Chereads / Fate / Chapter 7 - 7 – Berbagi Tugas

Chapter 7 - 7 – Berbagi Tugas

"Mulai hari ini dan seterusnya, kau di rumah saja," perintah Troy sembari menata makanan di meja makan.

"Kenapa? Apa aku mengganggumu jika aku ikut ke restoran?" tanya Rose.

"Kau akan kelelahan di restoran meski hanya duduk dan menungguiku," jawab Troy.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan selama di rumah sendiri? Aku sudah tidak sakit. Apa aku boleh jalan-jalan sendiri di sekitar sini?" tanya gadis itu.

"Jangan," cegah Troy.

Rose mengerutkan kening. "Kenapa?"

"Bagaimana jika kau tersesat di hutan dan pingsan?" sebut Troy.

Rose mendecak pelan. "Itu tidak akan terjadi."

Troy menatap Rose, lalu teringat orang-orang yang dilihatnya di jalan perbatasan kampung tadi dalam perjalanan pulang. Ada setidaknya empat orang dengan jas hitam yang tak dikenalinya berdiri di jalan perbatasan kampung. Sampai Troy memastikan orang-orang itu tidak berbahaya, Rose tidak boleh muncul di depan mereka. Bahkan, tadi Troy sampai harus membuat kepala Rose terbentur dashboard dalam usahanya menyembunyikan Rose.

"Tetaplah di rumah dan fokus pada kesehatanmu," Troy menekankan. "Kau harus mengingat siapa dirimu agar kau bisa pulang. Apa kau tidak ingin pulang?"

Rose memalingkan wajah.

"Sebenarnya, aku membutuhkanmu untuk membantuku mengurus rumah," Troy memberi alasan.

Rose kembali menatapnya. "Maksudmu?"

"Kau tahu aku bekerja dari pagi hingga malam, tapi aku masih harus membersihkan rumah. Sejujurnya, itu melelahkan. Jadi, jika kau bisa membantuku, kurasa kita bisa berbagi tugas. Bagaimana?" tawar Troy.

Rose tampak berpikir. "Kalau itu … tidak masalah. Seharusnya kau jujur jika kau butuh bantuanku, kenapa memakai alasan aku akan kelelahan segala."

Troy berdehem. "Maaf. Aku merasa tidak enak saja meminta tolong pada pasien."

Rose melotot tak terima. "Aku bukan pasien."

"Sekarang aku tahu itu." Troy tersenyum. "Terima kasih sebelumnya."

Rose menghela napas. "Baiklah. Kita akan berbagi tugas."

Troy mengangguk lega. "Omong-omong, apa kau bisa memasak?" tanyanya. "James bilang, meski hilang ingatan, itu tidak mempengaruhi kemampuanmu melakukan kegiatan sehari-hari."

"Oh, itu … entahlah. Aku belum pernah mencoba memasak sejak aku hilang ingatan, jadi aku bisa mencoba dulu." Rose tersenyum. Dengan ragu.

Troy jadi ragu juga. "Kau mau mencoba memasak sekarang? Aku bisa membantumu."

"Oh, tentu!" sahut Rose riang. Terlalu riang.

Troy jadi berpikir, sepertinya ia baru saja melakukan kesalahan. Entah kenapa, ia mendadak berpikir seperti itu.

***

Memasak? Ha! Tentu saja Carol bisa. Apa sulitnya menyalakan kompor dan memasukkan bumbu masak?

"Aku punya stok telur di kulkas," beritahu Troy ketika mereka pergi ke dapur. "Apa aku perlu belanja?" tanyanya.

Carol menggeleng. "Kita bisa membuat banyak masakan dari telur."

Troy mengangguk-angguk. "Sepertinya kau benar-benar bisa memasak jika tahu hal seperti itu."

Salah. Carol ingat itulah yang dikatakan guru memasak yang ia sewa ketika ia ikut kegiatan di panti asuhan saat melakukan acara amal. Di acara itu, mereka membuat berbagai macam makanan dari telur. Mulai dari telur gelung, nasi goreng yang dibungkus telur, hingga kue dan es krim.

Carol menimbang-nimbang, mana yang paling mudah dari pilihan itu. Ia ingat dulu tangannya terluka ketika mengiris telur gulungnya. Itu berarti pilihan mudah dan aman adalah nasi goreng dibungkus telur. Ia hanya perlu mengoreng nasi dan menatanya dengan dibungkus telur.

Troy meletakkan beberapa telur di atas meja dapur. "Kau butuh berapa telur?" tanyanya.

"Semua yang kau punya," jawab Carol.

"Semua?" Troy tampak khawatir.

Carol tertawa sembari mengibaskan tangan. "Aku hanya bercanda. Kurasa dua sudah cukup." Sisanya untuk cadangan jika nanti gagal. Toh, Carol bisa mengambil sendiri di kulkas nanti.

"Baiklah." Troy menggeser dua telur ke dekat kompor, lalu mengembalikan sisanya ke kulkas. Ekspresinya tampak ragu.

Carol mendengus tak percaya. Seumur hidup, tak pernah ada yang meragukan kemampuannya. Well, memasak memang sedikit dari hal yang tak bisa ia lakukan.

"Aku akan menunggu di sini jika kau butuh bantuan," ucap Troy sembari duduk di kursi dapur.

Carol mengangguk. Baiklah, hal yang harus ia lakukan sekarang adalah … menyalakan kompor. Bukan hal sulit. Carol menyalakan kompor dan mengangguk puas. Berikutnya … mencari bahan untuk dimasak.

Carol mengambil nasi dari penanak nasi dan memindahkannya ke piring. Lalu, ia menyiapkan penggorengan dan meletakkannya di atas kompor. Minyak. Carol mencari minyak.

"Sebaiknya kau mengangkat penggorengan dari kompor dulu dan mematikan kompornya," saran Troy.

Carol tersadar. Urutannya salah. Carol refleks menyambar penggorengan dengan kedua tangannya.

"Hati-hati, panas!" seru Troy.

Namun, terlambat. Tangan kiri Carol yang menyentuh bagian tepi pengggorengan seketika terasa terbakar. Meski begitu, Carol bersikap seolah tak apa-apa dan mengambil serbet. Saat itulah, tangannya disambar Troy, membuat serbet di tangannya jatuh. Pria itu menarik Carol ke bak cuci piring dan mengguyur tangannya dengan air dari kran.

"Kau baik-baik saja?" tanya pria itu.

"Aku baik-baik saja. Jangan berlebihan," ucap Carol dengan canggung.

Troy mendengus dan menatap Carol. "Apa kau benar-benar bisa memasak?"

Carol berdehem. "Aku hanya … belum begitu ingat," ia beralasan.

Troy menghela napas. "Kalau begitu, lupakan saja. Kau tidak perlu memasak."

"Aku tidak apa-apa. Aku hanya …"

"Tunggu." Troy mengerutkan kening, lalu hidungnya. "Kau tidak mencium bau gosong?"

"Ha?" Carol bahkan belum memasak. Apanya yang gosong?

Troy menoleh ke arah kompor, Carol juga ikut menoleh. Mata Carol terbelalak ketika melihat kobaran api di atas kompor. Serbet yang tadi terjatuh terbakar di atas kompor.

Troy segera berlari ke kompor, menjatuhkan serbet yang terbakar itu ke lantai, lalu menyiramnya dengan seteko air di meja dapur. Pria itu kemudian menatap Carol dengan ekspresi tak percaya.

"Kau … nyaris memasak seisi rumah," ucapnya.

Carol berdehem. "Sepertinya begitu."

Troy hanya mendengus geli, membuat Carol semakin merasa tak enak. Mengingat beberapa saat lalu, ia nyaris membuat Troy kehilangan rumahnya.

***

Setelah memasak dan menemani Carol makan siang, Troy kembali ke restoran. Namun, ia tak bisa berhenti memikirkan tentang gadis itu. Gadis itu lebih dari sekadar mampu untuk membakar rumahnya tanpa sengaja. Setidaknya, itu memastikan satu hal; dia bukan lagi pasien. Selain hilang ingatan, sepertinya dia baik-baik saja sekarang.

Sebelum ke restoran, Troy mampir dulu ke perbatasan kampung untuk mengecek. Orang-orang berjas yang mencurigakan tadi sudah tak ada di sana. Sepertinya mereka sudah pergi. Troy harus segera mencari tahu siapa mereka dan memastikan apakah mereka berbahaya atau tidak.

Dalam perjalanan ke restoran, Troy menelepon Ricki. Ketika telepon diangkat, Troy mendengar suara teriakan kesakitan. Namun, ia tahu itu bukan suara Ricki atau Jun.

"Kalian menghajar orang?" tuntut Troy. "Siapa orang malang itu?"

"Pemabuk yang suka mengacau," jawab Ricki. "Kemarin dia tiba-tiba mencegat Jun dan menghajarnya, nyaris menusuknya. Jadi, kami membawanya pulang untuk diberi pelajaran."

Troy menghela napas. "Bereskan itu tanpa menarik perhatian, lalu kemari. Ada tugas untukmu."

"Apa ada serangan?" Ricki terdengar khawatir.

"Nanti kuberitahu." Troy lalu menutup telepon. Ia menatap sekeliling, sekali lagi mengecek jika orang-orang yang mencurigakan itu sudah tak ada, barulah ia pergi.

***