Chereads / Sejentik cinta suci / Chapter 5 - 5. Dua kepribadian.

Chapter 5 - 5. Dua kepribadian.

Kembali pada masa lalu adalah suatu hal yang kadang menyenangkan. Mengingat seluk beluk seluruh pencapaian dan napak tilas penuh batuan tajam membuat kita semakin bergairah untuk kedepannya. Senyuman penuh kemenangan terlukis di wajahku memandangi gadis biasa itu melangkah kesal. Tak habis pikir diriku ini ia akan berkunjung juga tanpa ku minta dua kali karena sudah ku pastikan sebelumnya.

Langit di luar kantor sudah berubah warna menjadi magic hour, selama itu aku mewawancarainya atau aku yang terlalu terbuai dalam kesenangan? Sejenak berfikir, 'ada apa dengan diriku ini? Apa yang sedang ku lakukan kali ini? Argh! Selalu saja seperti ini!' Ku tenggelamkan wajahku dalam tunduk menyalahkan sendiri atas perbuatanku. Bukankah seharusnya aku kendalikan bisikan tak berguna itu? Sampai kapan aku akan menjadi setan?

Hari lalu Rizal sudah menceramahiku untuk merubah kepribadian ku sebagai cowok sadis, tapi aku belum juga sadar. Diana, ya wanita itu sepertinya bisa membantuku berubah, tapi bukankah lebih baik aku berubah tanpa sepengetahuannya? Dalam kebimbangan mendalam teringat modul titipan Ayah yang harus ku antar sore ini. Ku sambar kunci mobil lalu melaju ke rumah sakit tempat ayah bekerja, hanya berjarak dua puluh menit dari kantor.

Sirine ambulance yang meraung-raung sudah menjadi alarm biasa di tempat ini, karena aku juga sering kesini, bisa hampir setiap hari menginjakkan kaki disini mulai dari mengantar modul ayah atau mengirim buku bacaan untuknya, aku jadi ikut terbiasa mendengarnya. Ayah sedang ada operasi jadilah aku menunggu di ruangannya. Sebenarnya kenapa ayah begitu tertarik dengan hal kedokteran? Yang menurutku itu sangat mengerikan. Terbayang menyayat kulit manusia dengan teganya terdengar sangat psikopat, apalagi melihat darah bercucuran membuat mual perut saja.

Aku bukan tipe pria yang gentle ketika melihat darah, setitik darah pun sudah membuatku mual tanpa sebab. Hampir dipastikan jarang sekali terjadi luka pada tubuhku. Kejadian masa lalu itu bukti untuk aku menyerah kalau sudah mendengar kata darah. Kalau dipikir tentu sangat aneh dan tak mungkin, kenapa? Karena tubuh kita saja 90% berisi darah yang tak ada habisnya, itu pengecualian karena itu di dalam bukan di luar tubuh.

Masalah rumah sakit, tak begitu mengerikan walau ada sangkut pautnya dengan darah. Kengerian itu sekarang seakan sirna karena disini singgah wanita cantik yang selalu ku kagumi pada pandangan pertama, siapa lagi kalau bukan Diana. Itu salah satu alasanku juga selalu senang berkunjung ke sini bahkan walau ayah tak menitip sesuatu aku sempatkan mampir kesini, hanya untuk melihatnya. Telepon intercome ruangan ayah berdering mengalihkan pemikiranku. Ragu rasanya untuk mengangkat tapi bisa saja urgent, tahu sendirilah yang namanya dokter itu selalu ada panggilan urgent tak kenal waktu, seperti saat ini ayah yang sedang berada di ruang operasi. Akhirnya ku putuskan untuk mengangkatnya.

"Halo, Zainal, tunggu ayah lima menit lagi! Masih harus bersih-bersih sebentar setelah operasi. Kamu sudah bawa modulnya kan?" Rupanya ayah yang menelpon.

"Iya, saya letakkan di atas meja yah...," ekor mataku sebentar melirik jendela ruangan ayah dan menangkap sosok yang ku harapkan untuk bertemu, Diana. Langkahnya anggun melewati ruangan ini.

"Halo, Nal!" Bersebabnya pula sampai aku tak mendengar ucapan ayah barusan.

"I... iya yah. Saya tutup dulu, assalamualaikum," tanpa menunggu jawaban ayah sudah ku letakkan kembali telepon itu di tempatnya. Aku sudah tahu arah langkah wanita itu tapi aku kali ini tak ingin menemuinya di ruangannya.

"Diana!" Panggilku sambil berjalan mendekat, ia pun menoleh sadar namanya dipanggil.

"Eh, Zainal, nganter modul Dok. Rais lagi?" Sampai hafal dirinya saking seringnya aku datang kesini. Yang dipanggil Dok. Rais itulah ayahku.

"Iya. Mmm... Btw, minggu depan sibuk nggak?" To the point saja di hadapannya, kegugupan sudah menyerangku.

"Em... nggak tau juga, kan aku nggak tau kalo tiba-tiba ada panggilan, emang ada apa?" Ah, benar, panggilan mematikan itu.

"Kalau nggak ada, aku mau ngundang kamu ke acara launching novel baru itupun kalau ada waktu kamunya. Boleh juga koq ajak temen," langkah kami beriringan menuju ruangannya. Di tangannya mendekap buku rekap pasien hari ini. Mendengar itu, langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruangan, aku pun ikut terhenti.

"Sebenarnya itu acara yang ku tunggu-tunggu," ucapnya pelan sekali sambil menunduk, aku tak mendengarnya jelas.

"Ha?"

"Ah, bu-bukan apa-apa kok, insyaallah aku usahain dateng deh, tapi... boleh dong aku ajak Caca sama Arina, kan?" Mereka berdua adalah sahabat Diana, kemana-mana selalu saja ada mereka bagai magnet yang saling menarik untuk tetap bersama. 'Mau kamu ajak satu penduduk RS ini aku perbolehkan asalkan kamu hadir di acara itu' pikiranku membatin sendiri.

"Boleh dong, satu RS ini juga boleh kok," candaku berlagak, kami tertawa sejenak.

"Oh, mau masuk dulu? Aku buatin minum," lagi-lagi ia membuatku mati kutu selain dengan cantik dan perangainya, senyumnya begitu manis bersebab gingsul giginya.

"Nal?" Lambaian tangannya menyadarkanku. Ia sudah membuka pintu ruangan itu, sebenarnya ingin tapi ku tolak karena harus kembali menemui Ayah juga ini sudah waktunya untuk pulang.

"Eh... maaf. Oh, nggak perlu, mau ketemu ayah dulu," ia mengangguk paham dan masuk ke dalam, aku kembali ke ruangan Ayah untuk mengajaknya pulang. Walau kami masing-masing membawa mobil akan tetap indah kalau pulang bersama.

***

"Masih mikirin Diana?" Ayah bergabung denganku di sofa sambil membawa secangkir kopi dan laptop di ketiaknya. Ku betulkan posisi duduk lebih tegak. Apa pekerjaan ayah di RS belum juga kelar hingga harus terlampiaskan di rumah? Malam ini semuanya tidur lebih awal terkecuali kami berdua. Pikiranku sedikit terusik oleh sesuatu.

"Kalau itu sih iya, tapi ada yang lain,"

"Ekhm! Maksud kamu ada yang lain?" Ayah hampir tesedak ketika menyesap kopinya mendengar penuturanku.

"Ah, bukan apa-apa. Yah, boleh saya tanya sesuatu?" Ayah hanya berdehem mempersilakan, matanya tetap menatap screen laptop.

"Cerita ayah lamar bunda itu... gimana?" Sesaat ayah berhenti mengetik sesuatu lalu menatapku dalam kegelapan, karena lampu ruang tengah sudah mati. Hanya layar laptop saja sebagai penerangnya.

"Ya, kalau cerita itu sih lumayan panjang, ayah juga agak lupa," katanya berganti bersandar di sofa.

"Yang ayah inget aja," sebentar ayah memandangku keheranan, aku hanya tersenyum menyembunyikan maksud sebenarnya.

"Waktu itu, udah lama sih sebenarnya ayahmu ini ngincar bunda. Sebenarnya kita cuma pernah ketemu sekali, ketika ada workshop di Malaysia dulu. Ayah perwakilan dari univ, bunda juga, dan kami sama-sama dari Indo, terus kenal deh. Ayah sih nggak terlalu mikirin bunda mungkin cuma sekilas. Nah, dua tahun kemudian, ayah waktu itu masih jadi dokter magang di jakarta, rumah sakitnya bunda dulu. Mulai dari situ ayah tertarik sama bundamu, wanita energik, parasnya cantik, dan yang terpenting dan buat ayah pengen nikahin, dia sholihah...."

"... Sifat ayah dulu nggak jauh beda sama kamu sekarang, sadis sama perempuan. Karena menurut ayah bundamu itu beda, jadi ayah berniat ngelamar. Dan ayah lamarnya selesai nemenin dokter residen operasi, begitu keluar dari ruang OK, ayah langsung cari bundamu dan ngelamar di tempat. Bundamu setuju, nikah deh," aku mengangguk paham. Itulah kisah cinta ala para dokter, yang kebanyakan cinlok. Bagaimana kisah cintaku sebagai bos CV. Penerbitan? Mendengar kata, sifat ayah tak jauh beda denganku, itu berarti aku reinkarnasinya ayah.

"Nah, selanjutnya kamu. Kapan mau melamar Diana? Ayah lihat-lihat, dia juga berharap," apa maksud dari 'berharap'? Aku juga sudah berniat melamarnya.

"Berharap, maksud ayah?"

"Ya, berharap nikah sama kamu. Sudah kenal lama nggak mungkin kalau nggak ada sesuatu, apalagi kalian lawan jenis," kata ayah kembali menyesap segelas kopi hitamnya . Begitukah? Bahkan aku tak tahu. Aku baru berniat melamarnya sedang Diana sudah berharap menikah denganku, aku terlalu lambat menyadarinya.

"Saya sudah niatkan, cuma nunggu waktu yang tepat."

"Ya, ayah tunggu secepatnya sebelum disambar orang lain. Dan juga, sudah saatnya kamu berubah sifat, bukan menjadi lelaki sadis tetapi menjadi lelaki yang tegas. Dalam artian kamu sudah dewasa, bos perusahaan sendiri, sedang masa depan menunggumu menjadi lebih baik. Lelaki tegas dalam hal komitmen itu susah di cari zaman sekarang, jangan menjadi salah satunya. Tegaslah dengan perempuan, menepati janji itu yang mereka butuhkan. Kalau memang sudah berniat melamar Diana dan berkomitmen dengannya itu bagus, ayah dukung. Sekali lagi jangan permainkan hati wanita, mereka sangat rapuh dalam masalah ini...."

"... sudah ayah bilangkan, sifat ayah dulu nggak jauh beda sama kamu yang sekarang. Waktunya berubah. Lamar Diana, paham?" Aku mengangguk setuju.

Malam ini adalah perbincangan terpanjang dalam sejarah percakapan antara ayah dan anak, apalagi diriku seorang lelaki yang biasanya cuek bebek. Dalam ruangan 6x5 ini, aku berbaring termenung. Sudah dua orang yang mengkode ku untuk berubah, Rizal asisten ku dan ayah. Masih tak sadarkah diriku? Zainal sadar diri, ada orang yang sangat berharap padamu, jangan kau sia-siakan. Aku teringat buku pemberian Rizal kemarin, masih tergeletak rapi beserta sampul plastik di atas meja kamar. Semoga buku itu bisa membantuku berubah.

Saat hendak beranjak mengambil buku, ponselku bergetar di saku celana. Tertera nama Rizal disana, kenapa? Ia ingin khutbah malam lagi?

"Halo, kenapa Zal?"

"Assalamualaikum Nal, biasa deh."

"Waalaikum salam, kenapa? Tema khutbah apa lagi malam ini?"

"Asal ngomong lo. Ini masalah launching minggu depan, lo bisa nggak nyewa dokter?"

"Lo kira tanggap bencana sampai bawa-bawa dokter segala."

"Ya Allah, Zainal Rais, makanya tu hp di pentelengi. Tetiba tadi sore pihak RS. Bung Karno kirim email minta gabung sekalian sama acara breafing kesehatan, nah kebetulan jadwal mereka di daerah kita, ya semacam poli kesehatan keliling gitu, gimana?"

"Lo udah kirim persetujuannya?"

"Belum, nunggu dari atasan alias kamu, berapa kali aku hubungi nggak nyambung. Atau ayah kamu kan dokter tuh, sekalian aja, rangkap anak bapak tampil."

"Temanya apa dulu."

"Biasa, kebersihan lingkungan."

"Ok, kirim email persetujuannya. Masalah nyewa dokter gampang."

"Ok, assalamualaikum."

"Waalaikusalam."

Selesai melakukan panggilan, ku berganti ke berkas panggilan masuk, benar adanya lima panggilan tak terjawab darinya sore tadi. Pasti ponselku tertinggal di ruangan ayah sewaktu berbincang dengan Diana. Dokter? Aku tak punya sohib berprofesi dokter. Diana? Wanita itu sudah pasti menolak, ia tak pernah melakukan hal seperti ini, agaknya ide Rizal benar, ayah. Tak ingin susah-susah menyambangi ayah di luar walau saat ini ayah pasti masih berkutat dengan dokumen-dokumennya, ku kirim saja pesan lalu membahas di esoknya. It's easy.

Tubuh ini terlalu lelah karena terkena timpukan kasar dari wanita tadi siang, pikiranku pun ikut lelah memikirkan cara melamar Diana, seluruhnya menguras tenaga. Berlabuhlah dalam mimpi malam penuh misteri.