Blind dating nih sama Pak Bos, tumben juga tadi habis panggilan muka sumringah gitu," ledeknya cengengesan.
"Kebanyakan sambel kek gini nih, ngomongnya ngaco,"
"Elaah, sekarang sama sadisnya sama si Bos," malasnya seperti ini nih, punya teman sang komentator, segalanya jadi bahan topik.
"Udah sana ah, balik. Lagi bosen ketemu lo," ku dorong dirinya pergi sebelum cowok itu datang menjemput.
"Iya, iya bawel. Selamat menikmati," perkataanya sungguh mencekikku, menikmati dari mana, nightmare ada. Sejenak aku berfikir, kenapa aku harus menunggu? Kan ada motor. Teringat motorku yang terparkir asal, pasti sekarang sudah disegel oleh petugas, bergegas ku susul Ami yang sudah berjalan jauh di depan.
"Eh, kenapa nyusul? Nggak jadi?" tanyanya padaku yang sudah berdampingan.
"Mau nyelametin motor, dipenjara sama satpam," jawabku asal lalu menuju parkiran, Ami sudah memasuki lobi gedung. Dari kejauhan tampak sebuah mobil mercedenz putih melaju ke arahku dan berhenti, aku ikut berhenti di sampingnya. Jangan bilang ini mobilnya, tak perlu bilang pun memang benar. Kaca perlahan turun menampakkan wajah sang sopir di sampingnya baru cowok itu.
"Masuk mbak," perintah pak sopir, tentu atas perintahnya juga.
"Ha? Ah, i...ya," cancel akhirnya niatku untuk menyelamatkan motor kesayangan, itu hadiah dari Abi setelah kelulusanku di pesantren. Di pikirpun memang seharusnya berangkat bersama, tak mungkin kan aku membuntuti dengan motor, aneh. Memang tak ada pilihan lain, akhirnya ku buka pintu belakang dan duduk tepat di belakang sopir. Mobil melaju keluar gedung menuju tempat survei.
Agak tenang diriku karena bukan hanya berdua saja, tentu ia juga sudah memikirkan hal itu. Tentang launching karya baru, aku sudah mengetahuinya dari pihak adverstement semalam. Tepatnya setelah acara wawancara itu, emailku berbunyi bergantian mendapat pesan dari perusahaan. Tiga naskah yang harus ku edit, pdf pedoman EYD, dan peraturan perusahaan yang sampai saat ini belum sempat terbaca. Pantas perusahaan ini ingin merekrut karyawam baru karena sedang dalam fase upgrade, selalu kebanjiran pelanggan belum lagi dari penulis tetap yang harus di prioritaskan.
Jalanan Kota Solo siang ini agak lengang tapi terlihat panas menyengat, musim hujan masih sebulan lagi ditandai dengan akhir-akhir ini turun hujan walau hanya rintikan. Aku masih menebak arah tujuan, jalan ini menuju ke Hotel The Alana tapi tak hanya satu hotel disini, bahkan di kota ini bisa berdampingan sesama hotel. Hening menyelimuti kami, pak sopir sibuk mengendarai, aku sibuk memerhatikan jalanan, sedang laki-laki itu... sibuk menunduk, bukan karena mengantuk tetapi bekerja dengan iPadnya.
Bangunan hotel yang tak asing di mataku menjadi tujuan kami, Lor In Hotel. Setelah parkir di halaman hotel, karena memang tak menginap jadi bukan di besment, kami berjalan memutari halaman menuju ke belakang, di Garden. Aku menguntit saja di belakangnya. Hamparan hijau selalu menyehatkan mata, sangat natural, beberapa kali senyumku mengembang melihat pemandang ini memang pertama ini aku memasuki hotel tanpa check-in. Tetiba laki-laki itu menyerahkan iPadnya padaku.
"Tugasmu hanya mengikuti saya, tak perlu mencatat. Rekam saja omongan saya lewat ponselmu," anggukku sambil mendekap iPad lantas membuka rekaman. Wait! Itu artinya aku harus selalu ada didekatnya, ah buruk sekali